Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Agustus 2020

[Cerpen] Cublak-Cublak Suweng

 

Cerpen Radar Banyumas


(Tayang di Harian Radar Banyumas edisi Minggu, 2 Agustus 2020)

Oleh: Gita FU


Malam merangkak naik, jalanan telah lengang, hanya sesekali suara gonggongan terdengar di beberapa rumah penduduk yang memiara penjaga berkaki empat itu. Sementara sang ratu malam kian cerlang di singgasananya. Entah mengapa suasana purnama ini berbeda, seolah-olah ada teror tengah mengintai siapapun yang berani menjejakkan kaki di luar pintu rumah masing-masing, tanpa kecuali. 

Bagi Soni malam ini adalah malam yang paling ingin dilompatinya. Sekujur tubuhnya telah kuyup oleh keringat dingin sejak lepas isya tadi; bujang lapuk ini  tak tenang, tiduran salah, makanan apapun sulit ditelan, duduk-duduk pun bagai ada bisul matang di pantatnya. Emaknya sampai berulang kali menawari kerokan.

"Kayaknya kamu masuk angin, Son," ucap perempuan lanjut tersebut cemas. Ia raba dahi anak semata wayangnya penuh kekhawatiran.

"Aku ndak apa-apa, Mak, ndak apa-apa. Cuman lagi mikirin orang yang belum nyaur hutang ke aku," tepis Soni lembut. Ia tahu emaknya tak bisa menangkap kebohongan yang barusan ia lafalkan.

Perempuan tua itu menatap prihatin pada Soni. "Makanya jangan terlalu baik sama temanmu, Son. Kamu juga yang dibohongi seperti ini. Sudah ndak usah terlalu dipusingkan, Emak yakin nanti pasti ada ganti rejeki yang lain," ucap sang Emak berusaha menghibur. Soni hanya mengangguk dan tersenyum samar. Ditatapnya lekat-lekat wajah wanita paling berjasa dalam hidupnya itu. Mereka telah saling memiliki sejak lama sekali, tanpa kerabat lain. Bagaimana jika terjadi apa-apa padanya? Dengan siapa emaknya akan bersandar kelak? 

"Mak, kalau ada apa-apa sama aku, Emak tetap tinggal di sini, ya? Emak boleh ajak si Narisa buat menemani," kata Soni bersungguh-sungguh. 

"Eh, kamu ngomong apa? Ndak akan terjadi apa-apa, kamu belum kasih emakmu ini menantu dan cucu, jadi jangan bicara aneh-aneh. Pamali!" Emak membalas dengan nada tinggi dan kesal. Soni terdiam, ia lalu mencium tangan emaknya, pura-pura tak mempedulikan rasa heran wanita tersebut.

"Sudah malam, istirahatlah, Mak."

Setelah memastikan Emak masuk ke kamar tidurnya, Soni melangkah ke kamar kerjanya di sayap rumah, yang terpisah dari rumah utama. Ruangan ini berada di antara pepohonan pisang dan pepaya di pekarangan rumahnya. Ia menyengaja membuat kamar kerja ini, demi alasan khusus yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Bahkan Emak pun amat jarang masuk ke mari. Di luar angin kencang datang berpusar, menabrak pohon-pohon miliknya. Soni makin menggeletar.

Soni duduk lemas di lantai, kedua tangannya menyangga kepala. Pikirannya terasa berkabut. Agaknya inilah akhir untuknya: kalah oleh perjudian yang dibuatnya sendiri. Lelaki tambun ini menerawang, mengilas balik perjalanan hidupnya. Di suatu masa ketika belaian lembut tangan Emak masih sanggup meredakan tangisannya, akibat diejek sebagai anak haram. Ketika ia masih bisa bermain riang diiringi lagu dolanan bocah bersama Surti, Santi, dan Ning, meskipun kerap diolok-olok sebagai banci oleh anak lelaki lainnya. Kala ia masih bisa bungah menerima hadiah sepatu bekas dari anak majikan Emak. Soni mengusap matanya.

Mendadak jendela kamar terbanting terbuka. Selarik asap masuk ke tengah ruangan, mula-mula tipis, lalu menebal dan beralih rupa menjadi sosok seorang wanita. Tubuhnya dibalut kemben dan kain, menonjolkan lekak-lekuk menggoda. Kepalanya yang berambut panjang dan legam dihiasi semacam mahkota emas. Wanita itu tersenyum dingin pada Soni, kebengisan memenuhi tatapannya.

"Kau tidak lupa malam ini purnama ketiga puluh bukan? Jadi ... mana tumbal yang kuminta?"  Soni maju lalu mencium lantai di hadapan si makhluk.

"Ampun Kanjeng Nini, sa-saya tak bisa," jawabnya lirih.

"Apa maksudmu?" Makhluk yang berjuluk Kanjeng Nini itu menyeringai buas.

Soni tak langsung menjawab. Lamat-lamat ia menghidu bau mayat membusuk di sekitarnya. Hatinya menciut, ia nyaris ingin mengubah keputusan yang telah dibuatnya. Ah, kini Soni benar-benar menyesal. Namun sudah tak ada jalan untuk kembali.


**

Ingatannya kembali terbang ke malam celaka di hutan di punggung gunung Slamet kala itu. 

Setelah tersesat selama tiga hari akibat mengikuti petunjuk tak lengkap dari Kirun, temannya, akhirnya Soni menemukan petilasan yang dimaksud: sebuah ceruk pada sebatang pohon paling tua di sekitar situ. Ia segera melakukan ritual pemujaan di depan tempat tersebut. Lewat tengah malam muncullah sang Danyang¹, diterangi sorotan sinar bulan purnama. 

"Terimalah persembahan saya, Gusti," sembah Soni takzim. Makhluk itu mengikik panjang, bunyinya seolah datang dari kejauhan. Suasana hutan mendadak sepi tanpa suara-suara binatang hutan yang sebelumnya ramai terdengar oleh Soni.

"Panggil aku Kanjeng Nini, manusia. Aku bisa memberimu kekayaan yang kau idamkan selama ini," Kanjeng Nini berucap lembut. Senyumnya merekah selegit madu hutan. Serentak Soni menyembah si makhluk dengan perasaan membuncah. 

"Tapi tidak gratis, manusia. Ada syaratnya," tukas sang Danyang. "Setiap tiga purnama aku minta tumbal nyawa manusia. Apa kau sanggup?"

Soni menelan ludah. Ia sudah diberitahu perkara ini, tapi hatinya tetap merasa tergetar mendengarnya langsung. Ia lalu teringat kemiskinan yang membuatnya selalu tersisih dan tak dipandang banyak orang. Ia pun terbayang wajah emaknya yang amat ingin ia bahagiakan di sisa usia. Lagipula jumlah manusia di dunia ini sudah terlalu banyak, bukan? Apa salahnya dikurangi sedikit, ia nanti bisa memilih dan memilah calon tumbalnya.

"Baik, Kanjeng Nini. Saya sanggup," tercetus juga persetujuan dari mulut Soni. Di hadapannya si makhluk kembali tergelak, ia senang mendapatkan seorang manusia bodoh lagi sebagai pengikut.

"Bagus! Satu lagi yang perlu kau camkan, kelak di tumbal kesepuluh aku mau yang istimewa. Dan ingat! Jika kau langgar perjanjian ini, nyawamu jadi milikku. Sekarang pulang dan nikmati kekayaanmu!" 

"Terima kasih, Kanjeng Nini!" Soni girang, mengantuk-antukkan kepala ke tanah. Kanjeng Nini kemudian lenyap, menyisakan aroma kembang setaman dan sejumput kabut tipis. Selepas pertemuan manusia dan siluman tersebut, barulah para binatang malam kembali mengunggah suara mereka, seolah ikut berlega hati. Tak lama fajar pun terbit.

Itulah pangkal musabab perubahan nasib Soni. Setiap pagi, segepok uang  muncul dari balik bantalnya bagai disulap saja. Ia gunakan uang itu untuk membuka aneka usaha, sehingga pertambahan kekayaannya tidak terlalu menimbulkan pergunjingan. Selain itu ia pun membangun rumahnya  jauh lebih  bagus dari semula. Soni benar-benar melaksanakan niatnya membuat hidup emaknya lebih nyaman.

Ketika waktu mempersembahkan tumbal tiba, Soni memilih dari kalangan orang gila, lalu gelandangan, selanjutnya seorang preman, berikutnya seorang pesaing usaha, tak lupa ia pun mengorbankan sekaligus membalas dendam pada orang-orang yang pernah menghina dirinya maupun emaknya. Para korban  tersebut sebelumnya ia beri sesuatu benda, entah makanan, entah barang berharga yang telah diberi jampi. Mereka semua mati mendadak seakan-akan terkena serangan jantung. Demikianlah, tanpa sadar Soni telah menjadi pembunuh demi melanggengkan kekayaannya. 

Hingga menjelang tumbal kesepuluh, Kanjeng Nini mendatanginya. Sang siluman menginginkan tumbal istimewa. "Untuk purnama ketiga puluh kelak, aku mau kau tumbalkan orangtuamu, hai manusia!"

Melompat mata Soni mendengarnya. Permintaan itu sungguh tak pernah disangka-sangka. "Ke-kenapa begitu, Kanjeng?"

"Tiap sepuluh orang, kau harus semakin membuktikan pengabdianmu padaku. Dengan begitu aku pun akan semakin royal padamu. Mengerti?" Seringai sang siluman laknat. Soni gemetaran hingga tak sanggup menjawab. 

 "Jangan kecewakan aku!" Lalu siluman itu lenyap. Tinggallah pemujanya terduduk lemas tanpa daya.

Mana mungkin ia tega mengorbankan Emak, satu-satunya orangtua yang ia miliki? Demi apapun Soni tak akan menyakiti beliau yang telah banyak berkorban demi dirinya, semenjak lahir hingga dewasa. Batin Soni berkecamuk.

**

Siluman itu menggereng keras. Kemurkaan mulai merayapi parasnya. "Cepaaat! Mana tumbal yang kuminta?" Tiba-tiba taring panjang mencuat dari mulutnya. Bau bangkai busuk semakin santer mengisi kamar Soni. Bersamaan dengan itu, wajah dan tubuh Kanjeng Nini malih rupa menjadi raksasi buruk rupa; biji mata mencelat, rambut kusut awut-awutan, kuku-kuku memanjang, kulit bergelambir dan berlendir ....

Soni mengkerut menatapnya. Namun tekadnya sudah bulat. "A-ampun Kanjeng. Saya tak bisa menumbalkan orangtua saya."

"Keparat! Jadi kau memilih mati!" pekik sang siluman.

Secepat kilat sepasang tangan busuk mengangkat tubuh Soni. Lalu kuku-kukunya menembus dada Soni. Bunyi robekan kain, dan daging terdengar di udara. Darah Soni muncrat, matanya nyalang tak berkedip, teriakannya tercekat di tenggorokan. Tawa makhluk itu membahana. Tangannya terus merangsek mematahkan rusuk Soni ... siap meraup pusat kehidupannya.

Di kamarnya, Emak terjaga tiba-tiba. Suatu lintasan firasat membuatnya panik dan segera mencari anaknya. "Soni, Sini! Kamu di mana? Kamu belum tidur, ya?" Ia terus mencari di penjuru rumah induk. Tak lama perempuan yang amat dicintai oleh Soni ini teringat akan kamar kerja putranya. Ia pun menuju ke sana.

Sebelum nyawanya benjar-benar lepas, Soni terkenang tembang dolanan yang dulu pernah ia nyanyikan bersama kawan-kawannya.

 Cublak cublak suweng

Suwenge teng gelenter

Mambu kethundung gudel

Pak gempong lera-lere

Sapa ngguyu ndelekake

Sir sir pong dele kopong. (*)


Keterangan:

¹ Danyang : siluman penunggu suatu tempat yang wingit

²Cublak-Cublak Suweng adalah sebuah lagu tradisional yang mengiringi permainan anak-anak. Merupakan salah satu cara Sunan Giri saat itu menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Makna yang tersirat ialah: untuk mencari harta janganlah menuruti hawa nafsu tetapi semuanya kembali ke hati nurani.


Cilacap, 200816-040320

Senin, 29 Juni 2020

[Cerpen] Erwin dan Tiga Dara


Medan Pos edisi Minggu, 21 Juni 2020
Rubrik Seni dan Budaya


(Tersiar di Harian Medan Pos edisi Minggu, 21 Juni 2020)

Oleh: Gita FU

Pagi ini langit kelabu.  Tak ada yang menyerbu kamar mandi satu-satunya di dekat dapur. Tak ada yang meributkan bedak atau lipstik yang berpindah tempat karena dipakai bersama. Tak ada yang mengeluhkan tugas kuliah hari ini. Pun tak ada yang bergegas ke warung Bu Lastri untuk antri membeli nasi bungkus. Tak ada yang ingin melakukan itu semua. Kami terlalu syok untuk melakukan rutinitas.

"Coba Gea, kamu ceritakan lagi. Rasanya aku susah percaya," ucap Malia gemetar. Aku memelotot sebal padanya.

"Iya, Ge. Barangkali kamu salah lihat tadi," timpal Ielma. Kali ini kegusaranku meluap.

"Kalau kalian memang tak percaya, ayo ikut denganku!" 

Jam setengah enam tadi, aku  bersepeda ke minimarket 24 jam terdekat di luar gang rumah kos kami ini. Aku kedatangan tamu bulanan dan baru ingat tidak punya persediaan pembalut wanita. Ketika dalam perjalanan pulang, aku mengayuh sepeda di sisi yang berseberangan dengan saat berangkat. Di muka rumah kosong berhalaman luas itulah aku menangkap pemandangan mengerikan. Aku nyaris terpeleset gara-gara menarik rem mendadak. 

"Erwin!" Aku menjerit tanpa sadar. Jalanan masih lenggang, tak ada yang tertarik mendekat. Aku merasa  tengah bermimpi buruk, dan berharap bisa terbangun untuk mendapati semuanya baik-baik saja. Namun lengan kiriku sakit menerima cubitan jemari tangan kananku. Aku ingin lebih mendekat, tapi kakiku menolak melangkah. Akhirnya aku bergegas pulang.

 Malia mengusap lelehan air matanya, sedangkan Ielma hanya mematung. "Padahal tadi malam aku masih melihatnya di kursi teras. Masa pagi ini dia sudah pergi, sih?" gumam Malia.

 "Menurutmu apa penyebab kematiannya, Gea?" Suara Ielma bergetar, ia menatapku pedih.

"Entahlah. Mungkin ia sakit, atau keracunan. Yang jelas,  tak ada darah tumpah di sekitar tubuhnya." Bila ada darah maka kemungkinannya bertambah: Erwin menjadi korban tabrak lari, atau seseorang sengaja memukulinya sampai mati.

Kami lalu duduk berjajar di sofa ruang tamu.  "Mungkin seharusnya kubawa pulang saja jasadnya tadi," sesalku, "tapi aku terlalu takut." 

 Malia meremas lembut pundakku. "Sudahlah, Gea. Aku jadi terkenang pada bantuan Erwin, saat aku sakit hati akibat dikhianati  Jon," cetusnya. "Kalian ingat masa-masa kacauku, kan?" 

Kami mengiakannya. Peristiwa putus cinta itu terjadi tiga bulan lalu. Malia dan Jon telah berpacaran setahun.  Jon adalah kakak tingkat flamboyan. Ia terpikat pada   Malia yang eksotis, setelah menatar teman kami ini sebagai anggota baru klub jurnalistik kampus. Namun kemudian Jon  melihat kecantikan gadis lain, dan berpaling dari Malia. 

"Erwin sering mengekoriku. Padahal aku cuma ingin menyendiri, mengasihani diri sendiri. Namun seolah-olah mengerti kesedihanku, ia malah bertingkah manja dan menggemaskan. Membuatku lama-lama merasa terhibur." Malia menerawang, bibirnya melengkung ke atas.

Aku melirik ke arah gadis itu. Erwin pun melakukan hal yang serupa padaku. Tingkahnya yang senang dekat-dekat pada manusia, rupanya berhasil menjadi terapi buatku. Aku pernah punya pengalaman buruk  sewaktu usiaku   sembilan tahun.  Ada seekor induk berwarna belang tiga datang dan melahirkan tiga anaknya di rumah. Kucing-kucing itu pun menjadi sasaran belaian, dan permainan bagi aku dan dua adikku. Mulanya orangtua kami  tidak keberatan. 

 Lalu anak-anak kucing semakin besar. Dan mulailah ibu kami mengomel-omel, tentang kotorannya, tentang betapa terganggunya ia dengan  kucing yang berlarian ke sana ke mari. Seolah belum cukup, adik terkecilku memukuli perut salah satu anak kucing hingga mati; aku ingat buih yang keluar dari hidung dan mulut kucing kecil itu. Disusul kematian seekor anak kucing lainnya akibat sakit. Kemudian ayahku memungkasinya dengan membuang si induk beserta seekor anak yang tersisa, entah ke mana. Patah hatilah aku.

Sejak kejadian itu aku selalu takut berdekatan dengan binatang berbulu itu. Hingga takdir membuatku bertemu Malia, dan Ielma di kampus yang sama. Kemudian kami memutuskan menyewa rumah kos secara patungan, di mana seekor kucing jantan berwarna cokelat putih milik penyewa sebelumnya, menyambut kami dengan riang.

"Kalian ingat tidak waktu Erwin berhasil menerkam  burung merpati Pak Mamet?" celetuk Ielma. "Itu bikin Pak Mamet muntab ke kita, kan?" Insiden itu terjadi dua minggu lalu.

 Kami  bertengkar dengan laki-laki paruh baya itu. Malia dan Ielma berbalik menyalahkan Pak Mamet selaku pemilik yang abai. Saban hari si burung   hinggap di teras kami, lalu buang kotoran seenaknya. Aku segera memeluk Erwin, berjaga-jaga seandainya Pak Mamet kalap. Pertengkaran itu sampai-sampai ditengahi Pak Heru, tetangga kos. Akhirnya Pak Mamet batal meminta ganti rugi, sebaliknya kami pun meminta maaf atas polah  Erwin.

"Kalau mengingat kemarahan Pak Mamet, mungkin tidak dia ada hubungannya dengan kematian Erwin?" Malia melontarkan prasangka. Seketika kami terlonjak menyadari kemungkinan yang tercipta. Balas dendam merupakan hal lumrah, tanpa memandang spesies.

"Mmm, bisa jadi, sih. Tapi andai benar, kita sulit membuktikannya. Salah-salah kita dituduh melakukan pencemaran nama baik," sanggahku. Malia dan Ielma terpaksa membenarkannya.

"Pertama-tama ayo kita lihat dulu bagaimana jasad Erwin," ajak Ielma. "Setelah itu kita bawa pulang dan kubur di halaman belakang." Apa yang diucapkan Ielma masuk akal. Sudah saatnya kami melakukan sesuatu, tidak hanya tenggelam dalam nelangsa.

Kami baru saja melangkah ke pagar. Saat itulah seekor kucing melompat turun dari tembok pembatas samping rumah. Ia lalu mengiau manja pada kami. 

"Lho? Erwin!" seru kami berbarengan. (*)

Cilacap, 180320



Jumat, 13 Desember 2019

[Cerpen] Orang-orang Gila

(Tayang di Radar Banyumas edisi Minggu, 8 Desember 2019). Dokpri.

Oleh : Gita FU

Tak pernah terpikirkan oleh Sarwono, dari mana datangnya orang-orang gila itu. Jika adiknya bertanya, ia hanya akan mengangkat bahu. Ia terlalu malas mencari tahu Sepanjang ingatannya, sejak ia masih bocah SD hanya si Pur dan si As  yang biasa berkeliaran di kampungnya. Mereka kini menua, tapi masih setia mengorek-ngorek sampah, bicara sendiri, makan, minum, dan tidur di sembarang tempat. Ya, itulah si Pur dan si As yang ia kenal. Tapi sekarang agaknya ia harus meralat jumlah orang gila di lingkungannya.

"Mas, kemarin waktu aku ngejar layangan liwung, aku lihat ada laki-laki kelihatan anunya, duduk di bawah pohon petai Pak Pono," lapor adiknya, si Tono.

"Masa? Terus layangannya dapat?" tanggap Sarwono.

"Ya, batal! Wong aku takut sama orang gila itu!" Bocah kelas lima SD itu bersungut-sungut. Sarwono terkekeh-kekeh.

"Ya, kamu jangan dekat-dekat, Ton!" sembur ibu mereka, Sarmiyah. Kedua tangannya sibuk  mengadon bakwan jagung di baskom besar.

"Makanya aku lari, Bu! Oh iya, pas lari itu aku lihat di pinggir lapangan bola ada lagi," cerocos Tono bersemangat, "perempuan, badannya dikerubungi laler! Lagi jongkok sambil makan sisa nasi dari tempat sampah!"

Sarwono berhitung, "Kenapa jadi banyak orang gila di daerah kita, ya? Ckckck. Mengkhawatirkan." Ia lalu teringat seorang laki-laki aneh yang mengamuk di depan pos ronda.

"Jaman susah gini, bikin orang  banyak yang sinting. Persoalan ekonomi lah, keluargalah. Amit-amit jangan sampai ada keturunanku yang gila," timpal Sarmiyah. "Kalian harus tetap eling sama Gusti Allah, ya. Walau hidup miskin, kepala kita tetap waras!"

Sarmiyah berkata demikian bukan tanpa alasan. Ia adalah janda ditinggal mati suaminya lima tahun silam. Kalau ia tak berpikiran sehat, tentu sudah kelimpungan memikirkan sumber nafkah. Padahal suaminya dulu cuma penjaga sekolah, tidak meninggalkan warisan. Dan saat itu Sarwono masih butuh biaya sekolah, demikian pula  Tono yang baru masuk SD.

"Tapi jadi orang gila kan enak, Bu. Nggak usah mikirin belajar tiap hari kayak aku," cengir Tono menggoda ibunya.

"Hush! Sudah sana mandi! Minyaknya sudah panas, No? Ibu mau nggoreng bakwan, kamu siapin mendoannya." Sarmiyah menutup obrolan.

Sarwono sigap melaksanakan tugasnya. Ia sudah piawai urusan menggoreng mendoan, tempe tipis dan lebar khas Banyumasan itu, berkat pengalaman menjadi asisten ibunya sejak tamat madrasah aliyah dua tahun lalu. Di luar sana matahari mulai rebah, warung gorengan mereka akan didatangi  pembeli yang mencari lauk makan malam.

Di sela-sela menggoreng mendoan, ponsel Sarwono di atas meja dapur berdering; tanda ada pesan masuk. Sarwono membaca isinya, dan air mukanya berubah gelap. Namun sedapat mungkin disembunyikannya dari tatapan ibunya.

Usai waktu isya Sarwono pamit membeli rokok. Kesibukan menggoreng pun telah purna, sehingga ibunya sama sekali tidak keberatan. Ia sengaja berjalan kaki  menuju warung yang jauh dari rumah. Semata-mata ia bermaksud melerai kekusutan pikiran yang ditimbulkan pesan yang masuk ke ponselnya tadi. Karena si pengirim pesan itu adalah kekasihnya, Ningsih.

Mereka adalah pasangan kekasih sejak bangku Aliyah. Sarwono  telah merasa mantap ingin melamar Ningsih. Tetapi gadis itu keberatan dan malah ingin merantau ke luar negeri. Alasannya, Ningsih ingin mengumpulkan modal sebelum menikah. Sarwono terang-terangan tidak setuju. Ia khawatir hal-hal buruk bisa saja menimpa gadis manis itu di negara orang. Tetapi gadis itu tetap bersikeras.

'Kecuali kamu punya banyak uang dalam waktu singkat, maka aku bersedia mengubah keputusanku.' Itulah syarat dari Ninggsih di akhir pesan.

Sarwono marah pada Ningsih. Apakah gadis itu menyuruhnya mencuri, atau menyupang pesugihan? Mana ada uang banyak dalam waktu singkat! Jelek-jelek begini, Sarwono masih punya iman. Berjualan gorengan memang tidak serta merta membawanya kaya raya, tapi pasti cukup untuk memulai hidup baru yang bersahaja. Gila! Kekasihnya telah menjadi gila karena silau harta.

Terbawa pikiran yang kusut, tanpa sengaja Sarwono salah  membelok ke tanah kosong yang cukup lebar. Tak ada bangunan apapun di situ, kecuali semak-semak dan beberapa pohon pisang. Cahaya lampu  jalan pun tidak mampu menerangi seluruh areal tersebut. Mendadak matanya menangkap sesosok manusia,  duduk bersila di bawah salah satu pohon pisang. Sarwono menelan ludah. Manusia itu terlihat tak waras, dengan pakaian  berantakan. Sarwono berhenti melangkah, lalu putar badan. Di saat itulah ia mendengar orang itu bicara pada seseorang.

"Ya, Pak. Sebagian besar buruh, pedagang, penerbang dara, dan tukang main. Di sini juga gudang TKW. Ya, banyak balita juga, Pak. Baik, Pak. Saya tunggu perintah selanjutnya."

 Sarwono mengernyit heran. Percakapan itu terdengar waras sekaligus ganjil. Di balik punggungnya, orang itu tengah menyimpan ponselnya ke saku baju.

"Kamu mau ke mana, No? Kemarilah! Aku kawan lamamu." Sarwono terkejut setengah mati. Merasa penasaran, ia  berpaling penuh selidik pada orang tersebut. "Apa kamu sudah lupa pada  si Cacing?"

Julukan itu memunculkan satu nama di benak Sarwono. Si Cacing adalah olok-olokan untuk teman sekelasnya di masa SMP dulu. Temannya itu begitu kurus kerempeng sehingga sering jadi sasaran empuk berandal sekolah. Sarwono ingat, ia pernah beberapa kali membela anak itu. "Cahyo? Benarkah kamu adalah Cahyo? Kenapa kamu jadi begini?"

Laki-laki itu tergelak. Ia mengajak Sarwono duduk di dekatnya. "Jangan takut, No. Aku masih waras, kok. Ini cuma pekerjaan saja." Sarwono masih bergeming.

"Aku serius, No. Buktinya, aku masih mengenalimu. Hanya orang waras yang  memiliki ingatan jernih, bukan?" Akhirnya Sarwono mau juga duduk di dekat laki-laki  itu.

Mulanya Sarwono lebih banyak diam dan menyimak saja cerita Cahyo. Katanya, selulus SMP kedua orangtuanya meninggal mendadak. Ia lalu diasuh salah satu paman dari ibunya di luar pulau, dengan janji akan disekolahkan. Sedangkan rumah warisan orang tuanya segera dijual Paman dari pihak ayah; uangnya konon akan didepositokan di bank hingga Cahyo lulus SMA kelak.

"Tapi Pamanku pembohong semua. Ternyata mereka telah janjian membagi uang hasil penjualan rumah, tanpa menyisakan untukku. Alih-alih disekolahkan, aku malah disuruh kerja rodi di perkebunan sawit." Cahyo berkisah  perihal nasib malangnya.

Untunglah, kata  Cahyo, ada tetangga pamannya yang kasihan pada nasibnya. Ia diselamatkan dari perbudakan, dengan jalan kembali ke tanah Jawa. Sampai di sini ia terdiam. Sarwono pun masih tak berkomentar. Baginya, cerita Cahyo mirip lakon sinetron; meskipun bisa jadi benar-benar terjadi.

"Kamu diam karena masih ragu padaku, ya, No? Mari kutunjukkan sesuatu. Sebenarnya ini rahasia, tapi kamu dulu baik padaku." Cahyo mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari balik baju. Lalu ia menunjukkan isinya. Di bawah penerangan jalan yang remang, Sarwono bisa membaca bahwa itu adalah surat kontrak. "Aku tahu kamu cuma jualan gorengan bersama ibumu. Memang berapa duit yang bisa kamu hasilkan? Ayo bergabung bersamaku! Bayarannya besar, yang penting kamu tahan malu."

Cahyo kembali bertutur. Orang yang dulu menyelamatkannya telah mengenalkannya  pula pada pekerjaan tak lazim: menyaru sebagai orang gila. 
Untuk pekerjaan aneh ini, Cahyo harus mendaftar pada sebuah agensi rahasia. Agensi ini hanya bisa dimasuki berbekal rekomendasi dari anggota lama. Setelah diterima sebagai anggota baru, Cahyo diberi pelatihan rupa-rupa teknik penyamaran, dan ilmu bela diri. Ia akan diberi orderan oleh agensi, jika dianggap telah siap.

"Kamu tahu, No? Banyak orang penting yang jadi klien agensiku. Mereka yang butuh informasi detail suatu daerah, gemar memakai jasa kami sebagai orang gila gadungan. Mereka pun berani membayar mahal. Bagaimana? Kamu pasti tertarik! Uang, No, bayangkan uang yang banyak! Bukankah kamu butuh itu?" Cahyo terus membujuk Sarwono. Matanya berkilat-kilat, mulutnya menyeringai.

Sarwono gemetar hatinya. Kepalanya terasa berputar-putar oleh kata-kata teman lamanya. Semua terdengar gila baginya. Gila! (*).

Cilacap, 0310-121119

Jumat, 01 Maret 2019

[Cerpen] Ratmi Among-Among



(Tayang di Harian Radar Banyumas edisi Minggu, 24 Februari 2019)


Oleh : Gita FU

"Mbak, nanti jam dua motornya diantar," lapor Eko.

"Sudah beres sekalian surat-suratnya?" sahut Ratmi.

Eko mengacungkan jempol. "Sekarang aku mau ke rumah Pak Budi. Ada bisnis burung!"

Ratmi menatap punggung kurus pemuda dua puluh tahunan itu. Dia merasa lega, rencana pertama berjalan lancar. Selanjutnya dia akan segera membuka warung kelontong di halaman depan rumah.

 Enam tahun Ratmi merantau ke Hongkong, mengutip rupiah yang sulit dikais di negeri sendiri. Modalnya sudah terkumpul kini, cukup besar sehingga dia bisa usaha mandiri. Ratmi tak perlu ke luar negeri lagi. Tanpa sengaja wanita empat puluh tahun ini menoleh ke cermin hias di dinding ruang tamu. Bayangannya menatap balik, sesosok perempuan berambut keriting sebahu, wajah diisi noda hitam, dan mata besar berkantung. Alangkah tak menariknya!

"Apa kata Eko, Rat?"  Mak Tumini ibunya, muncul mengagetkan dari dapur.

"Oh, itu motornya mau diantar jam dua, Mak." Dia beringsut sedikit di sofa, memberi ruang untuk ibunya duduk.

"Hmm, berarti masih sempat," gumam Mak Tumini.

"Sempat apa, Mak?"

"Belanja buat bikin among-among. Nanti setelah motornya datang, kita undang tetangga dan Pak Misno," balas Mak Tumini penuh kepastian.

Ratmi mengernyit tak suka. Among-among adalah tradisi selamatan di wilayah lembah Serayu. Si empunya hajat memasak nasi dan lauk pauk, lalu mengundang para tetangga. Kemudian seorang yang dianggap ustad akan diminta memimpin doa keselamatan di atas makanan dan segayung air. Usai didoakan makanan segera dibagikan kepada tetangga yang datang,  dalam wujud takiran--mangkok dari daun pisang yang ditekuk atau dari kertas pembungkus makanan. Sedangkan airnya disiramkan pada objek yang didoakan, motor misalnya.

"Buat apa, Mak?" Ratmi merasa gagasan ibunya terlalu kolot dan  merepotkan.

"Biar tidak kena bala, ngerti!" Suara Mak Tumini langsung naik. "Namanya motor mau dipakai setiap hari, bisa kecelakaan. Mulane harus didoakan biar terlindung dari musibah!"

"Mak, asal kita sudah berdoa  sebelum naik motor, dan mengikuti aturan lalu lintas pasti selamat." Ratmi mencoba menyanggah.

Mak Tumini memelotot jengkel, lalu muntab. "Hooo, kamu berani mbantah, ya? Mentang-mentang kerja di luar negeri, trus sok pintar sama orang tua, hah? Mau mengulang kebodohanmu milih suami dulu, gara-gara nggak nurut omonganku?"

Ratmi kelabakan ibunya mulai melantur. Padahal dia hanya ingin meluruskan secara logika saja. "Bukan begitu, Mak...."

"Ya, sudah! Kalau begitu manut saja! Habis ini kamu belanja ke pasar Sangkal Putung. Nanti aku yang manggil Bu Jio sama Lastri buat 'mbantu masak dan bikin takiran," pungkas perempuan tujuh puluh tahun itu.

Ratmi menghela napas panjang. Sungguh ibunya ini perempuan tua keras hati. Dia akhirnya mengalah.

**
"Wah, si Ratmi memang pinter nyimpen duit, ya! Pulang dari Hongkong bisa beli motor baru, kes lagi!" puji Bu Jio.

"Biasa saja Bu Jio. Ini motor juga nantinya buat antar jemput Alda sekolah," jawab Ratmi tersipu.

"Bener kayak gitu, Rat! Daripada pusing-pusing mikirin cicilan," timpal Lastri.

"Iya, Las. Mumpung ada duitnya ngapain utang, kan? Bikin beban pikiran." Ratmi menjawil pipi Lastri, teman sepermainannya.

Mereka mengobrol di dapur sembari mengolah urap, sayur tempe cabe hijau, telur dadar, sayur bihun goreng, beserta kerupuk udang. Kesemuanya menu among-among.

"Tapi terutama Ratmi harus bersyukur ada aku yang bisa dia percaya. Coba kalau masih ada Markum, bisa habis uangnya buat foya-foya!" Mak Tumini menyinyir, mengungkit nama bekas menantunya.

Dua tetangganya terdiam, melirik Ratmi yang berubah masam wajahnya.  Dalam hatinya dia kesal bukan main, tapi jika ditanggapi maka ibunya akan semakin mengoceh. Padahal dia tak mau masa lalunya dibicarakan di hadapan tetangga.

Seolah-olah menjadi penyelamat kebisuan yang kaku tersebut, datanglah dua orang lelaki dari dealer motor. Ratmi semringah menyambut mereka. Tak lama kemudian proses serah terima pun selesai. Kini sebuah motor matic  berdiri gagah di teras rumah. Kesemuanya tak lepas dari pengawasan mata tua Mak Tumini. Diam-diam perempuan tua itu mengagumi kendaraan tersebut.

Menjelang waktu ashar Alda putri Ratmi, yang baru pulang sekolah, disuruh berkeliling menyampaikan undangan among-among kepada para tetangga terdekat. Pak Misno sang imam Mushola pun diundang untuk memimpin doa. Selepas waktu ashar, bersamaan pula dengan rampungnya persiapan among-among di rumah Ratmi. Ramai ibu-ibu dan  anak-anak kecil mendatangi rumah Mak Tumini. Mereka siap mengikuti ritual among-among motor baru Ratmi.

**
Eko tengah asyik menerbangkan burung dara miliknya. Mulutnya bersiul-siul dan berseru-seru disertai gerakan tangan saat memanggil pulang hewan bersayap itu. Dia tak sendirian di lapangan tersebut. Ada tiga lelaki lain yang sama-sama berkencan dengan belasan merpati mereka masing-masing.

Tiba-tiba sebuah motor bebek berhenti di pinggir lapangan. Lalu seorang lelaki turun dan melangkah pasti menuju Eko. Rambut gondrongnya berkibar, jaket kulitnya warna hitam lusuh, dengan celana jeans biru pudar. Tubuh lelaki itu tinggi tegap, wajahnya masih tampan di balik kematangan usia. Dia menepuk keras bahu Eko dari
belakang.

Eko terloncat kaget, lalu berubah gugup. "Eh, Kang Markum? Dari mana saja?"

"Dari rumah. Jadi ikut lomba dara?" Lelaki bernama Markum balas bertanya.

"Ngg, jadi Kang. Makanya kulatih terus daraku biar makin trampil terbangnya," jawab Eko berseri-seri.

Lomba balap dara tiga hari mendatang adalah ajang penting baginya. Selain iming-iming hadiah yang menggiurkan, di tempat itu berkumpul sesama pecinta burung. Amat bagus untuk memperluas koneksi, karena dirinya adalah pemain baru.

Markum manggut-manggut. Sebenarnya dia tak peduli  dengan urusan Eko. Dia punya maksud lain mendatangi Eko di sini. "Kudengar Ratmi sudah pulang dan barusan selamatan motor baru. Benar begitu?"

"Eh, i-iya Kang."

"Kamu 'ndak ngabari aku," tandas Markum kesal.

Eko berpikir cepat, mencari jawaban. "Ya, aku sibuk membantu urusan Mbak Ratmi, Kang. Jadi ndak sempat ngabari." Dalam hatinya  Eko menyumpahi bekas kakak iparnya itu. Bagaimana bisa preman ini bersikap seakan-akan masih berhak mengetahui kehidupan mbakyunya, Ratmi?

"Yah, bukan masalah besar. Besok aku bisa ke sekolah Alda," gumam Markum.

Eko terperanjat, "Buat apa Kang?"

"Lha, dia 'kan anakku. Wajar seorang bapak menemui putrinya, bukan?" seringai Markum. Lelaki ini sedang perlu banyak uang. Suatu kebetulan yang pas  mantan istrinya pulang dalam kondisi berduit.  Dan dia berencana mendapatkan bagian, dengan satu atau dua cara.

"Aku pergi dulu, Ko. Sampaikan salamku buat Mak Tum." Markum tahu, tak mungkin bekas adik iparnya itu berani menyampaikan salamnya barusan. Dia hanya bermaksud mengejek saja. Sambil terkekeh Markum pun berlalu dari tempat itu. Eko mengedik tak peduli.


***

Sejak pulang sekolah wajah Alda terlihat resah. Seperti ada yang dipendam, tapi tak kunjung keluar. Berulangkali lidahnya tergigit ketika makan, tanda hatinya tak tenang. Akhirnya Alda tak tahan lagi.

"Ngg, Bu. Alda mau ngomong, boleh?"

"Masa nggak boleh? Mau ngomong apa?" senyum Ratmi.

"Ta-pi jangan marah ya, Bu. Tadi Bapak menemui Alda di lobi sekolah," urai Alda pelan. Diceritakannya bahwa Markum memohon izin pada gurunya demi bicara berdua Alda. Bapaknya itu terlihat kuyu. Setelah menanyakan kabar Alda, barulah dia mengatakan maksudnya.

"Apa? Berani-beraninya dia menyuruhmu memintakan uang pada Ibu?" Ratmi muntab. Putrinya menunduk, takut.

"Bapak bilang, dia dikejar-kejar tukang pukul, Bu. Alda kasihan. Bagaimanapun dia bapaknya Alda," ucap Alda memelas.

"Tidak! Dia memang bapakmu, tapi bukan siapa-siapa lagi bagi ibu. Jadi jangan harap ibu sudi menolongnya," sanggah Ratmi keras. "Dan kamu, Alda, jauhi bapakmu sebisa mungkin. Percaya sama ibu, dia hanya membawa hal buruk buat kamu!" Setelah mengucapkan itu, Ratmi meninggalkan Alda di ruang makan. Hatinya panas.

Alda tercenung sedih. Tak lama dia masuk ke kamarnya, meraih ponsel. Dia berniat memberi tahu reaksi ibunya pada sang bapak. Semoga bapaknya bisa memahami situasi saat ini.

Keesokan subuh, seperti biasa Mak Tumini keluar kamar hendak mematikan lampu teras. Saklarnya ada di ruang tamu.

"Lha? Ratmi! Ratmi! Motormu kemana?!" pekik perempuan tua itu histeris. Motor yang kemarin baru diselamati lenyap dari tempatnya!
Ratmi dan Alda buru-buru melepas mukena dan keluar dari kamar, memburu Mak Tumini yang masih histeris.

"Alda! Bangunkan Lik Eko, cepat!" Kemudian Ratmi menuntun ibunya untuk duduk tenang di sofa. Dia lalu memeriksa pintu dan jendela depan.

"Motormu hilang, Mbak? Yang benar saja!" Eko muncul, ikut bingung. Dia mengikuti kakaknya, memeriksa pintu dan jendela. Ada bekas congkelan di pintu.

"Polisi, Bu. Kita lapor polisi!" jerit Alda.

"Kita lapor ke Pak RT dulu," tanggap Eko.

"Duh, Gusti! Siapa yang tega nyuri...," isak Mak Tumini. Motor yang baru dibeli dengan hasil jerih payah Ratmi, putrinya. Motor yang telah didoakan. Duh! (*)

Cilacap, 251217-130219

Jumat, 23 Februari 2018

[Cerpen] Kisah Uang Kertas


(Dimuat di Tabloid Genie, Edisi 16/Th XIII 5-11 Januari 2017)




Pukul 19. 45 WIB.

Gen menghela napas panjang. Ia duduk di sebuah gazebo restoran Sunda. Di atas mejanya tergeletak dua buah gelas dengan air mineral. Pesanan sementara saja selagi menunggu. Masih ada sisa lima belas menit lagi dari waktu pertemuan. Ia memang sengaja datang lebih awal. Gen butuh memantapkan hatinya sendiri.
Ia teringat percakapan dengan saudara kembarnya, sepekan lalu.

"Jo, ini kesempatannya. Takkan lagi ada yang setepat sekarang," Gen membujuk kesekian kali. Sudah ia terangkan, bahwa ayah meminta kantor manajemen EO miliknya, mengatur acara gathering Komunitas Cinta Damai--sebuah ormas pendukung partai politik. Bukankah itu suatu pertanda baik?

"Kau masih saja naif, Gen!" cela adiknya, "bisa jadi karena dia tahu kau pasti takkan memasang tarif, malah bisa jadi kau gratisi dia!"

"Demi Tuhan Jo, berhentilah bersikap sinis! Dia masih ayah kita. Apapun hubungannya dengan ibu kini, bagi kita tak ada bekas ayah!" sentak Gen, adiknya terdiam.

"Sorry Gen, mungkin kau benar. Namun bagiku dia tetaplah seorang hipokrit menjijikkan, mudah-mudahan kau ingat dan waspada," pelan Joya bersuara.

Oh, tentu saja Gen ingat. Kala ia dan Joya masih bocah berseragam putih-merah,  ayah memutuskan menceraikan ibu. Demi menikahi putri dari Mr. Tan, donatur bagi karir politiknya.

Akibat perceraian itu, ibu menanggung luka hati yang mendalam. Untunglah ada dukungan usaha katering milik eyang putri, hingga secara finansial mereka tak limbung.
Tahun-tahun yang melesat, memperlihatkan sosok ayah ambisius, sukses menduduki jabatan prestisius di sebuah parpol. Lelaki itu demikian glamor dalam dunianya. Pemberitaannya selalu berbau sensasi bak selebritas. Ya, sosok pria yang berhasil bersenang-senang, di atas luka yang ditorehkan pada anak dan mantan istrinya.

"Dek...," panggilnya.

"Begini saja Gen. Kau buktikan padaku dia sudah berubah, mungkin aku mau pulang. Sudah ya, aku ada kerjaan lain." Begitulah cara Joya menyudahi sambungan telepon.

Gen membuang pandang pada kesibukan di restoran itu. Tertampak sebuah keluarga kecil, duduk mengelilingi menu nasi timbel dan ayam panggang, di meja lesehan. Tawa dua bocah lelaki kala berebut potongan daging, ditengahi ibu mereka, sementara si ayah  sibuk merekam dengan ponselnya. Betapa hangatnya. Dada Gen sesak.

Di gazebo lain, sepasang muda-mudi saling menancapkan kemesraan sambil mengaduk cairan kuning dan merah dalam gelas masing-masing. Mungkin mereka belum tahu kepahitan hubungan percintaan, batin Gen sedikit miris.

Waktu terus berdetak di pergelangan tangan kirinya. Kali ini dikeluarkannya sehelai uang kertas dua ribuan, dari dompet kulit cokelat. Lembaran yang lusuh dan bertambal isolasi bening pada salah satu sisi. Dengan penuh romansa, pemuda berambut ikal tersebut mengenang sesuatu. Kalau bukan karena benda ini, mungkin ia takkan mengubah sudut pandang tentang ayahnya.

Pada satu hari setelah wisuda sarjananya, eyang putri memanggil Gen ke ruang baca. Di tangan wanita sepuh itu tergenggam sehelai kertas.
Awalnya Gen kira demikian, namun setelah diamati itu bukan kertas kumal biasa, melainkan selembar uang dua ribu yang sobek. Gen mengernyit heran pada eyangnya.

"Tolong ambilkan isolasi bening dan gunting, Gen," pinta eyang. Tak perlu waktu lama bagi cucunya memenuhi permintaan tersebut. Kemudian eyang meratakan kertas kumal itu di atas meja, lalu menyejajarkan bagian yang sobek. Gen masih diam memerhatikan. Eyang menyatukan dua bagian itu dengan isolasi tadi.

"Nah, lihat! Jadi utuh lagi, kan?" Eyang berseru penuh kemenangan. Pemuda di hadapannya garuk-garuk kepala merasa bingung.

"Untuk apa uang lusuh seperti itu, Yangti? Kalau mau, Gen punya yang masih mulus." Eyangnya mengutas senyum. Sepasang mata tua di balik kacamata baca itu berkilat menyiratkan kecerdasan.

"Sini, duduk sebelah Yangti. Dengar ya, Nak. Kamu sudah dewasa dan akan menghadapi hidupmu sendiri. Ingatlah, di balik kerusakan dan kesedihan, tetap ada kesempatan untuk mempebaiki."

"Maksud Yangti?"

"Seperti uang kertas ini. Sekilas menyedihkan, jelek, sobek, dibuang pun tak apa. Tapi sebuah perekat bisa menolongnya. Dia jadi bisa berguna lagi. Simpan uang ini, Nak. Supaya kamu ingat selalu tentang kesempatan kedua." Eyang membelai kepala dan wajah Gen yang masih terpana.

"Yangti percaya, hatimu penuh welas. Nanti kamu akan paham."

Gen menekuri lembaran tersebut. Benar, kesempatan kedua untuk potret keluarganya. Sebentar lagi lelaki itu akan tiba. Gen mempersiapkan diri.

**

Tepat pukul 20.00 WIB.

Wajah ayah tak banyak berubah masih seperti Sean Connery, hanya rambut pendeknya mulai diselingi warna perak, sepasang netra cokelatnya menatap Gen penuh kerinduan.
Setelah memberi pelukan hangat, sang ayah seperti kehabisan kata-kata. Sementara pemuda itu sengaja menunggu. Tuan Danu berdehem, sekadar melonggarkan tenggorokan. Suaranya terdengar parau.

"Well, Ayah senang kita bisa bersua lagi, Nak." Gen mengangguk sopan.

"Kau tahu? Rasanya baru kemarin Ayah lihat kau, dan Joya bermain bola di halaman rumah kita dulu. Eh, sekarang sudah jadi bujang gagah, dan tampan." Ia terkekeh sendiri.

"Apa kabar adikmu?" Gen mengangkat alis. Apa ayahnya benar-benar peduli, atau basa-basi?

"Joya  sedang giat bekerja di Salmiya," jawabnya, menyebutkan nama salah satu perusahaan minyak multinasional.

"Kenapa kau tak banyak bicara, Nak?"

"Mengapa Ayah memilih EO-ku?" tanya Gen tajam.

Pria paruh baya itu terperangah, buru-buru meneguk air mineral.
"Ehem! Begini, ... Ayah tahu betapa besar kesalahan-"

"Cobalah jangan omong klise, Yah. Aku sudah dewasa. Butuh penjelasan yang lebih masuk akal," potong Gen.

"Nak, yang terjadi di masa lampau memang tak mungkin kita perbaiki," ucap Tuan Danu perlahan, "Tapi masa depan masih bisa kita ubah."

"Ayah jangan beretorika, aku bukan kader partai."

Tuan Danu terdiam cukup lama. Sementara Gen pura-pura sibuk menekuri buku menu.

'Ah, seharusnya aku bisa lebih lunak, bagaimanapun aku ingin berdamai,' bisik hati anak muda ini.

"Nak, tolong beri Ayah kesempatan menjadi bagian dari hidup kalian lagi."

Gen menatap mata itu, mencari kesungguhan. Tiba-tiba pria tersebut terlihat begitu rapuh, mengibakan hati. Namun ia masih ingin diyakinkan.

"Bagaimana dengan istri Ayah? Apa dia mau kita dekat kembali?"

"Tentu saja, Nak. Dia tak mungkin mencegah hubungan darah."

"Lalu ibu kami?" Pertanyaan yang sulit dijawab...

"Kita lihat saja nanti, Gen."
Jawaban yang belum memuaskan.

Batin Gen masih bergolak. 'Apakah Ayah bisa dipercaya?' Ia raba uang kertas di saku celana. Mengingat kembali pesan eyang. Untuk beberapa jenak ia bungkam, diikuti pandangan cemas pria di hadapannya. Akhirnya sembari mengembuskan napas, Gen memutuskan ini cukup bagus sebagai permulaan. Kemudian senyumnya terbit untuk pertama kali. Tuan Danu berbinar lega.

***
Sembari berjalan menuju Alphard hitam, sang Politikus men-dial sebuah nomer.

"Bagaimana, kau dapat fotonya? Dengar, aku ingin kau tulis sebagus mungkin. 'Tuan Danu berdamai dengan putra kembarnya'. Mengerti?" 

Di restoran, Gen kembali memandangi uang lusuh tersebut.

**END**

Cilacap, Juni-Oktober 2016

(Keterangan: ini adalah versi asli cerpen sebelum diedit pihak redaksi).








































Selasa, 20 Februari 2018

[Cerpen] Pohon Kepuh dan Cerita-Ceritanya


(Dimuat di Radar Mojokerto- Minggu, 11 Juni 2017)

Konon, di Karang Suci dulunya terdapat kerajaan kethek--kera dalam bahasa Jawa. Mereka mendiami istana Pohon Kepuh yang berdiri megah di tengah pekuburan manusia.

Para kethek hidup  bahagia. Bersuka ria semenjak fajar hingga malam menutup hari. Mereka bebas berlompatan-menggaruk bokong-mencari kutu-berkelahi-kawin-beranak-menggosip. Semua yang umum dilakukan kaum berekor panjang itu.
Pada mulanya jumlah mereka melimpah-limpah melebihi manusia peziarah. Para kethek seolah penguasa pekuburan dan orang harus membawa upeti buat mereka mulai dari makanan hingga kembang kamboja. Itu perlu agar kegiatan menggali, mengubur, menabur bunga, dan mendoakan arwah tidak diganggu makhluk penjerit tersebut.

Namun roda berputar. Pesta selalu berakhir. Hukum alam berlaku tanpa mengecualikan hewan seperti kethek. Gelombang manusia berdatangan mengantar sanak kekasih tetangga hingga orang gila ke balik tanah basah.
Orang-orang mati memerlukan tempat istirahat. Orang-orang hidup membutuhkan tempat menunjukkan duka di atas gundukan si mati. Para kethek mulai terusik. Mereka kalah jumlah hilang kuasa. Seolah merestui kebutuhan manusia, sang Pohon Kepuh nan agung roboh! Maklumlah usianya sudah tua gigi tinggal dua dan tak sanggup menanggung amara.

Wuss. Para kethek tersapu angin hilang lenyap dari Karang Suci. Meninggalkan legenda yang merasuk.

***

Seto mengucek mata. Perjalanan enam jam sejak tengah hari dalam bus ekonomi dari Bandung berakhir sudah. Ia meregangkan tubuh penat hingga terdengar bunyi gemeretak. Teman sebangkunya sudah lama turun bersama arus penumpang lain. Ia yang tersisa.

Langit muram Cilacap menyambutnya. Di jalan debu bercampur dedaunan campur aneka sampah plastik berputar di udara. Orang-orang menutupi wajah mereka. Partikel debu kencang siap menampar siapa saja tak terkecuali Seto. Ia mengayuh langkah setengah berlari keluar terminal, mengabaikan tawaran para pengojek. Adiknya berjanji menjemput. Semoga anak itu sudah datang, batin Seto.

Seorang remaja usia SMP melambaikan tangan. Ia mencangkung di atas bebek hitam setrip biru. "Cepetan, Mas! Sebentar lagi hujan!" Segera setelah pantat Seto mendarat di jok, si adik menggeber  sang bebek. Menembus  lalu lintas kota yang berdenyut kencang; berpacu mendahului hujan. Seto menekap tas dan kardus kecilnya erat-erat.

Rumah, aku pulang; bisiknya.

Dua tahun ia bertahan dalam kamar pengap di pinggir Bandung sana. Menyesapi hari demi hari sebagai buruh pabrik tekstil. Ia selalu kelelahan. Tak pernah cukup waktu luang. Tak pernah cukup simpanan uang. Semua alasan itu yang dikemukakan jika ibunya meminta ia pulang. Untuk apa pulang? Belum ada monumen membanggakan bisa ia tunjukkan. Pun tidak seorang mojang bakal bini. Ia merasa cukup hanya unjuk suara di telepon genggam. Atau sekali waktu mengirim duit lewat bank pemerintah.

Seto tahu ibunya tak akan terlantar hanya karena ia menolak pulang. Banyak kerabat di Cilacap. Masih ada kakak perempuan dan adik laki-laki sebagai penjaga ibu. Mereka semua punya tangan dan kaki lengkap untuk mencari makan. Jadi, tidak pulang adalah pilihannya.
Kecuali hari ini.

Ibu menyambutnya dengan kerinduan meruap. Momen singkat menjelang magrib dipergunakan wanita separuh baya itu untuk mengusap wajah sang putra sembari duduk di kursi ruang tamu. Kakak dan adik Seto sudah lenyap dalam kesibukan setelah basa-basi sejenak.

"Maaf, Bu. Aku ndak bawa banyak oleh-oleh," ucap Seto pelan. Wanita tersebut tersenyum lebar, ada kilau kaca di dalam matanya.

"Kamu ini! Kamu mau pulang saja Ibu 'dah seneng!" Seto merasa jengah. Bagaimana pun ada bongkah rasa bersalah muncul melihat reaksi Ibu atas kepulangannya. Ia berdehem.

"Oh iya! Kamu pasti capek, ya. Sudah sana ganti baju di kamar. Terus ke dapur, makan dulu," instruksi Ibu.

"Jam berapa selametannya, Bu?"

"Nanti lepas Isya." Ibu beranjak ke dapur meninggalkan Seto.

Inilah alasan kepulangan Seto : acara mendhak pindho² sang Ayah. Walau ia harus mengajukan izin kerja karena hitungannya jatuh pada hari Kamis Wage--malam Jumat Kliwon. Seto melanggar tekad 'jarang pulangnya' sebab rasa bakti  pada almarhum.

Kenangan yang tersisa pada Seto tentang Ayah ialah permaklumannya. Apa saja polah laku tiga anaknya, dihadapi Pak Birun dengan hati lapang. Saat mbak Surti menjanda di usia pertengahan dua puluhan akibat ditinggal mati suaminya yang gembong curanmor--ditembak petugas polisi--, Ayah menganggap itu wajar. Ketika Seto mbalelo tak mau mengikuti ujian sekolah menengah atas dan malah masyuk jadi penerbang merpati, Ayah tak  muntab. Pun saat si bungsu Rino hobi merusak mainan miliknya dan milik anak tetangga, Ayah menanggapi santai saja. Justru Ibu yang murka, menangis, menyumpah-nyumpah.

Karena itu Seto merasa berhutang budi. Ayahnya orang baik, yang kematiannya akibat ditabrak lari pemuda mabuk sepulang mancing di satu petang, masih disesali Seto hingga kini. Jadi malam ini ia akan bergabung bersama Ibu dan dua saudaranya dalam doa. Seto yakin Tuhan Yang Maha Baik mau menerima doa mereka sekeluarga ditambah orang-orang yang baru pulang dari mushola.

Tepat sesudah doa berakhir dan para jamaah undangan pulang setelah menerima bungkusan berisi nasi serta tanda terima kasih lainnya, langit pecah jua. Ibu lega hajatnya terlaksana.
"Besok kita ke kuburan ayah kalian, menyiramkan air doa ini," tuturnya pada ketiga anak di hadapan.

Air yang dimaksud sebetulnya air biasa didalam botol minuman satu setengah liter, tadi diletakkan di depan pemimpin jamaah selama pembacaan doa. Mereka memandangi benda tersebut dengan pikiran masing-masing.

**

Jumat Kliwon dianggap Jumat sakral bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Tak heran banyak peziarah mementingkan hari tersebut untuk nyekar ke kuburan. Seto dan keluarganya turut larut dalam pawai tersebut. Berjalan kaki ke pekuburan Karang Suci yang hanya berjarak 500 meter saja. Tak lupa membawa aneka bunga tabur, dan uang receh secukupnya.

Buat apa, tanya Seto. Nanti kamu tahu sendiri tandas mbak Surti. Adiknya mengangkat bahu atas ketidakmengertian Seto. Ibu berjalan memimpin di depan, sesekali menyapa orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Di langit, bola lampu Tuhan mulai memanjat naik.

Seto memang tak pernah menziarahi siapa pun di Jumat Kliwon di Karang Suci. Maka ia terperanjat bukan kepalang menyadari arus manusia memenuhi tiap tapak tanah pekuburan. Dan tidak semuanya peziarah. Seto menyadari itu saat mendapati lelaki atau perempuan yang membawa-bawa sapu lidi. Tiap ada rombongan mendatangi suatu kuburan, si pembawa sapu itu akan mendului membersihkan areal tanah dari apa saja yang mengotori. Tak lama ia akan menerima upah.

Ada juga sekelompok penjaja makanan dengan gerobak dagangan di atas motor, berhenti di pinggir-pinggir setapak menanti peziarah yang lapar. Seto pun melihat beberapa pemuda menjadikan makam yang dinaungi pohon Kepuh, sebagai tempat kongko dan bermain telepon pintar. Beberapa ekor anjing tampak tidur-tiduran dengan lidah menjulur. Belum lagi hilir mudik anak-anak kecil membuntuti peziarah sembari menadahkan tangan.

"Beri mereka, Rino," perintah mbak Surti. Setelah menerima sekeping-dua keping logam, anak-anak pembuntut tadi berhenti mengekori mereka dan berpindah pada orang lain.

"Tapi itu ada ibunya, Mbak!" Seto menunjuk seorang wanita berbaju lusuh, duduk di atas cungkup kuburan. Wanita itu mengawasi bahkan mengarahkan anak-anak tadi.

"Ya ampun, Seto, tentu saja! Mereka semua sedang ngethek¹ di sini!"

"Sshh, diamlah. Kita sudah sampai," Ibu melerai perdebatan mereka. Lokasi kuburan Ayah ada di pinggir Segara Anakan.

Seorang lelaki tua telah mencabuti rumput di sekitar kuburan, lalu menyapu hingga bersih. Dengan tersenyum lebar ia mempersilakan Ibu melakukan ritual ziarah. Sementara ia sendiri mundur dan menunggu di dekat situ.

 Seto berusaha memusatkan perhatian pada Ayah di balik tanah. Mereka berjongkok, mengusap kepala nisan, menangkup tangan, merapal doa bagi arwah Pak Birun--kepala keluarga terbaik yang pernah ada. Lalu Ibu menyiramkan air semalam, mbak Surti menyusuli dengan taburan bunga. Ritual selesai. Lelaki tadi kembali mendekat untuk mengambil upahnya.
Ibu beranjak meninggalkan kuburan Ayah. Kali ini Rino berjalan mendului, mbak Surti segera menjajari Ibu. Tapi Seto masih enggan beranjak. Pikirannya melantur. Angin meniup lepas kembang Kamboja menjatuhi kuburan-kuburan di bawahnya. Pemuda itu merasakan kesejukan di tengah keriuhan manusia di sekitarnya.

"Seto, ayo!" seru mbak Surti. Malas-malasan Seto berdiri lalu ikut beranjak meninggalkan rumah terakhir Ayah.

Para kethek mencangkung di atas dahan pepohonan Kepuh. Berceloteh tentang panen buah musim ini.
Anak-anak berlarian menelusup di antara para peziarah. Tertawa-tawa memamerkan gigi hitam kebanyakan makan gula-gula.

Kethek jantan riuh berkelakar tentang buah di dada manusia. Induk kethek menyusui bayi-bayinya.
Ada video panas sedang dibagi-bagikan lima pemuda tanggung. Pesta minuman menanti malam ini di pos ronda dekat kuburan.

Pasukan kethek menyebar di area pekuburan. Menarik-narik tangan, baju, tas peziarah. Minta jatah.
Lelaki dan perempuan berbaju lusuh. Berbagi area menyapu kuburan. Menatap pengunjung yang datang, meminta bayaran. Anak-anak menadahkan tangan. Orang-orang membayar jasa tukang gali, juru kunci, hingga juru doa kubur.

Ini tentang para kethek dan legenda yang tertinggal di Karang Suci. (*)

Keterangan:
¹ Ngethek : bertingkah laku seperti kethek (kera)
² Mendhak pindho : ritual selamatan memperingati +- 2 tahun meninggalnya seseorang.

Cilacap, 310317

(Kisah untuk: FAS, KBMers, Lovriners, dan BAwers).