Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Cerita Mini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Mini. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 April 2019

[Cermin] Kampanye




Oleh: Gita FU

"Besok ada kampanye di mana, No?" Tukijo menepuk bahu Pono yang bersandar terkantuk-kantuk. Dua lelaki ini adalah pedagang makanan keliling, yang tengah berteduh di gardu ronda.

Pono tak langsung menjawab, berusaha mengingat-ingat potongan informasi.
"Kalau tak salah si Diwan bilang di lapangan Semen, Jo. Ada pertunjukan dangdutnya juga."
Tukijo girang. "Wah, aku pasti kesana besok. Dari pagi, 'kan? Pasti ramai!"

"Ramai ya sudah pasti, Jo. Penontonnya 'kan, datang dari mana-mana," dengus Pono, "tapi apakah mereka bakal bikin dagangan  laris atau tidak, itu yang kita 'ndak tahu!"

"Jadi orang harus yakin, No! Cuma itu sumber kekuatan orang kecil macam kita ini!" sembur Tukijo.

"Ah, terserah kamu kalau mau sok-sokan yakin. Aku, sih, besok mending jualan keliling seperti biasa. Kapok aku jualan di tempat caleg kampanye!"

Pono teringat dua pengalamannya. Pertama ia berjualan di sebuah posko seorang caleg yang tengah menggelar pengajian; dagangan ciloknya laku tipis. Kedua di lapangan desa saat seorang caleg menggelar pasar murah; lagi-lagi dagangannya tak begitu laku.

"Ya, aku ikut prihatin dengan nasibmu saat itu, No. Tapi mana tahu besok
sebaliknya, kan?" hibur Tukijo.

"Aku tak mau untung-untungan lagi, Jo. Kamu tahu apa pendapatku tentang para caleg  itu? Seharusnya mereka  memperhatikan nasib pedagang kecil. Misalnya, memborong dagangan kita selama kampanye. Pasti kupilih yang begitu!" Pono terbahak sendiri. Tukijo hanya cengengesan.

**

"Pokoke joget! Pokoke joget! Pokoke joget! Serrr!"

Musik  membahana dari atas panggung. Penonton menyemut, berjoget dan bernyanyi. Sesekali yel-yel partai diserukan. Setelah penampilan si biduan seksi,  seorang pria  maju berorasi.  Pria itu sibuk meyakinkan orang-orang akan deretan  program kerjanya. Suaranya penuh tekad dan keyakinan.

Di bagian pinggir lapangan, Tukijo pun tak kalah sibuk. Laki-laki bertubuh tipis  ini sibuk melayani pengunjung, yang nyaris tak putus membeli es kelapa darinya. Mungkin mereka kecapaian terus bernyanyi dan berteriak dari tadi, pikir Tukijo. Ia teringat Pono, apa yang bakal dikatakan bakul cilok itu jika melihat dirinya  diserbu pembeli?

"Jangan lupa besok coblos nomor dan nama saya, bapak-ibu sekalian!"

Sang caleg  masih berorasi. Sedangkan Tukijo mulai berkemas. Dagangannya habis, ia mau pulang. Semoga besok rejekinya selancar sekarang, walau musim kampanye berlalu. (*)

Cilacap, 040419

Senin, 24 Desember 2018

[Cerita Mini] Remah-remah Keju



Oleh: Gita FU

Hujan  menderas. Belasan kali Gea menyibak korden jendela, memindai kemunculan Ayah di pelataran kompleks rumah kos ini. Sudah  lewat satu jam dari azan ashar. Entah kemana perginya Ayah.

Gadis cilik sebelas tahun itu menekap perutnya, mencoba menghentikan genderang marching band di dalam sana. Makanan terakhir yang masuk  adalah dua potong bakwan, berjam-jam lalu di kantin sekolahnya. Kini Gea bergulingan di kasur. Perih. Lapar.

Nyalang matanya mengukuri empat dinding kamarnya. Gea mengingat-ingat waktu. Rasanya sudah berabad-abad ia dan Ayah meninggali tempat ini. Kalau tak salah hitung, empat bulan ia terpisah dari Ibu dan dua adiknya. Benar, empat bulan.

Ah, kenapa sih, orang-orang dewasa itu begitu rumit? Kenapa mereka yang katanya lebih pintar, tak bisa memecahkan masalah? Gara-gara mereka, ia dan adik-adiknya dipaksa menerima kosakata baru: cerai. Cerai adalah berpisah; Ayah dan Ibu tak satu rumah lagi; ia dibawa pergi Ayah, sedangkan Rea dan Aga tinggal bersama Ibu. Menyebalkan! Gea mengusap matanya yang mendadak banjir.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Gea berderap membuka kuncinya, berharap itu Ayah yang datang.

"Gea, sendirian, ya?" Bukan, bukan Ayah. Itu Pak Isa tetangga sebelah kamar. "Ah, ini ada sedikit roti dan keju buat Gea dan Ayah. Dimakan, ya?"

Gea menerima bungkusan, "Terima kasih, Pak!" Untung Gea belum lupa kesopanan. Pak Isa tersenyum sebelum kembali ke kamarnya.

Duduk menghadap meja satu-satunya di kamar, Gea mengeluarkan isi bungkusan. Dahinya mengernyit, ada empat lembar roti tawar persegi, dan empat lembar ... Keju?

Ia tahu tentang keju dari iklan-iklan di televisi dan majalah. Konon keju dibuat dari susu, bergizi, dan lezat pula. Benarkah? Ia belum pernah melihat  secara langsung. Jadi begini bentuknya? Tipis, persegi empat, berwarna kekuningan. Ia usap permukaan selembar keju. Lalu Gea mengendus-endus, mirip kucing membaui ikan. Seperti apa rasanya?

Gea mencuil salah satu ujungnya, membawanya ke mulut. Oh, asin! Dicuilnya lagi ujung yang lain, dan mengunyahnya. Eh, gurih!
Cuilan demi cuilan berubah menjadi suapan yang lebih besar. Terus kunyah, dan telan. Lidah Gea berdansa. Cacing-cacing di perutnya bersuka ria. Gea lupa menyisihkan bagian untuk Ayah. Yang ada hanya ia dan keju. Terus hingga tandas. Namun Gea masih mencari remahan, barangkali terjatuh  di permukaan meja. Ia masih belum puas. Rasa keju itu membuatnya ketagihan.

Mendadak pintu dibuka seseorang. "Gea, Ayah pulang!" Wajah Ayah terlihat lelah. Rambut dan jaketnya basah. Ia menenteng bungkusan plastik di kedua tangannya.

"Maafkan Ayah yang pulang terlambat, ya, Nak. Tadi Ayah ada urusan penting. Ini Ayah bawa makanan," ucapan Ayah terputus, "kamu sedang apa, Nak?"

Gea mendongak, sesaat berhenti dari kesibukannya menjilati plastik pembungkus keju. "Ngg, Ayah? Ini Gea lagi makan keju. Enak banget! Tapi maaf, ya, bagian Ayah juga Gea makan. Habis Ayah lama, sih. Gea 'kan lapar!" Gadis cilik itu kembali pada kesibukannya.

Ayah termangu, sisa air hujan menetes ke pelipisnya. Dia baru sadar telah menelantarkan putrinya seharian ini. (*)

Cilacap, 241218

Kamis, 06 Desember 2018

[Cerita Mini] Cicak dari Langit



Oleh: Gita FU

Belum pernah aku selunglai ini. Tabunganku nyaris tandas, dimakan hari-hari tanpa penghasilan. Semenjak aku keluar dari toko kain Wak Sigi dua minggu lalu, belum ada tempat lain menerima tawaran tenagaku. Tidak toko kelontong Yu Sarmi, laundry Bu Juju, atau warteg Mas Agus; semua  menolakku dengan alasan sudah cukup pegawai. Pilihan terakhir tinggal membabu di rumah orang. Dan itu sedang kupertimbangkan serius.

Omong-omong soal asap dapur, rupanya beras kami sisa dua kaleng saja. Dua kaleng ini akan kumasak separuhnya. Sisanya untuk esok. Yang penting perut anak-anak, aku bisa berpuasa. Urusan lauk, masih ada kecap manis kemasan saset, dan  mendoan di warung Lastri.

"Bu, aku lapar." Hanna mendekat, seragam TK-nya sudah berganti oblong merah dan celana pendek.

"Iya, Na. Ini sedang dimasak. Sebentar lagi matang," tunjukku ke penanak nasi listrik. "Kamu main di depan dulu, ya?" Hanna menurut.

Kulirik jam dinding, menunjuk angka  sepuluh. Dua jam lagi si kakak Fiyan pulang sekolah. Di luar mendung sudah tersibak. Lebih baik kulanjutkan menjemur cucian basah sisa kemarin.
Setengah jam berlalu. Kumatikan penanak nasi dan membuka tutupnya. Aku ingin menggelar nasi di piring untuk Hanna. Baru saja hendak berbalik, tiba-tiba seekor cicak dewasa jatuh tepat di atas nasi panas. Cicak itu segera belingsatan ke sana ke mari. Ya ampun! Sialan betul! 

"Bu, nasinya sudah matang?"

Suara Hanna menyadarkanku. Cepat-cepat kuambil sendok nasi. Lalu kuraup si cicak sial  keluar dari penanak nasi. Seharusnya kubunuh saja hewan itu, tapi urusan perut lebih utama. Anggaplah si cicak masih beruntung kali ini. Selanjutnya kubuang beberapa bagian nasi yang sempat jadi arena berlari cicak.  Akibatnya  jumlah nasi  berkurang lagi. Sudahlah masak sedikit, kini jadi makin sedikit. Namun apa boleh buat, bukan? Kemudian dengan sendok lainnya, kuambilkan Hanna sepiring nasi yang masih beruap, sekalian menutup penanak nasi. Cukup sekali saja kecolongan.

"Sini, Na. Nasi hangat plus kecap dan mendoan sudah siap!"

Putriku makan lahap.  Kuperhatikan tiap kunyahannya yang nikmat, laparku terobati. Tahu-tahu nasinya habis, Hanna mendongak. "Ibu sudah makan?"

"Oh, sudah kenyang, Na. Nah, taruh piringmu di tempat cuci piring, ya?"

"Sudah, Bu," lapor putriku. "Aku mau mengerjakan PR ya, Bu!"

"Ya, Sayang." Aku tetap duduk di dapur. Pikiran melayang pada suamiku. Sebentar lagi akhir tahun. Mas Wardi belum juga mengabari kapan akan pulang dari Kalimantan. Apakah pekerjaannya di proyek perumahan belum selesai? Tak ada yang bisa kutanyai. Padahal suami Wanti sudah kembali seminggu lalu.  Semoga tak ada kejadian luar biasa menimpanya. Semoga.

"Bu, ada tamu!" Seruan Hanna memutus lamunan. Gegas kubuka pintu depan. Oh, rupanya Darmi.

"Ada apa, Mi?"

"Aku punya kabar bagus buatmu," celoteh tetanggaku ini. "Kamu belum dapat pekerjaan, kan?" Aku menggeleng cepat.

"Bagus! Bu Bidan Ratmi sedang membutuhkan orang yang bisa dititipi anaknya selama dia dinas di rumah sakit. Berarti dari pagi sampai jam empat sore. Nanti bayarannya mingguan. Hanna boleh ikut. Terus, ya, makan siangmu ditanggung. Bagaimana? Mau, ya? Kalau mau nanti sore ikut aku ke sana."

Berondongan informasi Darmi sesaat membuatku lupa bernapas. Dia menanti jawabanku dengan ekspresi yakin. Setelah menimbang-nimbang ini memang bagaikan tumbu ketemu tutup, alias pas sekali dengan yang aku butuhkan. Aku pun mengiyakan.

"Eh, tunggu. Tukang momong sebelumnya kemana, Mi?"

"Pindah rumah. Udah, ya, aku pulang. Jangan lupa nanti sore!" Darmi segera berlalu.

"Maturnuwun, Mi!" seruku terlambat. Aku merasa lega penuh syukur. Gusti Allah memang tidak tidur. Di langit-langit seekor cicak berdecak.  Mungkin ia ikut bergembira denganku? Bisa jadi. (*)

Cilacap, 051218

(Ilustrasi: pinterest.id)