Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Lomba Blog. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lomba Blog. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Agustus 2023

MENGULIK KEUNIKAN CILACAP

 Oleh: Gita Fetty Utami


sumber: portalpurwokerto.pikiran-rakyat.com/

 

Cilacap sebagai sebuah wilayah di Jawa Tengah punya sejarah panjang, terentang semenjak zaman Jawa Kuno. Hal ini bisa diketahui melalui penemuan sebuah prasasti di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, pada tahun 1976. ‘Prasasti yang diberi nama Luitan ini memuat tulisan sepanjang tiga belas baris, di atas lempeng tembaga, beraksara Jawa kuna, dan bertarikh 823 Saka atau 901 Masehi. Kini prasasti ini tersimpan di Museum Ronggowarsito, Semarang.

Setelah diteliti dan diterjemahkan, isi prasasti memuat penyelesaian persoalan pajak tanah di era Kerajaan Mataram Kuno. Disebutkan bahwa penduduk Desa Luitan wilayah Kapung, kala itu mengadukan perihal ketidaksanggupan membayar pajak yang ditetapkan oleh petugas pajak kerajaan. Hal tersebut terjadi karena ada ketidaksesuaian antara alat ukur yang dipakai oleh petugas, dengan pengukur standar di masyarakat. Setelah diukur ulang terungkaplah penyelewengan yang dilakukan oleh petugas korup. Dan masalah tersebut segera diselesaikan oleh pejabat kerajaan secara adil.


Dari prasasti tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa wilayah Cilacap telah berpenduduk dan mengikuti sistem pemerintahan. Meskipun amat disayangkan, selain Prasasti Luitan belum terungkap lagi sejarah lain. Hingga era penjajahan Belanda tiba barulah kita bisa mengikuti kembali latar sejarah Cilacap.

Generasi masa kini mendapati bahwa Kabupaten Cilacap terbentuk di masa pemerintahan Hindia Belanda.  Melalui  besluit Gubernur Jendral tanggal   21 Maret 1856 Nomor 21 ditetapkan Onder Regentschap Cilacap, menjadi Regentschap (Kabupaten) Cilacap.  Demikianlah tata kelola pemerintah daerah terbentuk, melewati masa kolonial, era perjuangan, hingga Indonesia merdeka.


Cilacap Unik

Berbagai peristiwa serta perjalanan usia yang telah dilalui menjadikan Cilacap sebagai wilayah dengan keunikan tersendiri. Pertama, Kabupaten Cilacap adalah kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah. Luasnya  225.360, 840 Ha/2.252 Km2. Terdapat 24 kecamatan, 269 desa, dan 15 kelurahan di Cilacap. Wilayahnya berada di pinggir selatan Jawa, sehingga berbatasan langsung dengan Samudera India. Otomatis  jaraknya ke ibukota provinsi menjadi yang paling jauh.

Kabupaten Cilacap berbatasan dengan Jawa Barat di sebelah baratnya (Kecamatan Dayeuhluhur), sebelah utaranya berbatasan dengan Banyumas (Kecamatan Sampang). Selain wilayah daratan Cilacap juga memiliki wilayah perairan, yakni Kecamatan Kampung Laut, dan  Pulau Nusakambangan. Kemudian beberapa sungai baik besar maupun kecil, turut mewarnai kekayaan bentang alam Cilacap.

Keunikan lainnya ada pada dua bahasa daerah yang umum digunakan masyarakat sehari-hari.  Yaitu bahasa Jawa dialek Sunda bagi  penduduk di wilayah perbatasan Jawa Barat (Dayeuhluhur, Majenang, Cimanggu, Wanareja); dan bahasa Jawa Banyumasan ngapak yang condong ke dialek Tegal, bagi penduduk di wilayah lain. Adapun masyarakat di  Kota Cilacap lebih banyak berbahasa Indonesia dikarenakan banyaknya pendatang dari luar daerah.

Cilacap juga dikenal sebagai kota industri. Sebut saja: Kilang Minyak Pertamina Refinery Unit (RU) IV, PLTU Karangkandri, PLTU Bunton, Pabrik Semen Holcim, Pabrik Gula Rafinasi, dan pengolahan ikan. Bahkan kilang minyak yang berada di Cilacap ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 348.000 barel minyak.

Selain itu, Cilacap memiliki pelabuhan alam Tanjung Intan, di bawah pengelolaan Pelindo III. Ada pula bandara Tunggul Wulung yang, meski kecil, dapat melayani transportasi udara. Dan jangan lupa, penjara berkeamanan maksimum ada di Pulau Nusakambangan, Cilacap. Adakah kabupaten lain yang selengkap ini?

 

Potensi Wisata Cilacap 

Cilacap yang unik tentu saja punya banyak potensi wisata yang bisa dieksplorasi. Pertama, wisata alam berupa pantai. Pengunjung bisa mendatangi Pantai Teluk Penyu, Pantai Kemiren, Pantai Sodong, Pantai Widara Payung, Pantai Pasir Putih, Pantai Permisan, dan Segara Anakan.


Pantai Teluk Penyu. @cilacap_kekinian

 

Kedua, wisata sejarah. Banyak obyek peninggalan Belanda yang hingga kini masih bisa kita lihat wujudnya. Misalkan: Benteng Pendem, Benteng Karangbolong (di Pulau Nusakambangan), Stasiun Kereta Api Kota, Jembatan Kali Yasa, kompleks Kerkop (pemakaman Belanda), bekas Kantor asisten Residen (sekarang menjadi kantor Disporapar). Ada pula Klenteng Lam Tjeng Kiong, klenteng berusia ratusan tahun yang terletak di jalan RE Martadinata, Cilacap. 

Ketiga, wisata kekinian. Sejumlah tempat dibangun oleh pelaku industri wisata sebagai tempat rekreasi keluarga, dan pusat kuliner. Tempat-tempat ini menyasar generasi muda Cilacap, terutama mereka yang tak lepas dari gawai dan media sosial. Misalnya: Kemit Forest, Havana Hills, Pusat Kuliner Rinjani,  Wisata Bahari Malam Kutawaru, Wisata Kampung Laut, dan lain-lain. Kita bisa mengakses informasi tempat wisata semacam ini melalui akun media sosial @Cilacap_Kekinian di Instagram, lalu membagikan ke teman-teman.


salah satu informasi wisata.

Semua potensi wisata tersebut di atas jika dikelola sungguh-sungguh tentu dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Cilacap sendiri.

 

Dukungan Hotel Dafam Cilacap

 

Lobi depan Dafam Cilacap. Sumber foto: GitaFU

Pelancong yang menyengaja datang dari luar kota pasti membutuhkan tempat menginap. Akan lebih baik lagi jika penginapan tersebut punya misi mendukung eksplorasi wisata di Cilacap.  Contohnya Hotel DafamCilacap.

 

Hotel kategori bintang tiga ini telah berdiri cukup lama di Cilacap, yakni sejak 12 Agustus 2011. Lokasinya dekat dengan pusat pemerintahan/kawasan alun-alun, tepatnya di Jalan DR. Wahidin No 5-15, Cilacap. Sebagai bagian dari Artotel Hotel, Dafam Cilacap mengutamakan kenyamanan beristirahat bagi para pelancong, maupun pebisnis.

Irawan Trimulia, General Manager Dafam Cilacap, mengatakan dalam suatu pertemuan ramah tamah bahwa pihaknya amat mendukung berkembangnya pariwisata Cilacap.

“Karena itu kami mendukung dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang menunjang,” katanya di Orchid Lounge and Bar, Sabtu (29/7/2023) siang.

Senada dengan Irawan, Mikhael Hari Kustantyo sang Human Resources Manager menyebutkan keterjangkauan Dafam Cilacap dengan sejumlah obyek wisata popular.

“Dafam Cilacap dekat dengan alun-alun, Teluk Penyu, Benteng Pendem, Nusakambangan. Lalu ada paket  Wisata Bahari malam Kutawaru. Paling jauh ya ke Widara Payung, Bandara, Hutan Payau,” sebutnya di acara yang sama.

Dafam Cilacap memiliki  102 kamar berbagai tipe antara lain  Superior, Deluxe, Deluxe Pool View, Executive, Executive Pool View, Suite dan Royal Suite. Perbedaan masing-masing tipe ada pada luas kamar, dan fasilitas yang berbeda, serta tarif per malam tentunya.

interior Suite Room. Sumber: GitaFU


Fasilitas Hotel Dafam Cilacap

  1. Canting Restaurant, Orchid Lounge & Bar,  dan Teras Hotel

Konsep  restoran ini adalah menghadirkan menu-menu tradisional yang dipadukan sentuhan modern kepada para tamu hotel. Pemilihan nama ‘Canting’ sendiri disengaja untuk menimbulkan nuansa tradisi Indonesia. Racikan tangan chef  Canting Restaurant sendiri telah kondang kelezatannya. Sehingga boleh dikata Dafam Cilacap identik dengan cita rasa masakan lezat.

interior dan contoh menu Canting Restaurant.

Orchid Lounge and Bar Dafam Cilacap menyediakan aneka food and beverage. Tempatnya cukup nyaman untuk bersantai dan mengobrol. Setiap  Senin, Rabu, dan Jumat ada pertunjukan live music.

Suasana Orchid Lounge & Bar. Foto: dokpri (GitaFU)

Teras Hotel menyajikan kuliner malam hari, dengan menu andalan Nasi Balap dari Mak Sanggul. Tersedia pula menu minuman kopi, dan non kopi dari Kopi Salem. Keunggulan menu di sini ialah harga terjangkau, rasa lezat. Teras Hotel buka sampai jam 3 pagi. Cukup akomodatif bagi perut lapar pemburu kuliner malam.

2.    Swimming Pool, Fitness Room & Musholla

Kolam renang hotel disediakan dengan dua kedalaman: dewasa dan anak. Pengunjung yang tidak menginap pun boleh berenang di sini. Sementara bagi tamu hotel yang menginap tentu saja bisa memakai cuma-cuma semua fasilitas ini.

 

pemandangan ke kolam renang

3.  Meeting Room, Ballroom,  wedding package & candle light dinner

Tamu  yang ingin mengadakan acara entah sekadar gathering perusahaan, arisan, bahkan pesta pernikahan, bisa memakai fasilitas Ruang Pertemuan di Dafam Cilacap. Tersedia Ruang Tulip, dan Edellweiss yang berbeda kapasitas sesuai kebutuhan. Manajemen hotel juga punya penawaran menarik bagi perayaan pernikahan atau  makan malam romantis di tepi kolam renang.

“Harganya mulai dari 300 ribu untuk makan malam berdua pasangan,” beber Mikhael Hari Susantyo.

Bagaimana? Yuh, dolan Cilacap. Nginepe nang Dafam baen!


(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Artikel Blog Dafam Cilacap & @Cilacap_Kekinian. Lomba ini merupakan rangkaian perayaan ulang tahun Hotel Dafam Cilacap. Semoga Hotel Dafam semakin sukses).


Daftar Pustaka:

1.      Jejak-jejak Sejarah Cilacap, Thomas Sutasman, Pustaka Egaliter:2021

 

 

   

 

 

Rabu, 31 Maret 2021

Harlok dan Isu Kekerasan Terhadap Anak

Novel Kereta Malam Menuju Harlok
Kereta Malam Menuju Harlok (Dok. Gita FU) 


Oleh: Gita FU


Judul      : Kereta Malam Menuju Harlok

Penulis   : Maya Lestari Gf

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Cetakan : Pertama, Januari 2021

Hal         : 144  hlm

ISBN       : 978-623-253-017-1

Harga     : Rp 45.000 (P. Jawa) 

Novel  yang menjadi juara dua pada Kompetisi Menulis Anak Indiva 2019 ini mengambil tema yang tak biasa, yakni kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak bisa diartikan sebagai tindakan kekerasan  fisik, penganiayaan emosional/psikologis, pelecehan seksual, dan pengabaian. Dari empat macam kekerasan tersebut, Maya Lestari Gf mengambil fokus pada pengabaian anak. 

Pengabaian atau penelantaran anak adalah kondisi di mana orang dewasa yang bertanggung jawab, gagal  menyediakan kebutuhan yang memadai untuk berbagai keperluan; termasuk fisik (kegagalan  menyediakan makanan yang cukup, pakaian, kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), dan medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter). 

Anak adalah anugerah, titipan, sekaligus ujian bagi orang tua. Setiap anak terlahir suci, bagaimanapun kondisi fisik yang menyertainya. Apabila seorang anak lahir dengan cacat bawaan itu bukanlah kesalahan si anak. Ia tak minta dilahirkan. Justru kewajiban orang tua memberi pengayoman pada sang buah hati. Bukan malah diabaikan atau ditelantarkan.

Novel ini ditulis dengan semangat menyadarkan pembaca akan hakikat kemanusiaan, perlakuan manusiawi dan penuh kasih terhadap anak-anak. Ditujukan untuk pembaca anak-anak, dibalut fantasi tentang Kereta Malam dari langit. 

Anak-anak Telantar yang Dimanfaatkan 


Di Kukila, panti khusus anak-anak cacat, terdapat sembilan anak dan satu pengasuh panti. Masing-masing memiliki cacat fisik. Misalnya Tamir, ia tak punya kaki dan mata kanan. Atau Awab yang terkena sindrom autis. Begitu pula Amar, semua jemari tangan kirinya tidak tumbuh sempurna (hal. 6-8).

"Betapa enaknya punya ibu. Ada yang selalu memasakkan makanan lezat untukmu. Di panti asuhan semuanya berbeda. Kau harus mengurus dirimu sendiri. Semua anak punya jadwal memasak. Jika mereka tidak patuh pada jadwal, tidak ada yang makan hari itu." (hal. 11).
Pengasuh panti mereka adalah lelaki lima puluh tahun bernama Amang. Ia lelaki pemarah, tidak sayang pada anak-anak panti. Dan tepat di malam takbiran Amang pergi meninggalkan Kukila begitu saja. Ia menelantarkan Tamir dan teman-temannya (hal. 16).

Siapa nyana, di malam itu pula terjadi sesuatu yang hebat pada Tamir. Ketika petir menggelegar bersahutan, sebuah kereta api dari angkasa meluncur ke arah Kukila. Hanya Tamir yang melihat kedatangannya, lalu gelap melanda (hal. 20). Ketika Tamir terbangun, ia sudah ada di dalam gerbong kereta yang terlambung-lambung oleh turbulensi di awan. Rupanya Tamir dijemput oleh Kereta Malam, kereta khusus anak telantar, untuk dibawa ke Harlok, sebuah kota di langit (hal. 27). 

Sesudah turun dari gerbong, barulah Tamir mengetahui nasib buruk yang bakal menimpanya. Adalah Vled, seorang pria keji, yang telah menyebabkan Tamir dijemput Kereta Malam. Vled punya usaha penambangan batu seruni  di Harlok. Di sana ia mempekerjakan 40 anak laki-laki telantar dari kota-kota di bumi. Liciknya, ia menutupi pertambangan ilegal tersebut dari mata Pemerintah Kota Harlok, sebagai panti bernama Rumah Asuh Bahagia. 

Bersama anak-anak tambang lain, dan Baz sebagai pengurus mereka, Tamir menjalani hari-hari menyiksa di tambang gelap, sejak pagi hingga petang. Tenaga anak-anak terlantar itu diperas, makanan mereka memprihatinkan, kondisi mereka tak terawat. Bahkan tak ada keringanan bagi Tamir yang cacat. 

Anak-anak tambang bercerita pada Tamir, bahwa tak ada yang bisa meloloskan diri dari tambang Vled, ataupun melapor pada Departemen Anak Telantar. Karena Vled serta anteknya telah memagari lokasi mereka dengan pagar tinggi, dan singa kabut. Ironisnya, Baz sebagai orang yang bersikap baik pun tak berdaya melawan Vled. Sebab anak perempuannya disandera oleh Vled. 

Lama kelamaan penindasan Vled menjadi tak tertanggungkan lagi. Tamir dan teman-temannya memutuskan bangkit dan melawan (hal. 125-126)

Beberapa kesalahan penulisan yang saya temukan dalam novel ini tidak sampai mempengaruhi jalan cerita. Secara keseluruhan novel ini amat layak dimiliki sebagai bacaan yang bergizi, dan kontemplatif. 

Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca. (*)

Cilacap, 310321


 

Selasa, 30 Maret 2021

Kritik Sosial dalam Novel Anak

 
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko (dok. Gita FU) 


Oleh: Gita FU 


Judul      : Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko

Penulis   : Yosep Rustandi

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Cetakan : Pertama, Juli 2020

Hal         : 160 hlm

ISBN       : 978-623-253-002-7

Harga     : Rp 40.000 (P. Jawa) 


Kompetisi Menulis Novel Anak Indiva 2019 telah menahbiskan karya Yosep Rustandi ini sebagai jawara. Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran yang membuncah dalam dada saya, apa keistimewaannya? Maka begitu novelnya terbit, saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera mendapatkannya. 

Ternyata begitu saya mulai membaca, saya tak bisa berhenti sebelum selesai. Alur ceritanya terasa mengalir, ditambah penokohan yang kuat, serta setting yang amat realistis. Setidaknya, itulah kesan pertama saya terhadap novel ini. 

Sebenarnya tema yang diangkat oleh sang penulis terhitung berat untuk kalangan pembaca anak; yakni masalah ketimpangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di masyarakat. Saya yakin ada tantangan tersendiri bagi penulis guna membahasakannya sesuai alam pikiran anak-anak. 


Bermula dari Apel

 Di kota kecil Cibening, ada sebuah gang sempit berisi rumah-rumah kumuh. Di sana warganya sebagian besar berprofesi sebagai pemulung, pengamen, pengemis, pedagang kecil, tukang jamu, tukang parkir, kuli serabutan, calo, hingga preman. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasanya terlalu sibuk berjuang mencari sesuap nasi. Termasuk Alin, dan Jiko yang kesehariannya menjadi loper koran atau pemulung cilik. Padahal mereka baru berusia delapan tahun. 

Tidak jauh dari gang kumuh tersebut, ada kompleks perumahan Beautiful Garden.  Kondisinya amat kontras, jalan dan rumah-rumah di sana selalu bersih. Warganya berpendidikan, serta memiliki strata sosial yang lebih baik. Kakak beradik Doni dan Dini adalah  tokoh-tokoh yang mewakili kalangan berada ini. Doni sudah kuliah semester dua, sedangkan Dini pelajar di SMA Harapan Hati. 

Di antara dua kutub yang bertolak belakang tersebut, ada sekelompok orang yang berusaha membuat jembatan penghubung. Mereka diwakili oleh tokoh Yasmin, remaja SMA Harapan Hati sekaligus volunter di Sanggar Hati. Serta Ibu Rara, Ketua LSM Sanggar Hati, sebuah LSM yang peduli terhadap anak-anak jalanan dan anak-anak miskin perkotaan. 

Emak Alin sakit yang lebih parah dari sebelumnya. Terpaksa emak libur kerja sebagai buruh cuci, dan sepenuhnya tergantung pada Alin. Di awal sakit emak pernah mengucapkan keinginan  makan apel impor besar dan harum dari negeri Cina. Dulu emak pernah diberi apel semacam itu oleh majikannya. Dalam pikiran Alin yang polos, emak pasti sembuh jika sudah makan apel.

Namun harga apel merah itu tak terjangkau oleh Alin. Penghasilannya hanya cukup untuk makan amat sederhana berdua emak. Maka suatu hari ia terpaksa menjambret seplastik apel merah dari Dini, yang baru saja menyelesaikan transaksi dengan si pedagang apel di pasar. 

"Gila kamu, akhirnya mencuri juga!" seru Jiko setelah napasnya mulai teratur. Alin memandang Jiko kecut. "Kata buku, kalau mau jadi pencuri, jadilah pencuri besar!" kata Jiko lagi. (Halaman 20).

Kisah lalu bergulir ke arah yang tak pernah Alin duga. Untung saja ada Jiko, si kutu buku sahabatnya. Berkat pengetahuannya yang luas dari buku bacaan, Jiko memberi saran-saran untuk Alin. Akan tetapi daya mereka  terbatas. Pada akhirnya Alin dan Jiko tetap membutuhkan pertolongan dari orang-orang dewasa yang mau peduli pada masalah mereka. 


Pelajaran Hidup yang Tersirat dalam Cerita

Dialog-dialog antar tokoh dalam novel ini tak jarang mengundang tawa saya. Kepolosan anak-anak terlukis begitu nyata. Narasinya lincah, peristiwa demi peristiwa terjalin runtut dan logis. Yang paling disukai oleh anak saya Hanna (pembaca berumur delapan tahun) ialah adegan kejar-kejaran antara Alin, Jiko, Atan, Sura, dan Wira hingga ke tebing di pinggir sungai. Seru, katanya. 

Di balik petualangan Alin dalam mengusahakan kesembuhan untuk emaknya, tersirat berbagai pelajaran hidup. Antara lain kejujuran, kepedulian, kebaikan hati, dan kehangatan keluarga. Saya menyusut air mata haru ketika membaca tentang emak Alin. Dikisahkan meski berada pada kondisi paling terdesak sekalipun, emak tetap kukuh tak mau makan barang hasil curian. Bahkan emak melarang Alin mengutil makanan dari tempat syukuran perkawinan. 

"Nilai hidup tidak ditentukan dari mana kita berasal dan di mana kita mati. Nilai hidup ada dalam proses menjalani. Siapa yang bisa menjalani hidup lebih baik, lebih bijak, lebih berguna, lebih ikhlas, lebih bertakwa, itulah orang-orang yang berbahagia." (hal. 157).

Lalu di manakah narasi kritik sosial tersebut? Secara tersurat ada pada penjelasan Ibu Rara di depan siswa SMA Harapan Hati mengenai tujuan LSM Sanggar Hati (hal. 18-20). Pada bagian ini mau tak mau terasa menceramahi pembaca dan sedikit membosankan. Selebihnya berkelindan bersama jalinan cerita sehingga lebih natural. 

Jika diibaratkan menu makanan, boleh dikata novel ini adalah paket komplit, sesuai misi pendidikan karakter untuk anak. Orang dewasa pun layak membacanya, untuk turut memetik inspirasi dari kisah Alin dan Jiko. Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca! (*)

Cilacap, 300321

#lombaresensibukuindiva2020


Catatan tambahan: Alhamdulillah resensi ini masuk ke dalam 10 Resensi Terfavorit dalam Lomba Resensi Buku Indiva 2020.

Senin, 20 Juli 2020

Uang Tidak Turun dari Langit

Img. Pixabay


Oleh: Gita FU


Orang bilang, peristiwa yang menyakitkan di masa anak-anak akan membekas lebih lama. Itu benar. Sebuah kejadian sepele menimpa saya ketika kelas 3 SD. Dan berhasil menjungkirbalikkan perspektif saya dalam memandang diri sendiri.


Waktu itu keluarga besar dari pihak Bapak tengah berkumpul di rumah Mbah dalam rangka lebaran. Lalu saya, Paklik, Bapak, adik lelaki saya,  dan seorang kakak sepupu duduk-duduk santai di ruang tamu. Kakak sepupu ini umurnya sebaya dengan saya, kita sebut saja namanya Intan.  Paklik, dan Bapak saling melempar guyonan segar, membikin suasana hidup. Mendadak saya teringat satu cerita lucu dan ingin menceritakannya, terutama kepada Bapak. Di saat yang bersamaan Intan pun rupanya ingin bercerita. Akibatnya kami mulai bicara berbarengan. Kemudian apa yang terjadi? Ternyata Bapak memilih mendengarkan cerita Intan, dan mengabaikan saya. Setelah Intan selesai, seisi ruangan (kecuali saya) tertawa terbahak-bahak karena ceritanya.


Saya merasa nelangsa sekali. Segera saya masuk ke kamar Mbah, menyembunyikan air mata. Memang saya akui, Intan pandai memikat lawan bicara karena gaya bicaranya ceplas-ceplos. Suatu kelebihan yang tidak saya miliki. Namun bukankah seharusnya Bapak mau menyediakan telinga untuk cerita saya, putrinya sendiri? 


Kejadian itu membuat saya belajar banyak hal. Di antaranya:

1. Kamu harus menarik agar diperhatikan orang lain;
2. Saudara atau bukan, tak ada hubungannya dengan rasa empati;
3. Lebih baik saya mencari jalur alternatif, agar tidak ditabrak pelintas lain yang punya kendaraan lebih menawan.


Demikianlah, hidup terus berjalan. Saya pun mengamalkan pelajaran nomor tiga. Alih-alih berusaha memperbaiki gaya bicara, atau penampilan misalnya, saya malah menarik diri dari keramaian. Saya lebih suka tenggelam dalam bacaan, apa saja jenisnya. Entah itu komik, novel, cersil, cergam, majalah, buku agama, buku IPA, koran, bahkan bungkus snack yang saya beli di warung. Dengan membaca saya merasa menemukan dunia baru, sensasi pengetahuan baru, mengenal tempat-tempat asing beserta penduduknya; pendek kata saya mendapatkan teman yang tidak akan mengabaikan saya.


Selain membaca ada satu lagi kegemaran saya yang muncul belakangan, yaitu menciptakan cerita-cerita. Awalnya saya tuangkan cerita-cerita itu ke dalam bentuk gambar. Di lembar-lembar buku tulis, saya asyik menggambar bebek-bebek yang saling mengobrol. Setiap kali saya bosan mendengarkan guru di depan kelas, maka saya akan  menggambar. Saya tenggelam ke dalam cerita yang saya ciptakan sendiri. Akibatnya guru-guru tersebut bakal menegur dengan lemparan kapur tulis, agar saya kembali memperhatikan pelajaran. Apakah saya menjadi kapok? Tentu saja tidak.


Beberapa teman sekelas di masa itu menganggap saya aneh dan tukang bikin masalah dengan guru. Mereka yang berpikir seperti itu lalu menjauhi saya. Namun saya tidak begitu memusingkannya. Sepanjang saya punya buku untuk dibaca, dan kertas untuk digambari, tidak mengapa tidak punya banyak teman di kelas. Begitulah cara saya membangun pertahanan diri.


Ketika memasuki masa remaja, kebiasaan membuat cerita bergambar pun surut. Sebagai gantinya saya mengenal buku diary. Karena tidak setiap masalah yang saya alami bisa saya katakan dengan bebas kepada orang tua, buku diary itu menjadi tempat bercerita yang paling baik. Saya merasa amat nyaman dan lancar ketika menuliskan yang ada di pikiran saya. Ajaib sekali, betapa banyak kata-kata yang mengalir keluar melalui goresan pena, lalu memenuhi lembar-lembar diary saya. Setiap usai menulis, saya merasakan kelegaan yang paling plong. 


Di SMP, bacaan  saya meluas. Beruntung sekolah saya memiliki perpustakaan yang cukup lengkap. Di situ saya menemukan buku-buku sastra angkatan balai pustaka, bersanding dengan majalah MOP,  majalah Anita Cemerlang, dan  bahan ajar lain. Selain itu, ada klub drama yang diampu guru bahasa Indonesia. Saya bergabung di klub ini, dan mendapatkan banyak ilmu baru tak hanya terbatas pada drama. Sebab guru kami mengajarkan pula prosa lama dan baru.


Terkait prosa baru, khususnya cerpen, saya punya pengalaman tak terlupakan. Ketika saya duduk di kelas 2, sekolah kami merayakan ulang tahunnya dengan berbagai lomba internal, salah satunya ialah lomba menulis cerpen. Saya merasa tertantang mengikutinya. Terutama karena di masa itu, saya banyak menjejali diri dengan membaca aneka cerpen remaja di majalah Anita Cemerlang, Aneka Yess, Gadis, dan Hai. Jadi mengapa saya tidak mencoba membuat cerita sendiri? Kemudian saya mulai menulis, setelah selesai langsung saya kirimkan ke posko pengumpulan naskah di perpustakaan.


Ketika diumumkan hasilnya, cerpen saya yang berjudul "Ketika Kamu Sakit" tersebut,  keluar menjadi juara.    Saya tidak tahu  bagaimana cara juri menilai   sehingga menganggap karya saya  itu yang terbaik. Dalam angan-angan saya,  mungkin karena jalan ceritanya yang dramatis, atau dialog-dialog nan puitis, atau penokohan yang sempurna. Semua kemungkinan ini membuat saya berbunga-bunga; ternyata saya punya bakat terpendam. (Baru belakangan saya mengetahui faktanya: cerpen saya adalah satu-satunya peserta dalam lomba itu. Apakah saya jadi merasa malu? Tidak juga. Itu, kan, bukan urusan saya).


Sayangnya, setelah menjuarai lomba di SMP tersebut, semangat menulis saya byar-pet, byar-pet, di tahun-tahun selanjutnya. Meskipun begitu, saya tetap membaca banyak buku. Itu tamasya tidak tergantikan. Barulah di tahun 2004 saya kembali tergugah untuk menulis. Saya bergabung dengan Forum Lingkar Pena cabang Purwokerto yang baru mulai didirikan. Kali ini saya bertekad untuk mempelajari cara-cara menulis yang baik dan benar. Terutama menulis fiksi, karena saya menyukai cerita.


Di tahun itu pula, ketika warnet sedang menjadi tren, saya memberanikan diri mengikuti Close Up Movie Planet Competition. Sebuah kompetisi  menulis ide cerita unik dan segar, yang lalu akan diwujudkan menjadi karya film pendek. Tawaran hadiahnya amat menggiurkan. Saya suka membayangkan diri saya menang, lalu terbang ke Australia untuk mengikuti pelatihan membuat film pendek. Pasti 'wow' sekali. Maka saya pun bersemangat mengikuti kompetisi itu. Usai mengirimkan karya, saya tidak mengikuti lagi berita dari Close Up Movie Competition. Entah siapa juaranya, yang jelas bukan saya.


Saya bertahan ikut FLP cabang Purwokerto selama tiga bulan saja. Penyebabnya karena saya mulai kuliah D3 di kampus swasta, ditambah membantu usaha orang tua, dipungkasi memberi les-les privat. Jadi terpaksa saya menyisihkan keinginan belajar menulis cerpen hingga waktu yang saya sendiri tidak tahu.


Di tahun 2006 saya kembali menulis cerpen. Awalnya saya tulis di buku, lalu saya pindahkan ke komputer di kampus, dan dibaca beberapa teman. Mereka menyatakan apresiasinya terhadap kisah itu. Saya juga menulis sebuah cerita anak untuk dikirimkan ke majalah Bobo via pos. Tak disangka, cerita berjudul "Didi dan Sepiring Nasi" itu dimuat beberapa minggu kemudian. Kala itu Bobo terbit satu pekan sekali. Betapa bahagia hati saya, mendapat kiriman bukti terbit, dan wesel berisi honor. Teman-teman di kampus yang mengetahui hal ini ikut mengucapkan selamat atas pemuatan karya saya.


Namun setelah itu saya kembali vakum. Apalagi di tahun 2006 itu pula saya menikah. Dan kesibukan baru setelah berkeluarga berhasil membuat saya lupa pada cerpen. Saya masih menulis diary, sesekali di waktu luang, berkomunikasi dengan diri sendiri. Hanya itu saja.  Tahun-tahun yang berlalu menyisakan kenangan samar belaka perkara dunia cerpen.


Tahun 2015 menjadi awal baru. Bermula dari HP Nokia C3 milik Ibu, saya terkoneksi kembali dengan internet. Saat membuka-buka akun Facebook saya menemukan informasi tentang grup-grup kepenulisan. Hal tersebut membuka lagi kenangan samar sekaligus kerinduan pada dunia menulis. Saya segera memilih bergabung dengan salah satu grup kepenulisan, yang didirikan seorang penulis wanita terkenal. Di situ saya kembali belajar menulis yang baik dan benar. Saya merasa telah lama berkarat, perlu diasah lagi.

Dari satu grup ke grup, membuka jalan saya untuk berkenalan dengan penulis-penulis yang lebih dulu eksis. Banyak dari mereka yang bersikap rendah hati, mau berbagi ilmu tentang kepenulisan yang mereka miliki. Sungguh suatu keberuntungan bagi saya.


Begitulah hingga hari ini, detik saya membuat tulisan ini. Saya selalu merasa berkarat dalam hal ilmu menulis. Ibarat uang tidak turun dari langit, begitu pun kemampuan manusia yang tidak serta merta mahir atau mumpuni; butuh belajar terus menerus, selama hayat dikandung badan. Jika saya berhenti maka saya akan tamat. Seringkas itu. (*)


Cilacap, 18-200720

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerjasama dengan Tempo Institute).


Kamis, 31 Januari 2019

Jangan Menyimpan Dendam


Oleh: Gita FU

Saya ini aslinya mudah baper, alias terbawa perasaan. Melihat anak kucing mengeong mencari induknya yang telah mati, saya ikut mewek. Menonton berita bencana alam, saya ikut menitikkan air mata. Mendengarkan seseorang curhat drama kehidupannya, saya bisa ikut geregetan. Ya, meskipun   saya berusaha menyembunyikannya dari mata orang lain, sih.

Dan sekarang saya sedang baper gara-gara JasmineElektrik, grup band indie yang belum lama ini merilis single terbaru berjudul 'Ibu'. Ya Allah, ini topik   sensitif. Karena saya jadi terkenang ibu  sendiri yang jauh di mata! Oh, ibu, maafkan anakmu ini yang sering mengucapkan selamat hari Ibu, tapi tetap belum bisa berbakti  penuh kepadamu.

Baiklah, saya ingin berbagi cerita mengenai sosok ibu dalam hidup saya. Selain ibu yang melahirkan saya ke dunia, ada seorang wanita lain yang saya hormati  peranannya. Beliau adalah Bu Suparmiyati, Mbah mertua saya. 

Begini cerita singkatnya. Semasa bayi karena satu dan lain hal, suami saya dibawa untuk dibesarkan oleh Mbah putrinya. Ibu kandungnya sendiri masih ada, namun sedang menghadapi kondisi yang sulit saat itu. Karena dirawat sejak berumur tiga bulan   maka suami saya kadung menyebut 'Ibu' dan 'Bapak' kepada Mbah Putri dan  Mbah kakung. Sedangkan kepada ibu kandungnya sendiri ia memanggil 'Mamak'. Otomatis setelah kami menikah, saya pun terbawa menyebut 'Ibu' kepada Mbah mertua putri.

Jika saya ingat kembali, betapa selepas menikah (th. 2006) saya telah mendesak suami untuk langsung misah dari ibu-bapaknya. Sebab saya  tidak ingin  masalah rumah tangga kami dicampuri orang tua maupun mertua. Namun suami menolak tegas. Alasan utama karena  merasa kasihan meninggalkan kedua orang sepuh itu begitu saja. Alasan lainnya adalah agar saya belajar dulu cara menata rumah tangga pada mereka.  Mau tak mau saya menurut, walaupun dalam hati merasa sebal.

Dalam perjalanan rumah tangga kami, alasan kedua yang pernah diajukan suami menjadi kenyataan. Saya benar-benar belajar dari Ibu; mulai urusan memasak, berbenah, hingga cara meladeni suami. Termasuk  soal bagaimana membuat segelas kopi yang enak.

Saya hamil anak pertama tak lama berselang.  Mual dan muntah saya alami hingga trimester kedua. Ibu merawat saya, menyediakan ember untuk tempat muntah  di kamar; sesekali beliau membersihkan ember itu jika dilihatnya saya tengah kepayahan. Ibu   sering membuatkan segelas teh manis hangat, atau air gula asam yang segar untuk meredakan mual saya. Beliau pun tak pernah membebani saya dengan pekerjaan rumah tangga, meskipun sekadar menyapu. Pendek kata, perlakuan dan perhatian  beliau ke saya benar-benar selayaknya seorang ibu kepada anak kandungnya.

Tekad Untuk Memutus Keburukan

Ibu pernah menceritakan masa lalunya. Beliau tak ingat  rupa orang tua kandungnya, karena diadopsi semenjak bayi. Ayah dan ibu angkatnya berbeda karakter dalam membesarkannya; ayah penuh dengan kasih dan kelembutan, sedangkan ibunya keras dan mengekang. 

Lalu setelah menikah dan tinggal serumah dengan orang tua suaminya, ia dapati ibu mertuanya galak bukan kepalang. Ibu kerap diperlakukan seperti pembantu. Dan ironisnya hal tersebut berlangsung di bawah hidung suami serta ayah mertuanya. Saya sering merasa gemas kala mendengar kisah ibu.

Karena sering menerima perlakuan keras itulah ibu berjanji pada dirinya, besok kalau punya menantu perempuan bakal disayangi seperti anak sendiri. Ya Allah, saya terpana. Rupanya itu sebabnya beliau menyayangi saya bagai anak kandung. Di luar fakta bahwa sebenarnya saya ini cucu menantu beliau, ya. Betapa beruntungnya saya.

Ibu bertutur lagi, tak baik berlarut-larut menyimpan dendam. Peristiwa buruk yang sudah lewat ya biarkan saja. Yang penting jangan diulangi supaya anak cucu kita tidak kena getahnya. Saya langsung beristighfar dalam hati. Nasihat ini begitu dalam, sesuai dengan yang saya alami. Telah lama saya menyimpan kekecewaan besar pada orang tua sendiri. Ada banyak hal yang tak bisa saya sebutkan di sini, yang jelas dampaknya merenggangkan ikatan saya dengan mereka. 

Boleh jadi ibu mengucapkan nasihat tersebut dilambari doa nan tulus, sehingga merasuk ke kalbu  saya. Perlahan-lahan saya mengurai simpul amarah dan kecewa saya. Kini di usia pernikahan yang memasuki tahun ke-13, hubungan saya dengan orang tua telah membaik. 



Kasih Sayang Ibu Tak Terbantahkan Waktu

Si sulung Farhan lahir prematur lewat persalinan Caesar di tahun 2007. Sepulang dari rumah sakit saya menjadi pasien di rumah. Ibulah yang merawat saya dengan tak kenal lelah. Jika perempuan lain memanggil dukun pijat untuk bayi mereka hingga 40 hari, saya tidak. Ada ibu yang merawat bayi Farhan setiap hari.

Saat kelahiran anak kedua tahun 2012, kami sudah misah rumah dengan bapak-ibu mertua. Namun ibu sama sekali tak keberatan datang, saat kami mintai tolong merawat bayi Hanna. Meskipun tidak nyaris 24 jam seperti si sulung, perhatian dan rasa sayang ibu tak berkurang untuk Hanna.

Bulan Agustus tahun 2017 adalah momen duka cita untuk ibu.  Ibu kehilangan pasangan hidup yang telah menemaninya puluhan tahun. Tak tega melihat ibu tinggal seorang diri di Sokaraja (Banyumas), kami mengajak beliau ikut tinggal bersama di Cilacap. 

Bulan September tahun 2018 anak ketiga kami lahir. Segala puji bagi Allah, ibu masih berkesempatan melihat dan momong si bayi. Walaupun kekuatan fisiknya telah mundur, ibu tetap gembira meladeni ocehan si kecil. Bahkan ibu masih kuat menggendong buyutnya ini, di usia 77 tahun!

Sungguh, Ibu telah menjelma sosok penting dalam hidup saya. Darinya saya belajar ketulusan, kasih sayang, dan semangat hidup. Semuanya menjadi bahan bakar yang kembali memantik gairah hidup saya, di hari-hari paling gelap sekalipun. Terima kasih ibu, tulisan ini saya dedikasikan untukmu. (*)

Cilacap, 310119

#JasmineElektrikCeritaIbu




Selasa, 22 Januari 2019

Melawan Keterbatasan

Dibuat dengan aplikasi Canva.

Oleh: Gita FU

Awal mula saya mengenal blog adalah sekira tahun 2007. Saat itu dengan perut membesar karena sedang hamil anak pertama, saya masih cukup rajin datang ke kampus; saya sedang di masa akhir perkuliahan demi gelar ahli madya jurusan teknik informatika. Teman saya Agus menunjukkan caranya mengedit kode-kode di platform blog. Saya pun tertarik membuat blog pribadi. Tujuan saya sederhana: hanya ingin membuat semacam diary digital.

Tak lama kemudian saya bersalin. Mau tak mau saya cuti kuliah. Sekira tiga bulan berikutnya saya mulai kuliah kembali, serta meneruskan kerja paro waktu. Selama saya pergi, bayi saya diasuh oleh mertua, sehingga saya bisa tenang. Urusan nge-blog pun berlanjut dengan satu atau dua unggahan baru. Maklum, saya tak punya PC di rumah. Hanya di kampuslah saya bisa berselancar di internet secara gratis. 

Sayangnya itu semua terputus di tahun 2008. Fisik saya drop, tak kuat menjalani aktivitas kuliah, kerja, dan mengurus bayi. Dengan berat hati saya memutuskan mundur dari perkuliahan, tak menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat meraih gelar ahli madya, serta keluar dari tempat kerja. Otomatis kegiatan blogging pun terhenti.

Waktu berlalu amat cepat. 

Tahun 2015 merupakan momen 'eureka!' buat saya. Kenapa? Karena saya akhirnya menyadari apa yang membuat saya bergairah dalam hidup; saya menemukan passion sejati yaitu menulis. Kali ini saya punya alatnya; bukan laptop melainkan sebuah HP berjenama Nokia (ups! Tidak bermaksud ngiklan!). Dengan HP ini saya bisa berselancar di internet, aktif di laman Facebook, mengunggah aneka status. Pokoknya bersenang-senang.

Lewat Facebook pula saya mengenal, lalu bergabung dengan sejumlah komunitas kepenulisan. Tujuan saya jelas: menimba ilmu tentang dasar-dasar menulis yang baik dan benar. Di sela-sela mengasuh seorang balita (anak kedua lahir di tahun 2012), saya rajin mengetik cerita mini, maupun puisi. Di akhir tahun ini pula keluarga kami hijrah ke Cilacap. Meninggalkan Purwokerto yang lama menjadi habitat akrab.

Siapa nyana kepindahan ke Cilacap makin memacu saya menyeriusi dunia menulis. Bahkan di tahun 2016 senjata menulis saya berganti jenama; saya dihibahi sebuah HP android Smartfren oleh adik saya. Lho, kok, bukan laptop? Ya, maklum, belum ada anggarannya.




Saya menggunakan aplikasi Kingsoft Office, yang merupakan aplikasi bawaan dari HP. Menurut informasi yang saya peroleh, aplikasi tersebut adalah aplikasi WPS versi lawas. Sebenarnya saya sempat galau, apakah mungkin hasil ketikan di aplikasi ini dapat terbaca komputer lain, jika saya kirimkan via pos-el? Sebab di pertengahan tahun 2016 itu saya memiliki impian untuk menembus media massa. Jika saya harus mengirim tulisan lewat warnet, kendala saya tentu saja anak. Tak mungkin saya berlama-lama di warnet, yang lokasinya cukup jauh dari rumah. Minta tolong pada suami untuk menjaga anak kedua juga tak mungkin; dia berangkat jualan pagi hingga sore. Akhirnya saya nekat saja.

Ternyata usaha saya berbuah manis. Sebuah media daring menerima cerpen saya, dua kali pula! Wow, kepercayaan diri saya jadi meningkat. Saya makin rajin mengirim ke alamat pos-el media cetak. Dan kembali cerita anak saya berhasil menembus rubrik cerita anak di koran SoloPos. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam!

Tahun 2017 saya makin giat menulis lalu mengirimkannya ke media. Ponsel saya pun berganti tipe meski  masih sama-sama berjenama Smartfren Andromax. Sehingga secara rutin minimal sebulan sekali ada tulisan saya yang berhasil tayang di media. Di tengah rasa syukur yang membuncah, seorang teman menghubungi via kotak pesan di Facebook. Dia menyarankan sungguh-sungguh agar saya membuat blog untuk mendokumentasikan jejak karya. Apa? Saya pikir bagaimana bisa saya membuat blog hanya bermodal HP? Lama saya renungkan saran tersebut. Saya merasakan kebenarannya. Dulu saya pernah membuat blog, masa sekarang tidak bisa? Jika menulis cerpen menggunakan aplikasi WPS saja bisa, seharusnya blogging juga sama bisanya, 'kan? Saya, toh, punya Android di tangan.

Begitulah awal mulanya. Saya memilih platform Blogspot untuk blog saya. Alasannya blogspot mudah diatur, apalagi saya pemula. Maka bulan Oktober 2017 saya mengunggah tulisan pertama saya. Kemudian berturut-turut sebagian besar tulisan yang telah tembus media cetak. Ada rasa bangga menyeruak. Saya berhasil melawan keterbatasan. Tidak punya laptop atau PC bukan halangan berkarya.


Menjadi Blogger? Siapa Takut!

Tahun 2018 adalah tahun di mana saya mengalami masa fluktuasi dalam menulis. Hal ini disebabkan kehamilan anak ketiga yang diluar dugaan. Kondisi tubuh yang sering tidak fit plus perubahan hormon membuat produktivitas turun. Akibatnya tak banyak karya saya yang berhasil tembus media massa. Walaupun begitu saya tetap bersyukur, dalam kondisi serba tidak nyaman saya dimampukan-Nya menggapai impian: menerbitkan buku solo.

Korelasi dari sedikitnya karya yang nampang di media ialah terabaikannya blog saya. Aduh, bagaimana ini? 
Blog menjadi berdebu, di beberapa sudutnya mulai terlihat sarang laba-laba. Mengenaskan. 

Dalam kondisi demikian, dua teman FB yaitu Aci dan Arwen menarik saya ke jalan yang tak terpikir sebelumnya.

Berawal dari seringnya melihat Aci membagi pranala tulisannya di sebuah blog kecantikan dan blog pribadi, membuat saya tergerak meng-klik tautan tersebut, lalu membacanya. Wah, betapa rajinnya dia menulis artikel! Padahal ide-idenya sederhana, ada di kehidupan sehari-hari. Dan Aci terlihat bersungguh-sungguh akan usahanya. Terbersit keinginan mengikuti jejak Aci. Daripada ngotot menunggu ada karya yang tembus media baru mengisi blog sendiri. Aci pun terus menyemangati saya. Walaupun demikian saya masih bimbang.

Beberapa waktu kemudian, Arwen menawari saya bergabung di grup WA bentukannya. Grup itu bukanlah grup belajar, melainkan tempat berbagi pranala blog pribadi. Nantinya para anggota akan saling mengunjungi blog (blog walking). Tujuannya saling memotivasi untuk tetap menulis apapun temanya, dan meningkatkan traffic blog. Setelah menimbang sejenak, saya sambut ajakan Arwen. Pikir saya, ini adalah langkah awal menjadi blogger, saya tak boleh menyia-nyiakan kesempatan.

Saya pun sempat mengikuti kelas privat belajar nge-blog bagi pemula, bersama Toni Al Munawar. Saya belajar ilmu dasar, SEO, cara meningkatkan trafik, dan bagaimana cara meningkatkan nilai tambah pada blog saya.




Jadi begitulah konklusinya. Passion saya adalah menulis; meninggalkan jejak keberadaan saya di dunia. Saya sudah berhasil mengatasi keterbatasan fasilitas, bisa mengambil jeda di sela-sela kesibukan mengasuh anak, maka saya tak boleh berhenti begitu saja. Kini era digital, saya ingin menyumbangkan kontribusi positif melalui tulisan. Lewat blog siapapun bisa mengaksesnya, dan mudah-mudahan mengambil manfaat darinya.

Tentunya saya punya resolusi pribadi terkait aktivitas nge-blog ini. Saya berharap bisa naik tingkat menjadi blogger yang profesional. Untuk itu saya tak segan menimba ilmu dari para blogger professional, misalnya Bang Nodi Harahap. Saya juga bermimpi punya laptop suatu saat nanti, agar lebih leluasa menulis. Semoga tercapai resolusi sederhana saya di tahun ini. Bagaimanapun, saya bangga menjadi narablog di era digital. (*)

Cilacap, 220119

#KompetisiBlogNodi #NarablogEraDigital