Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Cerita Remaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Remaja. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Juli 2019

[Cerma] Tanpa Ibu



(Terbit di Mingguan Minggu Pagi--KR Grup)


Oleh: Gita Fetty Utami

Pembacaan tahlil dan doa selepas isya belum lama  usai. Para tetangga telah berpamitan pulang semua. Menyisakan Ayah bersama beberapa kerabat yang masih bercakap-cakap di ruang tamu. Kiara segera beranjak masuk ke kamarnya. Ia rebahan menatap langit-langit dengan mata sembab, sembari memeluk bantal guling. Rasa-rasanya ia sulit percaya Ibu telah tiada dan dimakamkan tadi siang.

"Ibu," rintih remaja kelas dua SMP ini.

Benaknya kembali memutar rekaman peristiwa, saat tadi pagi Om Tanto ke sekolah dan meminta ijin ke kantor guru untuk menjemputnya. Kiara cemas karena adik ibunya itu memasang raut wajah tegang. Namun tak ada penjelasan lebih jauh ketika ia bertanya, selain mengatakan Ibu ingin bertemu.

Sepanjang perjalanan bermotor dari kompleks sekolah berasrama menuju rumah, Kiara terpaksa menebak-nebak sendiri. Apakah kondisi Ibu melemah lagi? Namun  jika demikian, seharusnya Ibu dibawa  ke rumah sakit, bukan? Kenapa Ibu malah memintanya pulang? Aduh, hati Kiara seperti digoreng minyak panas saking gelisahnya. Kemudian baru ia sadari Om Tanto mengebut dan mengambil jalan-jalan pintas agar lekas sampai.

Di jalan masuk menuju rumah, Kiara melihat beberapa tetangga duduk di teras rumah. Mendadak Kiara disergap ketakutan tak bernama. Begitu motor berhenti, Kiara langsung meloncat turun, masuk terburu-buru.

Di kamarnya Ibu terbaring dengan mata terpejam. Ayah tak henti-henti membisikkan kalimat syahadat ke telinga kanan Ibu, menuntun beliau mengucapkannya. Andini, kakak Kiara, terisak-isak di kaki ranjang. Menyaksikan pemandangan itu membuat tubuh Kiara kehilangan bobot. Ia segera menubruk  wanita yang melahirkannya itu.

"Ibu kenapa?" pekiknya. "Bangun, Bu! Ini Kia!"

Ajaib. Mata Ibu membuka, lalu menatap Kiara. Dengan terpatah-patah ibu bicara. "Ki-a. Nak, ka-mu yang kuat, ya? Ja-ga iba-dah-mu. Ibu sa-yang Ki-a." Setelah itu mata Ibu kembali menutup meskipun Kiara dan Andini bergantian memanggil.

"Innalillahi wa innailaihi rajiun," ucap Ayah lirih. "Ibu sudah pergi, anak-anak." Pecahlah tangisan mereka sekeluarga.

Kiara mengusap lelehan air matanya yang semakin membanjir. Kata Ayah, tiga hari sebelumnya dada Ibu sesak. Namun Ibu sama sekali bergeming saat hendak dibawa kontrol ke rumah sakit. Ibu bersikeras tetap di rumah dan minum obat rutin seperti biasa. Hingga akhirnya tubuh Ibu ambruk. Kiara sama sekali tak diberitahu justru atas permintaan Ibu. Beliau mempertimbangkan persiapan Kiara menghadapi ujian akhir semester.

"Ibu, Kia sebatang kara sekarang," isaknya lagi. Gadis ini makin tenggelam dalam kesedihan. Ia sibuk meratapi nasib. Hingga tak mendengar suara ketukan di pintu.

"Kia, rupanya kamu di sini," sapa Andini. Gadis yang lebih tua dua tahun dari Kiara ini duduk di pinggir ranjang, menatap prihatin pada adiknya. Kiara langsung menutupi wajah dengan bantalnya.

"Kia, Kakak paham kamu sedih. Kakak juga amat kehilangan Ibu...."

"Mana mungkin Kak Dini paham! Kia bukan cuma sedih Ibu meninggal, tapi juga kecewa nggak ada di samping Ibu saat sakit! Kenapa, sih, Kia jadi orang terakhir yang dikabari? Padahal yang anaknya Ibu, tuh, Kia, bukan Kak Dini!" sembur Kiara tiba-tiba. "Dan sekarang Kia jadi yatim piatu, tahu!"

Andini terperenyak. Ia menghela napas, meredakan gejolak perasaannya sendiri. Adiknya sedang emosi, percuma dilawan dengan kata-kata. Andini membenahi rambut panjangnya, sebelum mulai bicara lagi.

"Kamu ingat pertama kali kita bertemu? Saat itu kamu kelas 1 SD dan Kakak kelas 3. Tiap melihat Kakak, kamu seperti malu-malu. Kakak juga bingung mau ngobrol apa. Sedangkan Ayah menyuruh Kakak untuk akrab denganmu. Eh, untung ada si Sentaro, ya?"

Kiara tetap membisu. Namun diam-diam ia pun mengenang masa itu, ketika ibunya baru menikah lagi dengan ayahnya Andini. Sentaro kucing belang tiga milik Andini menjadi pencair kecanggungan mereka. Lambat laun Kia dan Andini akrab selayaknya saudara kandung.

"Kamu tahu nggak, Kia? Waktu ayah menyatakan hendak menikah lagi, sebetulnya aku takut! Orang-orang bilang ibu tiri kejam, hanya sayang sama ayah saja. Tapi Ayah meyakinkanku akan kebaikan hati Bu Tyas, ibumu. Ayah bilang nggak mungkin menikahi wanita yang nggak sayang sama anak. Dan ternyata Ayah benar," ucap Andini lagi. "Kasih sayang ibu yang tulus mampu menyembuhkan trauma akibat perlakuan kasar mama kandungku."

Kiara terperangah. Ia tak tahu bagian itu. Ibu hanya mengatakan bahwa Kak Andini anak yang tabah, dan patut disayangi sepenuh hati. Cara Ibu memperlakukan mereka begitu luwes, sehingga Kiara tak merasa keberatan berbagi kasih sayang. Demikian pula sikap Pak Rinto, ayahnya Andini, kepada Kiara, penuh perhatian dan pengayom. Pendek kata mereka berempat dapat saling berbaur dan mengisi tanpa kesulitan berarti, selayaknya keluarga utuh.

Tangis Kiara  berhenti. Andini menyadarinya. Lembut disentuhnya bahu adiknya itu. Kiara tak menampik.
"Kia, tanpa Ibu, kamu tetap adikku,  Ayah tetap ayahmu. Kita satu keluarga. Ya?" Andini merengkuh tubuh Kiara ke dalam pelukan. Mereka kini berbagi kekuatan. (*)

Cilacap, 270519

Catatan penulis: cerma ini saya tulis setelah ibu saya Anneke Dewi meninggal tanggal 3 Mei. Meskipun beliau bukan ibu kandung saya, tetapi segala kebaikannya tersimpan rapi dalam ingatan saya.

Jumat, 31 Agustus 2018

[Cerma] Biang Kerok



Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Sabtu-Minggu, 25-26 Agustus 2018

Oleh: Gita FU



Hana menghempaskan badan ke bangku. Dadanya naik turun tanda menahan emosi. Kelakuannya memancing perhatian Lisa, kawan sebangku Hana.

"Eh, kamu kenapa, Na?"

"Cowok nyebelin itu lagi!" geram Hana.

"Ngapain lagi si Rio?" kejar Lina penasaran.

Hana menunjukkan kedua telapak tangannya yang kotor. "Bayangin, Lin! Tadi aku keluar dari perpus dan sedang jalan ke sini, ada si biang kerok itu lagi ngobrol sama temannya. Sengaja kucepetin jalanku, eh, tiba-tiba dia bilang, 'Awas, Na!' lalu tahu-tahu aku jatuh kepleset kulit pisangnya dia!"

Lina menutup mulutnya, "Ya ampun! Eh, tapi darimana kamu tahu kulit pisang itu punya Rio?"

"Ya dari ketawa jahatnya, lah!" seru Hana berapi-api. "Mau kutonjok dia langsung lari."

Lina menghela napas prihatin. "Sshh, sudah... Mendingan kamu cuci tanganmu, bentar lagi jam istirahat habis. Yuk, kuantar!"

Masih dengan perasaan kesal, Hana mau juga menuruti saran Lina. Tak lama kemudian jam pelajaran terakhir dimulai.

**

Awalnya Hana mengira kehidupan baru keluarganya di kota Purwokerto akan baik-baik saja. Demi mengikuti pekerjaan Papa sebagai kepala cabang sebuah dealer motor, dia rela meninggalkan Bekasi, kota kelahirannya. Saat dia memasuki gedung   SMU Panglima pun rasa optimis masih melingkupinya. Teman-teman barunya di XI-A juga menyambut Hana dengan baik.
Sampai  ketika dia tengah duduk menikmati jajan di depan kelas bersama Lina, muncullah cowok berambut ikal itu bersama dua temannya.

"Wah, anak baru, ya?" sapanya. Hana mendongak lalu mengangguk.

"Iya, dia pindahan dari Bekasi. Kamu kemana aja, kok, baru tahu?" sahut Lina. Cowok itu cengar-cengir, kemudian menyodorkan tangan.

"Kenalin, aku Rio, cowok paling keren dari XI-B," ucapnya.

"Hana." Saat menerima jabatan tangan cowok itu, Hana merasakan sesuatu yang lengket di telapak tangannya sendiri. Cepat-cepat dia menarik tangan dan matanya melotot mendapati segumpal permen karet di situ.

"Ups! Maaf, anak baru. Sekalian tolong buangin sampah, ya?" cetus Rio dengan roman jahil. Dia  kemudian berlalu bersama kelompoknya.

"Riooo!" teriak Lina. Di sebelahnya, wajah ayu Hana terlihat pias menahan marah.

**

Itulah awal mula kejahilan yang dilancarkan Rio. Sejak itu setiap ada kesempatan berpapasan di luar kelas, ada saja cara Rio mengusili Hana. Mulai dari panggilan 'Hansip', menabrak dengan sengaja, hingga yang terjadi kemarin: membuat Hana terpeleset. Hana sungguh tak mengerti apa mau cowok itu. Kata Lina, sepengetahuannya Rio bukan anak jahil.

"Atau jangan-jangan sebenarnya dia naksir kamu, Na?" duga Lina  yakin.

Tentu saja Hana menolak mentah-mentah pikiran itu. Enak saja, gerutunya. Pokoknya Hana merasa sudah waktunya dia melakukan sesuatu. Agar si biang kerok itu berhenti mengganggunya. Apalagi sekarang genap sebulan dia bersekolah di sana. Masalahnya, Hana belum punya ide mengatasi cowok jahil itu.

Tengah asyik melamun, Hana tak mendengar kedatangan Mama di kamarnya. "Hana... Mama panggil dari tadi, lho?"

"Eh, maaf, Ma," sahut Hana kaget. "Ada apa?"

"Mumpung hari Minggu, temani Mama ke pasar, yuk? Kita belanja mingguan. Kamu belum pernah lihat Pasar Wage, kan?" tawar Mama, dijawab anggukan Hana.

Setelah bertukar baju, Hana dan mamanya bermotor menuju pasar.
Pasar Wage adalah pasar tradisional terbesar di Purwokerto. Hari-hari biasa saja kondisinya selalu ramai, apalagi di hari Minggu seperti sekarang. Beberapa kali Hana terpaksa bersenggolan dengan pengunjung lain, padahal jarak antar gang sudah lumayan lebar.

"Ma, beli jajan juga, ya?"

"Boleh. Itu ada penjual pukis, kita ke sana saja, yuk!"

Mereka berjalan ke arah timur. Terlihat sejumlah pembeli mengelilingi gerobak pukis. Lelaki muda bertopi  biru tampak sibuk menuang adonan ke dalam cetakan,  membungkus pukis-pukis matang, lalu menyerahkan ke si pemesan. Mata Hana membulat saat dia mengenali lelaki itu.

"Itu 'kan si biang kerok!" desisnya.

Mama melengak kaget, "Siapa yang biang kerok?"

"Eh, anu. Maksud Hana, itu teman sekolah Hana. Udah, ah, Ma. Batal aja belinya," ralat Hana. Dia  tak sudi bertemu Rio. Cukup sudah kejahilan cowok itu dia rasakan di sekolah.

Mama tentu saja bingung.
"Lho, kenapa batal? Kalau itu teman kamu justru bagus, kan? Kita ikut melarisi dagangannya. Lagipula Mama senang sama anak muda yang kreatif usaha."

Belum sempat Hana menyanggah, Rio telah melihat kehadirannya dan spontan menyapa. "Halo Hana! Kejutan manis jumpa kamu di Pasar Wage! Ayo sini, apa kamu mau beli pukis juga?"

Hana langsung masam. Namun  Mama malah mendekati Rio. "Kamu teman sekolahnya, ya? Duh, salut Tante. Masih remaja sudah mau belajar cari uang."

Rio tertawa sopan. Kemudian di sela melayani pembeli, dia menjelaskan pada Mama bahwa ini adalah kali pertama dia berjualan sendiri. Karena sebelumnya dia hanya membantu kakaknya saja. Kini setelah menguasai cara membuat pukis, dia bertekad rutin berjualan di saat hari libur.

"Belajar wirausaha kecil-kecilan, Tante," pungkas Rio. Mama mengacungkan dua jempol padanya.

Diam-diam Hana menyimak. Diperhatikannya  Rio yang gesit, cekatan, dan ramah. Hilang sudah kesan jahil yang selama ini dia ingat. Rupanya Rio menangkap pandangan mata Hana.

"Tante, maafkan saya, ya. Di sekolah saya sering mengusili Hana. Habis penasaran, ada anak baru cantik, tapi kok, pendiam?" Celetukan Rio sontak memerahkan wajah Hana.

Mama malah tertawa, "Ya ampun! Itu tandanya tak kenal maka tak sayang! Kamu minta maaf sendiri, Nak Rio."

Sembari menyerahkan pukis pesanan Mama, Rio berucap lagi, "Hana maafkan aku, ya. Aku janji nggak jahil lagi sama kamu."

Hana tak menjawab, namun seulas senyum mekar di wajahnya. Mungkin si biang kerok ini pantas diberi kesempatan kedua. (*)

Cilacap, 180718

Selasa, 17 Juli 2018

[Cerma] Jangan Jadi Pelari, Erina


(Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Minggu, 15 Juli 2018)

Oleh: Gita FU

Cewek SMA berambut ikal sebahu masuk ke kios penyewaan bukuku. Aneh, seharusnya pada jam delapan seperti ini cewek itu sedang di kelas, bukan? Kupikir dia pasti tengah bolos.

"Mas, kalau mau sewa di sini syaratnya apa?" tanyanya tanpa sungkan.

"Jadi anggota dulu, Dik," jawabku pendek. Cewek itu manggut-manggut lalu sibuk menekuri judul-judul buku.

"Mas, aku numpang baca di sini, ya?" Tak lama  dia kembali bersuara. Di tangannya sudah tergenggam Breaking Dawn-nya Stephanie Meyer.

"Wah, maaf, Dik. Aturan mainnya nggak begitu. Kalau ingin baca  kamu harus sewa. Dan untuk menyewa, ya daftar dulu," cerocosku.  Aku tak ingin memberi toleransi karena  tak baik buat bisnis.

"Apa syarat pendaftarannya?"

"Cukup isi formulir ini, kasih  fotokopi kartu identitas, bayar uang pendaftaran. Nanti kamu dapat kartu anggota Kios Baca Doraemon, dan  bisa sewa buku  dengan jangka waktu empat hari."

"Duh, ribet!" keluhnya.

"Kalau mau baca di tempat dan gratis, ya  ke perpustakaan sekolah atau daerah," balasku pedas.

Dia terdiam. Setelah itu aku  tidak lagi mempedulikannya. Dan sekira jam sembilan para pelangganku berdatangan. Kebanyakan adalah mahasiswa Unsoed, karena lokasi lapakku memang berdekatan dengan  kampus. Kesibukanku  berlanjut hingga dua jam. Begitu sepi, kuregangkan tubuh. Biasanya lepas tengah hari nanti kios ramai kembali. Sekarang waktunya aku membeli nasi bungkus untuk makan siang.

"Lho! Kamu masih di situ?" Kaget, kudapati cewek SMA tadi sedang berjongkok di pojok sebelah  luar. Apalagi dia tengah asyik membaca novel Twilight. Cewek itu buru-buru berdiri.

"Maaf, Mas! Habis aku penasaran sama endingnya Bella dan Edward."

Aku gemas sekali hingga hilang akal, harus kuapakan kelancangannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan dompet, lalu menyodorkan selembar uang lima ribu.

"Ini, Mas. Mohon diterima. Anggap saja aku sudah menyewa novel ini. Tapi tolong biarkan aku selesaikan bacanya di sini, ya. Plis!" Kali ini dia menangkupkan tangan dan memelas.
Setelah pikir-pikir kuterima uangnya, karena  tak mau jadi tontonan orang lewat.

"Oke, aku terima dan catat ini sebagai sewa tak resmi. Siapa namamu?"

"Terima kasih, Mas! Aku Erina," balasnya semringah.

Selanjutnya kubiarkan Erina tetap membaca di kios, bahkan kuberi dia sebuah bangku plastik. Dia terus membaca hingga tamat, bersamaan dengan waktu tutup kios jam empat sore.

Besok paginya, Erina kembali datang. Dia tak mempan dengan pengusiranku. Mau tak mau dari obrolan yang tercipta, sedikit demi sedikit muncul keakraban di antara kami. Aku jadi tahu bahwa dia duduk di kelas XII sebuah SMK, yang letaknya tidak berapa jauh dari kawasan Unsoed. Erina bercita-cita menjadi akuntan seperti jurusan yang diambilnya.

"Tapi kenapa kamu membolos terus, Erin? Bagaimana kalau kamu kena skorsing dari sekolah? Dan orangtuamu pasti sedih kalau tahu kelakuanmu," tegurku di hari ketiga dia datang.

"Ah, Mas Pandu nggak tahu masalahku, sih," sahutnya sengit. "Orang dewasa cuma bisa ngomong tapi nggak bisa ngertiin!"

"Lho, kamu nggak cerita apa-apa, kok!" Setelah kukorek-korek, mau juga cewek itu bercerita. Ternyata dia hanya tinggal dengan ibunya, yang bekerja sebagai penjahit.  Bapaknya sudah meninggal sejak Erina masih SMP. Karena itulah ibunya bersikap amat keras. Bahkan cenderung memaksakan kemauan. Termasuk menginginkan Erina langsung menikah setamat sekolah.

"Lho, kok begitu?" heranku.

"Iya, Mas. Rupanya Ibu punya hutang pada seseorang. Dan sebagai balasan setimpal Ibu berniat menjodohkanku dengan orang yang seumuran bapakku itu," cewek itu bergidik ngeri.
"Makanya aku bingung. Cerita sama teman, eh malah disuruh nurut saja."

Aku termenung sesaat. "Mas Pandu pikir langkahmu ini tetap salah. Jangan jadi pelari, Erina, tapi berhenti dan hadapi."

"Tapi aku harus bagaimana, Mas?"

"Begini, mintalah bantuan mediasi dari guru BK dan kerabat dekatmu. Kamu masih punya kakek-nenek atau paman-bibi bukan? Orang dewasa seperti mereka tentu bisa bicara pada ibumu. Asal kamu bersikap jujur, dan terbuka."

Erina  tercenung lama. Tak lama dia pamit meskipun jam dinding baru menunjuk pukul satu. Saat kutanya, katanya dia mau pergi ke suatu tempat. Aku hanya bisa menghela napas
menatap punggungnya yang menjauh.

Esoknya,  hingga tengah hari pun Erina tak muncul di kios. Aku setengah bersyukur karena ada kemungkinan nasihatku kemarin mengena. Namun sisi hatiku yang lain pun merasa sedikit kehilangan. Mungkin karena aku mulai terbiasa mengobrol dengan Erina? Entahlah.

"Mas, dari tadi lihat jam sama nengok-nengok ke pintu. Lagi nunggu siapa?" tegur seorang pelanggan. Di tangan mahasiswa itu sudah tergenggam dua buah komik yang hendak diserahkan padaku.

"Eh, nggak nunggu siapa-siapa. Maaf, ya. Ini mau dipinjam?" Pertanyaanku dibalas anggukan. Aku berusaha kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku.  Sementara pikiran tentang Erina harus disingkirkan dahulu.

**

Dua minggu kemudian barulah aku mendapatkan jawabannya.

 Seorang cewek berkacamata mendatangiku di kios sore hari. Tepat menjelang waktu tutup kios. Sebelum aku bertanya, dia berkata bahwa dia adalah teman sekolah Erina.

"Mas Pandu, saya dititipi surat. Sama permintaan maaf karena Erina nggak bisa datang langsung ke sini," cerocosnya menyodorkan sepucuk amplop.


Dalam hati aku sempat merasa geli sendiri. Surat di zaman ini? Oh iya, memang antara aku dan Erina belum pernah saling bertukar nomor ponsel. Di bagian muka amplop tertera tulisan 'Untuk Mas Pandu'.

"Sama satu lagi, Mas. Kata Erina terima kasih atas bantuan Mas Pandu," tambah cewek itu lagi. "Saya permisi, ya."

Aku menggumamkan ucapan terima kasih kembali yang tak ditanggapi teman Erina itu. Keinginanku menutup kios segera kutunda. Aku lebih penasaran pada isi suratnya.  Usai membaca tulisan tangan Erina hingga akhir, hatiku diliputi kelegaan. Erina telah mengikuti saranku, dan dia berhasil. Masalahnya selesai. Keluarga dari pihak  Erina bersedia membantu ibunya melunasi hutang. Sedangkan pihak sekolah yang diwakili guru BK, telah berbicara pada ibunya  tentang keinginan Erina meraih cita-cita.
Aku tercenung. Berapa banyak remaja di luar Erina yang juga memendam masalah namun memutuskan lari? Sungguh kasihan mereka.(*)

Cilacap, 0503-110718


Selasa, 20 Februari 2018

[Cerma] Dobel Gen


(Dimuat di mingguan Minggu Pagi No 45 Th 70 Minggu II Februari 2018)

Jam pelajaran Matematika telah menguras energi  siswa kelas XII-A. Tak heran begitu waktu istirahat tiba, sebagian besar menghambur ke kantin.

"Dis, yuk ke kantin!"

"Maaf, Rin. Lagi gak selera. Aku di sini aja, deh."

"Yowes. Aku tinggal ya? Hati-hati sama Genio!" Setelah berkata begitu, Rini segera ke luar. Di pintu dia  nyaris  bertabrakan dengan seorang cowok cungkring.

"Hati-hati! Jajanku hampir jatuh, nih!" hardik cowok itu.

"Rasain! Awas  kamu macem-macem ama Gendis!" Rini balik membentak.

Namun cowok itu cuma meleletkan lidah. Lalu dia menghempaskan pantat, ke bangkunya di deretan nomor dua dari belakang. Setelah meletakkan bungkusan bakwan dan tahu goreng, cowok bernama Genio ini, mengedarkan matanya. Ternyata hanya dia dan Gendis yang memilih istirahat di kelas. Tapi kali ini dia tak ingin bertengkar. Sebab pagi tadi cewek itu tersenyum selegit namanya, Gendis alias gula.

Kalau dia ingat-ingat lagi, sejarah permusuhan mereka dimulai dari persaingan. Ceritanya tahun lalu, sekolah mereka--SMA Panglima Purwokerto--hendak hajatan ulang tahun emas. Pengurus OSIS diminta merumuskan suatu kegiatan siswa untuk memperingatinya. Gendis saat itu duduk sebagai ketua OSIS. Sedangkan ketua bidang seni dijabat oleh Genio yang memang nyentrik ala seniman.

Bersama jajaran pengurus lain, mereka mengadakan beberapa kali pertemuan, membahas rencana program. Suasana memanas ketika usulan Genio ditolak.

"Maaf Gen, kemarin usulanmu sudah kukonsultasikan. Hasilnya, acara yang kamu usulkan tidak disetujui oleh Dewan Guru."

"Bagaimana bisa?" Genio tak terima dan menggebrak meja.

Geram hati Gendis karena merasa dilecehkan. "Gen, tema peringatan kali ini adalah 'Berguna Bagi Sesama'. Jadi, kalo kita mengadakan pentas seni lengkap dengan konser musik, it doesn't make a sense!"

"Oh ya? Terus yang berguna bagi sesama itu yang gimana, Ketua?" sanggah Genio sinis.

"Kita akan mengadakan baksos, Gen." Kali ini yang menjawab adalah Iqbal, ketua bidang kerohanian.

"Aku mau kita voting!" seru Genio.

Sayang, hasil voting tidak berpihak padanya sehingga mau tak mau Genio dipaksa menerima kekalahan.  Sejak itu dia menyimpan dendam pada Gendis. Setiap ada kesempatan, dia berusaha menjatuhkan nama sang ketua.  Mereka lalu tenar sebagai sepasang kucing dan tikus, dengan julukan 'Dobel Gen'.  Saat kenaikan kelas, siapa nyana  mereka menjadi teman sekelas.

Sepanjang rivalitas tersebut tak pernah mereka bertukar sapa. Apalagi saling melempar senyuman. Jadi wajar jika peristiwa tadi pagi membuat Gen takjub. Sekarang dia asyik mengamati wajah Gendis dari tempatnya duduk. Ternyata cewek yang dianggapnya jutek dan sok paling benar itu  manis juga.

Suara bel  tanda jam istirahat usai membuyarkan renungan Gen. Dikemasnya sisa makanan di meja. Dia tak ambil peduli saat Rini masuk  sambil melotot galak padanya.

Saat berjalan pulang, Gen kembali berjalan nyaris bersisian dengan Gendis. Refleks cowok itu menoleh. Gendis mengangguk sopan lalu tersenyum manis. Saking takjub, Gen memelankan langkah hingga Gendis menjauh di depannya. Ada yang berdesir di dadanya.

**

Esok paginya, Genio berangkat sekolah dengan semangat baru. Aura cerah dan positif memancar dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Bapak, Ibu, dan adiknya  pun sampai terpukau.

Saat melihat Gendis keluar dari gang dia menyapa duluan. "Halo, Dis! Pagi ini cerah, ya?"
Gendis terperanjat. "Kamu ngomong sama aku?"

Genio sewot, "Ya, iyalah! Masa aku ngajak ngomong trotoar!"

"Eh, jangan sewot dulu, dong! Habisnya tumben kamu ramah?" Sebenarnya di dalam lubuk hati, dia lega jika Genio kembali ramah. Selama ini Gendis lelah dengan permusuhan mereka.

Sekarang giliran Genio garuk-garuk kepala, bingung. "Yang tumben itu kan, kamu duluan. Kemarin senyam-senyum segala. Padahal biasanya juga manyun!"

"Masa, sih?"

"Males, ah, ngomong ama cewek plin-plan!" Genio mulai gerah.

Gendis buru-buru menarik lengan baju Genio. "Tunggu!"

Genio berkacak pinggang. Beberapa kawan sekolah mereka yang melintas  bersiul menggoda.

Gendis menunjuk matanya. "Kamu lihat? Kemarin aku nggak pake kacamata, kan?"

"Terus?"

"Nah, itu dia. Kemarin, kacamataku diperbaiki. Bagi orang berminus tiga koma sepertiku, dunia tanpa kacamata itu buram! Jadi daripada salah tingkah dan dikira sombong, mending aku senyumin orang-orang yang papasan ama aku. Begitu!"

"Hah? Jadi...."

"Iya! Aku kemarin asal senyum aja. Nggak tahu kalo itu kamu!" tegas Gendis, membuat Genio syok.

Gendis  tertawa lepas melihat ekspresi Genio. "Sudah, ah! Ayo kita baikan. Dan anggap saja senyuman kemarin itu adalah sedekah dariku!"(*)

Cilacap, 120917-270118