Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Maret 2021

Harlok dan Isu Kekerasan Terhadap Anak

Novel Kereta Malam Menuju Harlok
Kereta Malam Menuju Harlok (Dok. Gita FU) 


Oleh: Gita FU


Judul      : Kereta Malam Menuju Harlok

Penulis   : Maya Lestari Gf

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Cetakan : Pertama, Januari 2021

Hal         : 144  hlm

ISBN       : 978-623-253-017-1

Harga     : Rp 45.000 (P. Jawa) 

Novel  yang menjadi juara dua pada Kompetisi Menulis Anak Indiva 2019 ini mengambil tema yang tak biasa, yakni kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak bisa diartikan sebagai tindakan kekerasan  fisik, penganiayaan emosional/psikologis, pelecehan seksual, dan pengabaian. Dari empat macam kekerasan tersebut, Maya Lestari Gf mengambil fokus pada pengabaian anak. 

Pengabaian atau penelantaran anak adalah kondisi di mana orang dewasa yang bertanggung jawab, gagal  menyediakan kebutuhan yang memadai untuk berbagai keperluan; termasuk fisik (kegagalan  menyediakan makanan yang cukup, pakaian, kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), dan medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter). 

Anak adalah anugerah, titipan, sekaligus ujian bagi orang tua. Setiap anak terlahir suci, bagaimanapun kondisi fisik yang menyertainya. Apabila seorang anak lahir dengan cacat bawaan itu bukanlah kesalahan si anak. Ia tak minta dilahirkan. Justru kewajiban orang tua memberi pengayoman pada sang buah hati. Bukan malah diabaikan atau ditelantarkan.

Novel ini ditulis dengan semangat menyadarkan pembaca akan hakikat kemanusiaan, perlakuan manusiawi dan penuh kasih terhadap anak-anak. Ditujukan untuk pembaca anak-anak, dibalut fantasi tentang Kereta Malam dari langit. 

Anak-anak Telantar yang Dimanfaatkan 


Di Kukila, panti khusus anak-anak cacat, terdapat sembilan anak dan satu pengasuh panti. Masing-masing memiliki cacat fisik. Misalnya Tamir, ia tak punya kaki dan mata kanan. Atau Awab yang terkena sindrom autis. Begitu pula Amar, semua jemari tangan kirinya tidak tumbuh sempurna (hal. 6-8).

"Betapa enaknya punya ibu. Ada yang selalu memasakkan makanan lezat untukmu. Di panti asuhan semuanya berbeda. Kau harus mengurus dirimu sendiri. Semua anak punya jadwal memasak. Jika mereka tidak patuh pada jadwal, tidak ada yang makan hari itu." (hal. 11).
Pengasuh panti mereka adalah lelaki lima puluh tahun bernama Amang. Ia lelaki pemarah, tidak sayang pada anak-anak panti. Dan tepat di malam takbiran Amang pergi meninggalkan Kukila begitu saja. Ia menelantarkan Tamir dan teman-temannya (hal. 16).

Siapa nyana, di malam itu pula terjadi sesuatu yang hebat pada Tamir. Ketika petir menggelegar bersahutan, sebuah kereta api dari angkasa meluncur ke arah Kukila. Hanya Tamir yang melihat kedatangannya, lalu gelap melanda (hal. 20). Ketika Tamir terbangun, ia sudah ada di dalam gerbong kereta yang terlambung-lambung oleh turbulensi di awan. Rupanya Tamir dijemput oleh Kereta Malam, kereta khusus anak telantar, untuk dibawa ke Harlok, sebuah kota di langit (hal. 27). 

Sesudah turun dari gerbong, barulah Tamir mengetahui nasib buruk yang bakal menimpanya. Adalah Vled, seorang pria keji, yang telah menyebabkan Tamir dijemput Kereta Malam. Vled punya usaha penambangan batu seruni  di Harlok. Di sana ia mempekerjakan 40 anak laki-laki telantar dari kota-kota di bumi. Liciknya, ia menutupi pertambangan ilegal tersebut dari mata Pemerintah Kota Harlok, sebagai panti bernama Rumah Asuh Bahagia. 

Bersama anak-anak tambang lain, dan Baz sebagai pengurus mereka, Tamir menjalani hari-hari menyiksa di tambang gelap, sejak pagi hingga petang. Tenaga anak-anak terlantar itu diperas, makanan mereka memprihatinkan, kondisi mereka tak terawat. Bahkan tak ada keringanan bagi Tamir yang cacat. 

Anak-anak tambang bercerita pada Tamir, bahwa tak ada yang bisa meloloskan diri dari tambang Vled, ataupun melapor pada Departemen Anak Telantar. Karena Vled serta anteknya telah memagari lokasi mereka dengan pagar tinggi, dan singa kabut. Ironisnya, Baz sebagai orang yang bersikap baik pun tak berdaya melawan Vled. Sebab anak perempuannya disandera oleh Vled. 

Lama kelamaan penindasan Vled menjadi tak tertanggungkan lagi. Tamir dan teman-temannya memutuskan bangkit dan melawan (hal. 125-126)

Beberapa kesalahan penulisan yang saya temukan dalam novel ini tidak sampai mempengaruhi jalan cerita. Secara keseluruhan novel ini amat layak dimiliki sebagai bacaan yang bergizi, dan kontemplatif. 

Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca. (*)

Cilacap, 310321


 

Selasa, 30 Maret 2021

Kritik Sosial dalam Novel Anak

 
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko (dok. Gita FU) 


Oleh: Gita FU 


Judul      : Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko

Penulis   : Yosep Rustandi

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Cetakan : Pertama, Juli 2020

Hal         : 160 hlm

ISBN       : 978-623-253-002-7

Harga     : Rp 40.000 (P. Jawa) 


Kompetisi Menulis Novel Anak Indiva 2019 telah menahbiskan karya Yosep Rustandi ini sebagai jawara. Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran yang membuncah dalam dada saya, apa keistimewaannya? Maka begitu novelnya terbit, saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera mendapatkannya. 

Ternyata begitu saya mulai membaca, saya tak bisa berhenti sebelum selesai. Alur ceritanya terasa mengalir, ditambah penokohan yang kuat, serta setting yang amat realistis. Setidaknya, itulah kesan pertama saya terhadap novel ini. 

Sebenarnya tema yang diangkat oleh sang penulis terhitung berat untuk kalangan pembaca anak; yakni masalah ketimpangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di masyarakat. Saya yakin ada tantangan tersendiri bagi penulis guna membahasakannya sesuai alam pikiran anak-anak. 


Bermula dari Apel

 Di kota kecil Cibening, ada sebuah gang sempit berisi rumah-rumah kumuh. Di sana warganya sebagian besar berprofesi sebagai pemulung, pengamen, pengemis, pedagang kecil, tukang jamu, tukang parkir, kuli serabutan, calo, hingga preman. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasanya terlalu sibuk berjuang mencari sesuap nasi. Termasuk Alin, dan Jiko yang kesehariannya menjadi loper koran atau pemulung cilik. Padahal mereka baru berusia delapan tahun. 

Tidak jauh dari gang kumuh tersebut, ada kompleks perumahan Beautiful Garden.  Kondisinya amat kontras, jalan dan rumah-rumah di sana selalu bersih. Warganya berpendidikan, serta memiliki strata sosial yang lebih baik. Kakak beradik Doni dan Dini adalah  tokoh-tokoh yang mewakili kalangan berada ini. Doni sudah kuliah semester dua, sedangkan Dini pelajar di SMA Harapan Hati. 

Di antara dua kutub yang bertolak belakang tersebut, ada sekelompok orang yang berusaha membuat jembatan penghubung. Mereka diwakili oleh tokoh Yasmin, remaja SMA Harapan Hati sekaligus volunter di Sanggar Hati. Serta Ibu Rara, Ketua LSM Sanggar Hati, sebuah LSM yang peduli terhadap anak-anak jalanan dan anak-anak miskin perkotaan. 

Emak Alin sakit yang lebih parah dari sebelumnya. Terpaksa emak libur kerja sebagai buruh cuci, dan sepenuhnya tergantung pada Alin. Di awal sakit emak pernah mengucapkan keinginan  makan apel impor besar dan harum dari negeri Cina. Dulu emak pernah diberi apel semacam itu oleh majikannya. Dalam pikiran Alin yang polos, emak pasti sembuh jika sudah makan apel.

Namun harga apel merah itu tak terjangkau oleh Alin. Penghasilannya hanya cukup untuk makan amat sederhana berdua emak. Maka suatu hari ia terpaksa menjambret seplastik apel merah dari Dini, yang baru saja menyelesaikan transaksi dengan si pedagang apel di pasar. 

"Gila kamu, akhirnya mencuri juga!" seru Jiko setelah napasnya mulai teratur. Alin memandang Jiko kecut. "Kata buku, kalau mau jadi pencuri, jadilah pencuri besar!" kata Jiko lagi. (Halaman 20).

Kisah lalu bergulir ke arah yang tak pernah Alin duga. Untung saja ada Jiko, si kutu buku sahabatnya. Berkat pengetahuannya yang luas dari buku bacaan, Jiko memberi saran-saran untuk Alin. Akan tetapi daya mereka  terbatas. Pada akhirnya Alin dan Jiko tetap membutuhkan pertolongan dari orang-orang dewasa yang mau peduli pada masalah mereka. 


Pelajaran Hidup yang Tersirat dalam Cerita

Dialog-dialog antar tokoh dalam novel ini tak jarang mengundang tawa saya. Kepolosan anak-anak terlukis begitu nyata. Narasinya lincah, peristiwa demi peristiwa terjalin runtut dan logis. Yang paling disukai oleh anak saya Hanna (pembaca berumur delapan tahun) ialah adegan kejar-kejaran antara Alin, Jiko, Atan, Sura, dan Wira hingga ke tebing di pinggir sungai. Seru, katanya. 

Di balik petualangan Alin dalam mengusahakan kesembuhan untuk emaknya, tersirat berbagai pelajaran hidup. Antara lain kejujuran, kepedulian, kebaikan hati, dan kehangatan keluarga. Saya menyusut air mata haru ketika membaca tentang emak Alin. Dikisahkan meski berada pada kondisi paling terdesak sekalipun, emak tetap kukuh tak mau makan barang hasil curian. Bahkan emak melarang Alin mengutil makanan dari tempat syukuran perkawinan. 

"Nilai hidup tidak ditentukan dari mana kita berasal dan di mana kita mati. Nilai hidup ada dalam proses menjalani. Siapa yang bisa menjalani hidup lebih baik, lebih bijak, lebih berguna, lebih ikhlas, lebih bertakwa, itulah orang-orang yang berbahagia." (hal. 157).

Lalu di manakah narasi kritik sosial tersebut? Secara tersurat ada pada penjelasan Ibu Rara di depan siswa SMA Harapan Hati mengenai tujuan LSM Sanggar Hati (hal. 18-20). Pada bagian ini mau tak mau terasa menceramahi pembaca dan sedikit membosankan. Selebihnya berkelindan bersama jalinan cerita sehingga lebih natural. 

Jika diibaratkan menu makanan, boleh dikata novel ini adalah paket komplit, sesuai misi pendidikan karakter untuk anak. Orang dewasa pun layak membacanya, untuk turut memetik inspirasi dari kisah Alin dan Jiko. Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca! (*)

Cilacap, 300321

#lombaresensibukuindiva2020


Catatan tambahan: Alhamdulillah resensi ini masuk ke dalam 10 Resensi Terfavorit dalam Lomba Resensi Buku Indiva 2020.

Sabtu, 04 Juli 2020

[Resensi] Kisah Cinta yang Muram dan Melukai Diri




(Tersiar di Harian Bhirawa edisi Jumat, 3 Juli 2020)

Oleh: Gita FU



Judul : Pirgi dan Misota
Penulis         : Yetti A. KAn
Penerbit : Diva Press
Cetakan  : Pertama, September 2019
Tebal : 132 hlm
ISBN : 978-602-391-753-2

Kisah cinta tidak selalu manis dan berakhir bahagia, ada pula yang mengalami kepahitan. Bahkan pada level yang parah ada sebagian orang yang menjalani 'toxic relationship', alias hubungan yang tidak sehat, tidak menyenangkan, dan merugikan bagi diri sendiri. Patut disayangkan kaum perempuan kerap terjebak di dalamnya, tak mampu atau tak mau keluar dari kondisi tersebut, meskipun dirinya makin terluka. Biasanya alasan yang dijadikan pembenaran adalah karena cinta.

Dalam novela ini Yetti A. KA mengetengahkan jalinan kisah nan muram dari tiga perempuan yakni Pirgi, ibunya, dan Misota.  Pirgi  seorang perempuan muda  naif yang punya sifat obsesif. Ayahnya adalah pensiunan pegawai kantor pos, tak pernah ikut mengurus  Pirgi semenjak  kecil. Sikapnya selalu masam dan tak banyak bicara kepada anak dan istrinya. Sedangkan ibu Pirgi wanita yang keras kepala, ia memiliki usaha rumah jahit dengan penghasilan lebih tinggi ketimbang  sang ayah. Ibunya mendominasi kehidupan Pirgi. Ia kerap bersikap keras dan memarahi apapun tindakan Pirgi yang tak berkenan di hatinya (hal. 26).

 Sejak kecil cita-cita Pirgi ingin menjadi penjaga toko roti dengan topi jamur di kepala. Ia mendambakan profesi itu semenjak di TK, walaupun ibunya habis-habisan mencela. Bahkan sang ibu mengarahkan cita-cita Pirgi agar menjadi seorang sekretaris di perusahaan besar. Pada akhirnya Pirgi berhasil mendapatkan yang ia inginkan: menjadi penjaga di toko roti, yang seragam karyawan perempuannya adalah baju dan rok selutut, lengkap dengan topi jamur berwarna putih. Di toko itu Pirgi bertemu Nodee, lelaki yang usianya bahkan lebih tua dari ibunya, dan ia seorang penulis. Pria itu bersikap manis dan perhatian padanya. Dua hal tersebut cukup membuat Pirgi dimabuk cinta, padahal ibunya tidak menyukai pria berumur itu.
 “Aku gadis muda berusia 22 tahun, bekerja di toko roti, terancam putus kuliah di jurusan sosiologi. Lelaki itu 45—satu tahun lebih tua dari ibuku—seorang penulis, tapi kata ibuku itu sama dengan pengangguran. Aku tak boleh menyukainya. Ibuku pasti murka.” (hal. 32).  

Atas dorongan perasaan, Pirgi mengambil keputusan nekat dengan menikahi Nodee dan keluar dari rumah ibunya. Ia lalu mengikuti Nodee yang memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan sempit di kawasan padat penduduk (hal.47). Pernikahan tanpa restu itu berjalan hingga tahun kedua. Dari situ terkuak bahwa Nodee   mempunyai masalah  keseimbangan mental.  Pria itu selalu mengurung diri di ruangan sempit dengan alasan menulis novel, ia senang mengoleksi suvenir dari para penggemar perempuan, dan kerap mengabaikan keberadaan Pirgi. Ia pun sering tiba-tiba marah dan bersikap kasar. Hal-hal tersebut lambat laun mempengaruhi kejiwaan Pirgi. Ia bahkan percaya saja pada sugesti Nodee bahwa  dirinya adalah jamur raksasa yang memiliki kekuatan penghancur (hal. 58).    

Pirgi yang tengah dibelit masalah dalam pernikahannya tak bisa meminta bantuan pada orangtuanya. Maka ia berpaling pada Misota, yang dianggap sebagai sahabat baiknya. Misota sendiri adalah perempuan penuh masalah, sehari-hari bekerja sebagai operator telepon di rumah bordil. Meskipun tak bisa memberikan bantuan atas masalah Pirgi, Misota selalu bersikap ceria dan membesarkan hati. Sikapnya amat bertolak belakang dengan ibunya, sehingga Pirgi merasa nyaman berbicara pada Misota.

Namun akhirnya pernikahan mereka  berantakan saat Nodee memutuskan untuk berpisah. Beban psikis Pirgi tak tertanggungkan lagi sehingga ia mengamuk di toko roti tempatnya bekerja; ia berilusi dirinya betul-betul berubah  jamur raksasa.  Akibatnya Pirgi mendapat perawatan di rumah sakit jiwa selama tiga bulan. Setelah keluar dari sana, kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya pulih kembali. Ibarat gelas, Pirgi telah retak. 

Di sisi lain Misota menghadapi terornya sendiri. Ia yang sebelumnya dikenal Pirgi sebagai perempuan tangguh dan ceria, nyatanya punya masa lalu gelap; pria yang pernah memperkosa dan menjadikannya budak seks bertahun lampau berhasil menemukan tempat kerjanya. Ironisnya, jangankan melaporkan si pria kepada pihak berwajib, Misota bahkan tidak bisa membenci pria itu, karena ia mencintainya.   Pirgi yang baru keluar dari rumah sakit jiwa ingin bercengkrama seperti biasa dengan Misota. Namun kali ini Misota tak mampu lagi bersikap tegar dan memilih pergi (hal. 126).

Mau tidak mau Pirgi kembali berada dalam rengkuhan ibunya. Ibu Pirgi yang kerap menyebalkan, tapi tetap peduli padanya. Tanpa sepengetahuan Pirgi, Ibu pun menyimpan luka dari masa lalu yang membentuk karakternya menjadi keras dan kaku. Sejak Pirgi kecil, Ibu mengaku sebagai anak petani di kampung. Namun ternyata hal itu bohong belaka.  

“Aku ditinggalkan oleh ibuku, setelah ayahku lebih dahulu pergi. Jangan kau bayangkan bagaimana aku melewatinya. Umurku baru enam tahun. Aku belum mengerti apa-apa selain banyak menangis. Seseorang jatuh kasihan melihat tubuh kurus keringku di jalanan. Ia memang orang baik. Selain aku, ia membesarkan anak lain.” (hal. 128).

Berbagai peristiwa tidak menyenangkan telah dialami Ibu semenjak kecil,  beranjak remaja hingga dewasa. Bahkan Ibu pernah pula terjerumus ke pergaulan bebas. Karena itu setelah menikah lalu  membesarkan Pirgi, ia memutuskan menjaga putrinya dengan ketat. Rupanya Ibu ingin memperbaiki banyak bagian yang salah di hidupnya dahulu. 

Kisah dalam novela ini adalah kisah muram di dunia perempuan yang banyak terjadi di luar sana. Seyogyanya para perempuan menjadi lebih bijak dalam menjaga kewarasan dirinya sendiri, dan peran keluarga pun penting. Pesan ini menjadikan buku ini layak dibaca pembaca dewasa. (*)

Cilacap, 120320

Senin, 16 Maret 2020

[Resensi] Mengasah Kepekaan Anak Melalui Puisi

Tersiar di Padang Ekspres edisi Minggu, 15/3/20




Oleh: Gita FU


Buku Kumpulan Puisi Anak "Dongeng Pohon Pisang". Dokpri.

Judul Buku : Dongeng Pohon Pisang
Penulis        : Achmad Sultoni
Penerbit      : Gambang Buku Budaya
Cetakan.      : Pertama, Mei 2019
Tebal            : ix+53 hlm.
ISBN.            : 978-602-6776-84-6


 Mari kita ajak anak-anak belajar mengenal lingkungan sekitarnya lewat puisi. Kenapa puisi? Karena puisi adalah bahasa keindahan. Melalui  bahasa yang indah,  perasaan anak-anak yang halus mudah tersentuh. Setelah  perasaannya tersentuh, maka jiwa anak-anak menjadi peka. Jiwa yang peka mudah diisi pelajaran dan hikmah yang baik-baik.  Puisi pun merupakan jendela cakrawala pengetahuan. Kita bisa menyampaikan perihal penciptaan alam semesta, kasih sayang kepada keluarga, hingga cara membuat layang-layang. 

Puisi-puisi dalam buku Dongeng Pohon Pisang ini telah digubah dengan bahasa sederhana, tapi sarat makna. Anak-anak akan mudah menyelami mutiara hikmah di dalamnya, sekaligus mendapatkan wawasan baru. Sementara bagi pembaca dewasa akan merasa diajak bernostalgia tentang keriaan  masa kecil, kala bermain di  tanah lapang dan sungai.

Puisi berjudul "Sungai Kecil di Kampungku" (hal. 16), mengajari anak-anak tentang fungsi sungai. Sungai yang mengalir tenang adalah rumah bagi ikan-ikan air tawar. Kita tidak boleh membuang sampah di sungai, karena perbuatan itu menyakiti sungai. Nantinya sungai pun berbalik menyayangi kita, airnya tak akan bikin banjir rumah-rumah. Bukankah ini pesan yang faktual? Mengingat banjir kerap terjadi akibat meluapnya sungai yang menjadi dangkal oleh sampah,  puisi ini dapat mengingatkan anak-anak sejak dini.

Anak-anak lalu diajak mengenali satu jenis buah yang  sederhana penampilannya. Buah ini dulu di masa kecil kita mungkin dianggap sepele, karena sering ditemukan tumbuh liar terutama di pematang sawah. Namun kini sawah makin menciut, buah ini turut  jarang ditemukan. Padahal ternyata banyak manfaatnya bagi kesehatan. Sehingga supermarket modern mau menjualnya, tentu dengan harga mahal. "Buah Cimplukan bulat seperti bola mata/ tumbuh liar di semak belukar// Cimplukan buah ajaib/ benteng segala penyakit//" (Buah Cimplukan, hal. 24).

Pohon-pohon pisang pun punya cerita untuk anak-anak. Mereka berkisah tentang  rupa-rupa jenis pisang, aneka resep mengolah pisang, hingga manfaat  yang diberikan buah pisang pada kita. Semuanya ada di puisi "Dongeng Pohon Pisang" (hal. 41). 

"Menyusuri jalanan kampung/ yang lengang/ ada banyak pohon pisang/ pohon pisang yang mungil-mungil/ berbaris memenuhi halaman/ halaman rumah//".

Ada pula puisi tentang keriangan di kala hujan dalam puisi "Hujan-hujanan" (hal. 20); tentang beberapa hewan yang umum ada di desa dalam "Kambing Mbah Pandi" (hal. 4), "Anak Mentok Kakek" (hal. 12), "Kolam Ikan" (hal. 32). Pembaca juga diajak  menyatakan rasa cinta dan kasih kepada Ibu ("Ibuku Berwajah Rembulan", hal.1), pada nenek ("Kupanggili Nenek Malam Hari", hal. 14), dan ayah ("Ayahku", hal. 39). Tentunya masih banyak pula puisi lain yang tak kalah berhikmah.

Puisi untuk anak memang memerlukan  bahasa yang lugas dan sederhana. Selain itu perlu ditunjang dengan ilustrasi yang memadai. Untuk kriteria tersebut di atas, telah mampu dijawab oleh buku ini. Sehingga menurut saya buku ini layak menjadi rekomendasi untuk dibaca dan dikoleksi para pembaca. (*)

Cilacap, 230120

Senin, 05 Agustus 2019

[Resensi] Resep Keakraban Keluarga Baduy



(Telah dimuat di Rubrik Pustaka Harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 26 Mei 2019)



Oleh: Gita FU

Judul Buku.     : Belajar Membaca Kegelapan
Penulis.            : Encep Abdullah
Penerbit.          : Gaksa Enterprise
Cetakan.          : Pertama, Maret 2019
Tebal                : ix+95 halaman
ISBN.                : 978-602-5906-40-4

Apakah  kehadiran sumber energi listrik meningkatkan kualitas hidup? Mungkin sebagian besar kita akan menjawab dengan yakin: ya, tentu saja. Dengan listrik hidup  manusia terasa  makin mudah. Terbukti oleh bermunculannya aneka piranti elektronik yang memanjakan: penanak nasi listrik, mesin cuci  baju,  kompor listrik, sepeda listrik, lemari pendingin, televisi,  dan lain sebagainya. Namun benarkah selalu demikian?

Encep Abdullah seorang guru di SMK Muhammadiyah Pontang, Banten, sekaligus seorang penulis muda, menyenaraikan buah pikirannya  melalui esai-esai yang cukup bernas. Untuk masalah listrik di awal tadi, ia mengajak pembaca melakukan studi kasus (Belajar dari Sekolah dan Suku Baduy, halaman 17).

Suatu ketika terjadi mati listrik di daerah tempatnya tinggal. Kemudian ia berangkat ke sekolah tempatnya mengajar, yang mana hari itu akan ada pembagian rapor siswa. Ternyata di sekolah suasana begitu riuh. Rekan-rekannya sesama guru sibuk menyalahkan PLN, karena menyebabkan tidak selesainya pekerjaan mereka. Mulai dari printer yang mati padahal rapor belum selesai diisi, hingga matinya penanak nasi elektrik sehingga masak nasi menjadi lebih lambat.

"Padahal, bukankah dulu tak ada listrik, hidup terus berlangsung. Tak ada lampu, hidup terus berlangsung" (halaman 19).

Penulis lalu teringat suku Baduy (Rangkasbitung) yang pernah ditandanginya. Di sana tak ada listrik, berkat kearifan lokal yang masih dijaga. Begitu magrib kegelapan menyelimuti rumah-rumah. Hidup mereka sungguh bersahaja. Namun justru kehangatan dalam keluarga muncul. Antar anggota keluarga terasa akrab dan dekat; sehari-hari mereka saling bekerja sama, tiada ketergantungan pada peralatan elektronik.  Sungguh sebuah ironi.

Pada esai berjudul "Anak-anak yang Dewasa Sebelum Waktunya", penulis mengkritisi kelangkaan acara khusus anak di televisi (halaman 12). Acara televisi didominasi sinetron dan hiburan musik dangdut sejak petang hingga pukul sepuluh malam.  Akibatnya anak-anak ikut menonton dan terpapar hal yang belum layak bagi mereka. Solusinya menurut penulis, kembali pada pola pendidikan dalam keluarga.

Empat belas esai lainnya menarik pula disimak. Ada yang menyoal dunia sastra dan literasi, serta dunia pendidikan. Sesuai dengan bidang si penulis: guru dan penulis. Setidaknya buku sehimpun esai ini bisa dijadikan referensi pemikiran bagi pembaca umum. (*)

Cilacap, 180419

Minggu, 07 April 2019

[Resensi] Anak Meniru Perilaku Buruk Orang Tua

Psycho-thriller Humaira Aziza
Kaver depan 

(Terbit di Harian Kabar Madura edisi Kamis, 4 April 2019)

Halaman Opini Harian Kabar Madura

Oleh: Gita FU

Judul Buku.     : Empty Faces Against the Wall
Penulis.            : Humaira Aziza
Penerbit.          : Hazerain Publisher
Cetakan.          : Pertama, 2018
Tebal                : 285 halaman
ISBN.                : 978-602-5684-96-8

Orang tua adalah guru pertama bagi anak, pelukis bagi jiwa yang masih polos tersebut. Sebab anak-anak belajar dengan cara meniru; baik sikap, cara bicara, emosi, hingga tingkah laku orang tua. Jika orang tua ingin anak-anaknya tumbuh baik dan sehat, berikan teladan yang bagus. Pesan itulah yang menurut saya, coba disampaikan oleh penulis novel remaja bergenre psikologi-thriller ini.

Novel yang mengambil lokasi di Amerika ini, tepatnya kota New York, memusatkan kisah pada 5 tokoh utama: Brianna Carpenter, Maura Velcones, Benjamin Saunders, Shelby dan Caleb Hutchinson. Bermula dari kecemburuan yang melanda Brianna, menyaksikan bagaimana pemuda yang ia cintai yaitu Benjamin, ternyata lebih memilih jadi kekasih Shelby. Pasangan Benjamin  dan Shelby adalah pasangan populer di Reagen's Highschool; Benjamin pemain futbol, Shelby gadis pemandu sorak. Sedangkan Brianna sendiri adalah gadis kutu buku cerdas, juara olimpiade sains.

Rasa cinta Brianna beralih rupa menjadi obsesi. Hal ini diketahui oleh Maura si pembawa masalah. Maura membujuk Brianna untuk menguntit Shelby. Dari situlah Brianna tahu tentang saudara kembar Shelby bernama Caleb, yang cacat kakinya dan selalu berkursi roda (hal. 23). Maura sendiri rupanya punya agenda tersembunyi. Ia ingin menghancurkan Shelby, yang dahulu pernah menyebabkan abangnya patah hati lalu bunuh diri.

Berkat rencana Maura, akhirnya Brianna punya kesempatan mendekati Benjamin. Sayang, perasaannya tidak berbalas. Karena Benjamin hanya menganggap Brianna sebagai gadis satu malam seperti gadis-gadis sebelumnya. Agar lepas dari Brianna, Benjamin membuat laporan palsu kepada polisi tentang Maura yang hendak mencelakai Brianna. Padahal itu hanyalah rencana pura-pura antara Maura dan Brianna. Maura pun ditahan karena Brianna memilih bungkam. Di luar dugaan, ayah Shelby dan Caleb menjadi penjamin hingga Maura bisa keluar dari tahanan. Rupanya bibi Maura adalah pembantu rumah tangga keluarga Hutchinson. Namun ayah Shelby mengajukan syarat: Maura harus bisa mendekatkan Brianna ke putranya, Caleb (hal. 65).

Masalah lain menimpa Brianna: ia hamil akibat hubungan intimnya dengan Benjamin. Didorong amarah dan kecewa mengetahui hal itu, Travis kakaknya menuntut tanggung jawab Benjamin. Kejadian itu berujung pada kecelakaan tragis yang merenggut nyawa pemuda itu. Ibu mereka begitu terpukul atas kematian putra sulungnya sehingga menyalahkan Brianna. Di sinilah kepribadian  gelap Brianna makin tersingkap,  karena ia tega mencelakakan ibunya di kamar mandi hingga tewas (hal. 89).

Satu persatu mozaik mengenai latar belakang keluarga para tokoh dimunculkan oleh penulis. Seperti si kembar Shelby dan Caleb Hutchinson, yang memiliki ayah seorang diktator, dan mendiang ibu yang bermasalah kejiwaannya. Benjamin Saunders, berasal dari keluarga broken home meskipun kaya raya. Maura Velcones, ternyata anak seorang psikopat sadis; ayahnya menculik, lalu membunuh dan memutilasi para korban di hadapan Maura dan saudara-saudaranya. Brianna sendiri  bukanlah anak kandung keluarga Carpenter. Sewaktu berumur 5 tahun, ibu kandungnya menyerahkan Brianna yang bernama lahir Jocelyne, pada keluarga Carpenter demi menyelamatkan jiwanya. Karena ayah biologisnya adalah psikopat sadis; ternyata Brianna adalah adik kandung Maura Velcones.

Memiliki orang tua yang bermasalah tentu saja mempengaruhi psikis para remaja itu. Mereka memiliki sifat masa bodoh, anti sosial, manipulatif, hingga tega mencelakai orang lain demi kepentingan diri sendiri. Bahkan secara genetik pun orang tua  yang sakit jiwa bisa menitiskan gangguan mental. Dalam hal ini Brianna contohnya, yang telah didiagnosa sejak kecil mengidap skizoaffectif.  Yaitu gangguan mental berupa delusi, halusinasi, dan perubahan suasana hati yang tiba-tiba (hal. 187).

Kelebihan penulis ialah pada kepiawaiannya menarasikan  emosi para tokoh utama. Saat Brianna mengalami delusi, pembaca seolah-olah menyaksikan sebuah adegan film. Penulis juga cukup cakap menggambarkan budaya  di Amerika.

Sayangnya di beberapa bagian cerita terdapat lubang logika. Ditambah terlalu banyak tokoh pendukung yang muncul di sepanjang cerita. Endingnya pun menurut saya terasa terburu-buru. Andaikata tebal novel ini lebih dari 300 halaman, mungkin porsi antara konflik utama dan pendamping akan seimbang.

Walaupun demikian pesan tentang pentingnya keharmonisan keluarga tetap tersampaikan. Sejumlah kasus kenakalan remaja yang digambarkan penulis pun  mampu menjadi bahan renungan usai membaca buku ini. Sebuah novel yang layak dibaca khalayak umum. (*)

Cilacap, 080319

Gita FU, pembaca buku kelahiran Pontianak 3 Desember 1981. Karya solonya adalah buku  kumpulan cerita anak 'Pekerjaan Rahasia' (JWriting Soul Publishing, Agustus 2018).

[Resensi] Menjalin Kedekatan Anak dan Orangtua

Kaver buku


(Terbit di Harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 24 Maret 2019)

Rubrik Pustaka KR, 24/3/2019

Oleh: Gita FU

Judul Buku  : Impian Maya
Penulis.       : Sam Edy Yuswanto
Penerbit      : Pasific Press
Cetakan      : Pertama, Februari 2019
Isi.                : v+159 hlm
ISBN            : 978-623-7012-01-6

"Tuhan, aku ingin sekali memiliki keluarga utuh. Ayah ibu yang rukun dan tak pernah bertengkar. Sebagaimana orang tua teman-temanku di sekolah." (Impian Maya, hal. 4).

Usia remaja adalah usia peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Sebagaimana musim yang hendak beralih umpama dari musim hujan ke musim kemarau maupun sebaliknya, tentulah muncul semacam gejolak atau kelabilan. Demikian pula masa remaja. Mereka bingung dengan identitas diri, sehingga mencari perhatian dari lingkungan guna menyalurkan kelebihan energi. Pada masa ini mereka butuh peran orang tua; untuk menjaga, membimbing, memberi teladan, dan sebagai muara keluh kesah.  Maka dari itu amat penting menjalin kedekatan  antara anak dan orang tua.

Pesan itu tersirat dalam buku kumpulan cerita remaja ini. Melalui 17 judul cerita yang sebagian besar pernah tersiar  di berbagai media cetak dan daring, kita diharapkan mendapat perspektif obyektif mengenai dunia remaja. Apalagi penulisnya mengemas aneka kisah tersebut dengan bahasa yang  ringan.

Dalam cerpen "Impian Maya", tokohnya seorang remaja kelas tiga SMP bernama Maya. Ia tak pernah mengecap kedamaian di dalam rumah, akibat pertengkaran tanpa henti orang tuanya.  Akibatnya Maya merasa minder dalam pergaulan sehari-hari. Impiannya memiliki keluarga harmonis seolah-olah maya alias semu belaka (hal. 3).

Sementara dalam cerpen "Perawan" penulis mengangkat isu prostitusi di kalangan remaja. Dikisahkan melalui tokoh 'aku' yang ingin menginvestigasi kebenaran isu tersebut. Ia mewawancarai Nurma, remaja SMA yang menjual diri melalui media sosial. Awal Nurma terjun ke dunia hitam adalah karena gaya pacaran yang 'kebablasan'. Namun setelah dikulik lagi, rupanya Nurma kurang mendapat perhatian, kasih sayang, dan bimbingan  dari kedua orang tua semenjak kecil (hal. 21).

Cerpen berjudul "Kehilangan" mengajak kita merenung; sudahkah kita menghargai kasih sayang ibu? Fitri, gadis kelas satu SMA, acapkali kesal pada mamanya yang dirasa terlalu cerewet. Ia bahkan berani bersikap kasar atau membentak  kala berseberangan pendapat. Semua berubah ketika Mama meninggal akibat sakit mendadak. Fitri baru menyesal atas sikapnya semasa Mama hidup, dan kini barulah ia merasa kehilangan (hal. 90).

Secara keseluruhan cerita-cerita remaja dalam buku ini tidaklah klise dan layak mendapat perhatian pembaca. Kalaupun ada kekurangan, itu hanyalah persoalan salah ketik yang tidak terlalu mengganggu kenyamanan membaca. (*)

Cilacap, 190319

Gita FU, pembaca buku kelahiran Pontianak 3 Desember 1981. Karya solonya adalah buku  kumpulan cerita anak 'Pekerjaan Rahasia' (JWriting Soul Publishing, Agustus 2018).

Keterangan tambahan: judul saya mengalami penyesuaian dari redaktur.

Kamis, 14 Maret 2019

[Resensi] Menemukan Buku Bacaan yang Tepat

Kaver depan

(Tersiar di harian Kabar Madura edisi Selasa, 12 Maret 2019)

Sumber: e-paper Kaber Madura


Oleh: Gita FU

Judul            : 35 Buku Paling Inspiratif Pilihan Sam Edy
Penulis         : Sam Edy Yuswanto
Penerbit      : Pasific Press
Cetakan      : Desember, 2018
Isi.                : x+156 hlm
ISBN            : 978-623-7012-00-9

Memilih bacaan berkualitas terkadang cukup merepotkan. Banyaknya pilihan buku yang beredar, membuat kita harus benar-benar mempertimbangkan, mana buku bacaan yang tepat sesuai kebutuhan. Ibarat kita butuh memilih tempat makan dengan menu yang cocok serta harga bersahabat, tentu kita memerlukan bertanya pada orang lain. Dalam hal ini orang yang kita tanyai haruslah orang yang memahami dunia kuliner. Kembali ke masalah mencari buku bacaan yang tepat, maka orang yang layak kita mintai pertimbangan adalah pengulas buku.

Sam Edy ialah seorang pengulas (penulis review) buku yang sering mengisi halaman berbagai media massa. Melalui buku ini Sam Edy memilihkan 35 judul bacaan yang pernah diulasnya, dan sebagian besar telah tayang di media massa, sebagai rekomendasi bagi Anda. Buku-buku dari berbagai penerbit tanah air semisal: Mizan, Mizania, Bentang, Gramedia, Quanta, Diva Press, dan lainnya;  memuat aneka tema menarik dengan umur terbit maksimal tahun 2016.

Tampilan kaver buku ini didominasi warna putih, ditambah ilustrasi seorang pria tengah menyesap minuman dan memangku sejumlah buku. Hal tersebut membuat judul bukunya tampil menonjol; perwajahan buku yang memikat hati, menimbulkan rasa penasaran pembaca.

Sam Edy merangkum  kisah nyata Nyoman Sakyarsih, seorang ibu muda yang berprofesi sebagai dokter hewan dan berpraktik mandiri di Jakarta selama 7 tahun dalam ulasan berjudul "Petualangan Seorang Ibu Mendaki 30 Gunung Bersama Anaknya". Ulasan dibuat dari buku berjudul "Nyomie & Max" karya Nyoman Sakyarsih, terbitan Qanita, Juli 2018 (halamanal 17).  Nyoman  adalah sosok yang sangat mencintai alam pegunungan dan telah berhasil bertualang mendaki 30 gunung bersama Max, buah hatinya yang masih kecil dan begitu aktif.

Dikisahkan pertama kalinya Nyoman membawa Max mendaki Gunung Bromo pada bulan Mei 2013, ketika Max baru berusia 5 bulan. Kepergian Nyoman ke Bromo dikarenakan ia sedang mengalami kegalauan dalam hidup, juga menjadi semacam titik balik baginya untuk kembali mendapatkan esensi kehidupan.
Nyoman pun membagi kiat mendaki bersama buah hati yang masih kecil. Seperti memperhatikan soal keamanan mendaki, mempersiapkan  perbekalan yang penting-penting saja, dan pengetahuan akan medan yang akan ditempuh.

Inspirasi lainnya bisa Anda dapatkan pada ulasan berjudul "Ketika Anak Muda Berbicara Politik" dari buku berjudul "Anak Muda & Masa Depan Indonesia" karya J.J. Rizal, dkk (Mizan, Maret 2018) pada halaman 30. Buku ini berisi kumpulan pemikiran, aspirasi, mimpi, harapan, kritik, dan kegelisahan kaum muda kekinian Indonesia terkait isu-isu sosial, politik, ekonomi, hukum serta sosial budaya yang berlangsung di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mereka, para pemuda ini, berasal dari berbagai latar belakang sosial, pendidikan, profesi, serta komunitas yang tersebar dari Aceh sampai Papua (halaman 31).

Para pemuda itu antara lain: Dimas Oky Nugroho, pendiri sekolah pemimpin muda Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP); Hotmatua Hamonangan Silalahi, pemuda yang aktif dalam berbagai program pengembangan komunitas; Muhammad Adam, pemuda yang saat ini bekerja di Kedutaan Besar Australia Jakarta; Edward Wimon Kocu, pemuda yang menyelesaikan studi S2 di FISIP UGM; dan Dina Dwi Rahayu, alumnus FISIP Universitas Brawijaya.

Masing-masing tokoh pemuda di atas mengungkapkan pemikirannya mengenai peranan pemuda yang dibutuhkan di masa kini, kecakapan yang harus dimiliki, serta bagaimana mengatasi permasalahan di bidang politik dan lainnya. Misalnya untuk mengatasi masalah intoleransi di negara kita yang heterogen, menurut Dina Dwi Rahayu, negara perlu belajar dari Desa Adat Ngadas--sebuah desa adat wilayah asli masyarakat suku Tengger. Di sana umat beragama Hindu, Budha, dan Islam hidup berdampingan, saling menghormati satu sama lain.

Tak hanya inspirasi dan motivasi dari buku bergenre non-fiksi, Sam Edy pun mengulas beberapa buku sastra. Salah satunya adalah ulasan berjudul "Kasih Sayang Ibu pada Anaknya" dari buku kumpulan puisi  anak berjudul "Siapa Mau Jadi Presiden?" karya Faiz ( Dar! Mizan, Maret 2018) di halaman 57. Abdurahman Faiz yang telah dikenal luas sebagai penulis berbakat, menyusun kalimat-kalimat yang  menyentuh hati; temanya pun beragam.

Salah satu puisi Faiz berjudul "Puisi Bunda"  menggambarkan tentang kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, ditulis dengan bahasa sederhana namun sarat makna. 'Bunda hanya sedikit mengarang puisi untukku. Tapi semakin lama kuamati, senyuman bunda adalah puisi, tatapan bunda adalah puisi, teguran bunda adalah puisi, belaian dan doanya adalah puisi cinta yang disampaikannya padaku tak putus-putus, bahkan bila kutidur'.

Tentunya masih banyak ulasan buku yang lain dalam buku ini. Anda tinggal menguliknya sendiri, untuk kemudian dijadikan bekal membeli buku bacaan yang tepat sesuai selera Anda. Di luar beberapa kesalahan ketik  di dalamnya, buku karya Sam Edy ini sungguh bermanfaat. (*)

Cilacap, 190219

Gita FU, pembaca buku kelahiran Pontianak 3 Desember 1981. Karya solonya adalah buku  kumpulan cerita anak 'Pekerjaan Rahasia' (JWriting Soul Publishing, Agustus 2018).

Sabtu, 03 Februari 2018

[Resensi] Kritik Sosial dalam Novel Klasik



(Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 29 Januari 2018)

Judul.            : Tiga Tahun
Penulis.         :  Anton Chekov
Penerjemah  : Sapardi Djoko Damono
Penerbit.        : Bentang
Cetakan.        : Pertama, September 2017
Tebal.              : Vi + 158 hlm
ISBN                : 978-602-291-426-6

Rusia pada tahun 1880-an, secara garis besar terdiri dari  kelas pedagang, kelas pemilik pabrik, dan kelas pekerja. Relasi antar manusianya terjalin begitu lugas dan tegas, menyesuaikan dari kelas mana seseorang  berasal. Anton Chekov, salah satu sastrawan terkemuka Rusia, dalam novel ini mengemukakan kritiknya atas ketimpangan yang terjadi dengan rapi dan mengesankan.

Seorang putra bungsu saudagar kaya Moskow Alexei Fyodorovich atau  biasa dipanggil Laptev, baru saja membangun rumah tangga dengan  Yulia Sergeyevna putri tunggal  dokter  pribadi  kakak perempuan Laptev. Bukan saja perbedaan usia yang menyulitkan mereka, tapi juga fakta tidak adanya rasa cinta dari Yulia pada Laptev.
"Setelah dua malam tinggal di rumah suaminya, Yulia Sergeyevna sudah menganggap pernikahannya sebagai suatu kekeliruan, suatu bencana, dan seandainya  dia diharuskan tinggal di kota selain Moskow maka dia tidak akan dapat menanggungnya." (Hal. 55).

Di luar perkara rumah tangga, Laptev  menghadapi keruwetan dalam membantu menangani usaha ayahnya. Sebelumnya ada kakak kedua dan dua orang kepercayaan sang ayah, sehingga Laptev enggan mengetahui urusan perdagangan. Namun malang, sang kakak mulai menunjukkan gejala sakit jiwa. Sedangkan ayah Laptev pun mulai sakit-sakitan. Pada titik inilah Laptev menyadari kesalahan sistem kerja yang bertahun-tahun diterapkan ayahnya (hal. 136).

Ayahnya tidak pernah transparan dalam masalah gaji. Hak dan kewajiban antara pekerja magang dan kerani tidak pernah diterangkan secara jelas. Begitu pula cara ayahnya  memperlakukan pekerja amat buruk dan kurang manusiawi (hal. 137).

Jalinan cerita yang saling kait-mengait antara Laptev, Yulia, keluarga, sahabat, serta para pekerja membuat novel ini kaya nuansa. Apalagi kisahnya ditutup dengan ending yang realistis. Didukung oleh penerjemahan yang baik membuat nyaris tidak ditemukan kekurangan signifikan, yang bisa memengaruhi kenikmatan membaca. Karenanya novel ini direkomendasikan bagi penikmat karya sastra klasik kelas dunia. (*)

Cilacap, 020118

[Resensi] Keberanian Guru Bereksperimen di Kelas



(Dimuat di Jateng Pos, Minggu 12 Nov'2017)

Judul Buku. : Inspiring Classroom Stories
Penulis.        : Niken Purwani
Penerbit       : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan       : I,  2017
Tebal            : 304 hlm
ISBN             : 978-602-394-718-8

Gaya penulisan buku ini menyerupai seri Chicken Soup for The Souls. Empat puluh cerita mewakili pengalaman  Niken saat  mengajar di beberapa tempat, baik sebagai guru Bahasa Inggris maupun guru BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing). Pembaca diajak menyelami mutiara hikmah dan inspirasi di balik setiap pengalaman tersebut. Ada yang mengharukan, ada pula yang menghibur, serta lebih banyak lagi yang mencerahkan wawasan pembaca.

Seorang guru sebaiknya berani bereksperimen dalam menyampaikan bahan ajarnya. Karena terkadang situasi kelas yang dihadapi kurang kondusif. Dalam  kisah 'Lempar Bola Perkenalan', Niken menghadapi tiga orang murid remaja yang berasal dari Australia. Tiga remaja itu terlihat bosan dan tidak berminat mengikuti kelas. Padahal Niken harus mengulang materi perkenalan untuk mereka. Dalam situasi tersebut berpikirlah sebuah ide di kepalanya, yakni mengajak mereka bermain lempar tangkap bola sembari berdialog. Akhirnya tujuan pengajarannya tercapai tanpa disadari tiga muridnya itu. "Mengajar adalah tentang kesabaran dan pantang menyerah terhadap suatu halangan. Jika kau merasa terdesak, bisa jadi akan muncul ide-ide brilian yang akan menghidupkan kelasmu!" (hal. 35).

Ketegasan adalah sikap yang perlu ditegakkan seorang guru, di hadapan murid-muridnya. Dengan sikap tegas, sang guru mengarahkan tujuan yang seharusnya dicapai oleh sang murid. Karena sering kali godaan untuk lalai dari koridor pembelajaran menyapa guru dan murid tersebut. Di suatu masa saat Niken mengajar kelas training bagi para sopir dump-truck di perusahaan pertambangan Kal-Tim, dia mengalami godaan menjurus pelecehan dari mereka. Alih-alih menerima pasrah, Niken memilih menegaskan posisinya sebagai guru. Bahkan mengancam melaporkan perbuatan mereka pada perusahaan agar mereka memperoleh sanksi. Apa yang dilakukannya kelak berbuah manis. Murid-muridnya berbalik segan dan menghormati Niken, sehingga tujuan pembelajaran mereka tercapai ( Siulan Itu, hal. 85).

Terkadang seorang murid yang bertalenta tinggi, tidak didukung oleh kemudahan situasi dan kondisi. Di sinilah peranan guru amat diperlukan, untuk mendukung, menyemangati, bahkan mencarikan jalan keluar yang diperlukan. Seperti kisah Yodida, salah seorang murid di SMAN1 Cilacap tempat Niken kini mengajar. Dia anak yang jago bahasa Inggris, berbakat di seni tari, namun berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah yang broken home. Saat Yodida mendapat beasiswa pertukaran pelajar ke luar negeri, dia terkendala biaya. Niken sebagai gurunya berinisiatif menghubungi ikatan alumni SMA 1 Cilacap, mencarikan jalan keluar. Pada akhirnya Yodida berhasil berangkat meraih impiannya ke Arizona (Bintang itu Bernama Yodida, hal. 124).

Di dalam buku ini Niken juga menyertakan ilustrasi metode yang dia pakai di kelas. Contoh:  realia  puzzle makanan guna membantu mengenalkan kosakata bahasa Inggris dasar untuk anak TK, dalam kisah 'Tya, Si Bola Bekel' (hal. 56). Atau papan permainan  Tic Tac Boom Game (hal. 42), yang dia gunakan saat memberi materi soal UN pada murid-murid SMA.
Paduan ilustrasi serta highlight yang dicantumkan untuk menggarisbawahi moral cerita pada masing-masing kisah, membantu pembaca memahami inspirasi yang terdapat di dalamnya. Pembaca dari kalangan umum pun akan mampu mencerna isi buku ini.

Sedikit kekurangan yang terdapat di dalam buku adalah kesalahan penempatan tanda baca. Misal ada dialog yang tidak ditutup dengan tanda petik penutup (hal. 229). Lalu adanya typo untuk nama tokoh yang seharusnya 'Pak Vincent' menjadi 'Pak Jeff' ( hal. 211). Namun demikian kekurangan tersebut tidak mengurangi manfaat yang bisa diambil dari buku ini. Tentunya buku ini direkomendasikan bagi siapa saja yang selalu ingin belajar. (*)

Cilacap, 241017

[Resensi] Antara Mimpi dan Realitas





(Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin, 27 Nov'2017)

Judul              : Dream, If ...
Penulis.          : Redy Kuswanto
Penerbit         : Diva Press
Cetakan.        : Pertama, November 2017
Tebal.             : 268 hlm
ISBN               : 978-602-391-467-8

Setiap orang boleh  bermimpi ingin sukses seperti sosok idola masing-masing. Namun patut dicamkan dalam benak, mimpi pun tetap harus melihat kenyataan. Jangan sampai ambisi yang berlebihan untuk mewujudkan impian tersebut malah merusak diri sendiri, atau bahkan merugikan orang sekitar. Pesan inilah yang ingin disampaikan oleh penulis dalam novel remaja ini.

Dikisahkan,  gadis SMA asal desa Baranangsiang--sebelah ujung tenggara kabupaten Subang--bernama Mimi Tarmiyah yang bermimpi menjadi artis. Dia mengidolakan Titin Tuminah Hona, artis pendatang baru yang juga berasal dari desa. Bedanya Titin memang memiliki modal berupa keindahan suara didukung kecantikan fisik dan hati, sebaliknya  Mimi hanya sok cantik dan 'over pede'. Mimi sangat berambisi menjadi seperti Titin, mulai dari meniru penampilan sang artis, hingga mencari jalan agar dapat terkenal (hal. 54).

Berawal dari acara jumpa penggemar dengan Titin, seorang pria yang mengaku sebagai agen artis mendatangi Mimi lalu menawarkan kesempatan menjadi terkenal. Mengabaikan peringatan dari pacar dan sahabat di sekolah bahkan ibunya sendiri, Mimi nekad pergi ke Jakarta bersama seorang cowok suruhan si agen tersebut (hal. 87). Kemudian dimulailah petualangannya di Jakarta dengan menggenggam asa menjadi artis top.

Di ibukota, Valdo sang agen serta Brian sang tangan kanan, tak serta merta mewujudkan janji mereka. Mimi diajak menemui produser yang ternyata meminta imbalan uang pelicin puluhan juta. Karena gelap mata, Mimi  menelepon ibunya dan memaksa wanita tersebut menjual tanah warisan almarhum suami. Namun  ibunya menolak (hal. 162). Tanpa sepengetahuan Mimi, rupanya Valdo dan Brian merancang strategi untuk menipu Mimi. Pada akhirnya mereka berniat menjual gadis desa tersebut pada lelaki hidung belang (hal. 212).
Sementara di desa, orang-orang yang peduli pada Mimi tak tinggal diam. Berbekal sepotong informasi terakhir dari Mimi, dua cowok teman sekelasnya menyusul ke Jakarta mencari Mimi. Mereka seolah berkejaran dengan waktu untuk menyelamatkan Mimi dari ancaman 'trafficking'. Pada akhirnya kisah ini bermuara pada kesadaran Mimi. Ternyata masih ada jalan menjadi terkenal, tanpa perlu menjadi orang lain.

Redy Kuswanto berhasil membalut pesan moral ini dalam bahasa yang renyah dan memikat pembaca dari awal hingga akhir. Kekurangan berupa salah ketik di beberapa tempat tidak terlalu mengganggu konsentrasi membaca. Novel ini direkomendasikan untuk kalangan remaja dan orang tua.(*)
Cilacap, 181117

Jumat, 13 Oktober 2017

[Resensi] Dunia Anak dalam Kacamata Sastra

Oleh : Gita Fetty Utami

Judul buku                : Kupu-Kupu Kematian
Penulis                       : Ade Ubaidil, dkk
Penerbit                     : UNSA Press
Cetakan Pertama     : Oktober 2016
Tebal buku                : vi + 194 hlm ; 13,5 cm x 20 cm
ISBN                           : 978-602-74393-2-0

Terlihat polos, ceria, berwarna-warni. Begitulah dunia anak-anak di mata orang dewasa pada umumnya. Namun tentu saja tidak selalu demikian.  Selalu ada sisi unik kehidupan yang hanya mampu dipindai mata anak-anak. Maka menuliskan cerita sastra dengan tokoh anak-anak, sama sekali berbeda dengan menulis cerita anak.

UNSA Press sebagai penyelenggara, memberikan tema tersebut untuk lomba cerita pilihan tahun 2016. Hasilnya adalah sebelas cerita terpilih  yang kaya nuansa, terhimpun dalam buku ini. Membacanya dapat membuat siapa pun kembali diingatkan masalah-masalah yang melingkupi anak di masa kini.

Fina Lanahdiana menuliskan cerpen berjudul Angkasa halaman 19-36. Menyaruk tema sains sebagai benang merah, ia mengungkapkan dengan amat mengesankan sudut pandang seorang bocah yang ingin tahu, tanpa mengotori psikisnya dengan masalah kanak-kanak. "Perpustakaan serupa tiba-tiba kosong dan buku di dalam rak-rak menjulang itu runtuh menimbun tubuhku. Seolah aku tengah berlayar di atas perahu, kemudian ada gelombang besar yang mengombang-ambingkan keseimbangan hingga aku jatuh dan tenggelam".

Cara pandang anak terkadang aneh, dan susah dicampuri orang dewasa. Hal ini bisa kita baca pada cerpen Insomnia halaman 47-57, karya seorang dokter muda Andaru Intan. Tari seorang bocah kelas satu SD, terpaksa hidup berdua ibunya setelah sang sang ayah meninggalkan mereka demi wanita lain. Sejak itu ia selalu merasa terganggu melihat benda-benda yang tak berpasangan. Sebuah cerpen yang meninggalkan kesan psikis mendalam.

Dongeng pengantar tidur selalu disukai sebagian besar anak-anak. Pun demikian halnya Maria. Akibatnya dunianya seolah terguncang ketika Mama sang pendongeng andal, dipanggil Yang Maha Kuasa. Ia menjadi uring-uringan dan mengeluarkan segala ancaman. Permintaannya hanyalah dongeng seperti yang biasa Mama ceritakan. Hal ini memaksa Papa bertindak agar Maria tak semakin terpuruk. Kisah yang ditulis oleh Ken Hanggara ini terdapat pada halaman 37-46 berjudul Singa Laut Pendongeng. "Suatu malam, dengan penuh keyakinan dan tekad menolong sang anak, Papa pergi ke kamar Maria dan memakai kostum singa laut. Kostum inilah yang akan menjadi obat bagi Maria".

Disfungsi keluarga dapat mempengaruhi benak anak. Seperti adanya ambisi berlebihan untuk membentuk keluarga sempurna, materi maupun immateri, tanpa mempertimbangkan penanganan yang tepat bagi psikis anak. Terlebih lagi bila si anak ternyata berkebutuhan khusus. Kita bisa menemukannya dalam cerpen Buku Gambar Imo karya Ken Hanggara, halaman 98-110.

Masih menyoal anak berkebutuhan khusus, cerpen Kupu-Kupu Kematian karya Ade Ubaidil (halaman 1-18), berbicara soal kekelaman yang dimiliki keluarga Anita. "Sekarang, ibunya sedang menggali tanah, di sebelah kuburan Lestari dan suaminya. Kupu-kupu yang semalam membangunkan Anita kembali bertandang; juga seekor kupu-kupu yang sewaktu pemakaman ayahnya juga muncul begitu saja. Dari arah timur, seekor kupu-kupu bersayap besar pun turut singgah. Kini ada tiga kupu-kupu, berputar di makam yang baru saja selesai digali, dan didiami penghuni baru".

Selain cerpen-cerpen tersebut di atas, masih ada lagi cerpen menarik lainnya: Bau Mayat, Istana Boneka, Sihir Meja Makan, Lembaran-Lembaran Doa Apak, Helminthophobia, Ibu dan Kue Kutu. Melalui sastra kita digiring memahami anak-anak dengan cara berbeda dan tidak selalu apa adanya.

Nyaris tidak ditemukan kekurangan dalam buku ini baik dari segi teknis maupun penulisan. Sungguh patut menjadi referensi bacaan bagi kalangan umum, yang tertarik memahami anak-anak dengan segala 'kegaiban dunianya'. (*)

Cilacap, 090117-0917

(Terbit di Harian Satelit Post edisi Minggu, 7 Oktober 2017

[Resensi] Merangkum Kenangan Kisah Supernova


Oleh: Gita Fetty Utami

Judul Buku     : Kepingan Supernova
Penulis           : Dee Lestari
Penerbit         : Bentang
Cetakan         : Pertama, April 2017
Tebal              : viii + 164 hlm
ISBN               : 978-602-291-270-5

"Cinta tidak membebaskan. Konsep itu memang utopis. Cinta itu tirani. Ia membelenggu. Menggiringnya ke lorong panjang pengorbanan" (hal. 35).

Dalam kurun waktu lima belas tahun, Dee Lestari telah menulis enam buah episode serial Supernova. Dimulai dari episode Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh pada 2001. Disusul Akar pada 2002, Petir pada 2004, Partikel pada 2012, Gelombang pada 2014, dan ditutup dengan Intelegensi Embun Pagi pada 2016. Kesemuanya itu tentulah meninggalkan kesan mendalam di hati para pembacanya.  Maka kehadiran buku ini bagaikan mesin waktu. Karena melalui sejumlah kutipan-kutipan kalimat yang dituliskan di dalamnya, pembaca diajak mengingat kembali  jalan cerita di tiap episode.

Di dalam episode awal: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, ada tokoh Diva yang misterius. Ia digambarkan sebagai karakter yang kontradiktif, cerdas, jelita, namun berjarak dari siapa pun. Semua karakternya tersebut terangkum dalam ucapannya, "Saya percaya setiap manusia dapat mewujudkan surga, neraka, berlaku seperti malaikat, dan menjadi iblis itu sendiri." (Hal. 56).

Pada episode Akar, ada tokoh Bodhi yang dilanda kebingungan akan identitas dirinya. Ia merasa dilahirkan berbeda dengan orang lain. Namun jawaban yang dicarinya melalui tokoh-tokoh lain seperti guru Liong atau Kell selalu membuahkan pertanyaan baru. "Semua pertanyaan dan keingintahuannya datang bersamaan dengan jawaban. Dan, jaraknya cuma setipis kulit bawang." (Hal. 72).

Riset yang mendalam selalu dilakukan Dee. Pembaca akan teringat perkara alam mimpi yang dibahas dari sisi ilmiah dalam episode Gelombang. Tokoh Alfa memiliki kekuatan mimpi, di mana hal tersebut berkaitan erat dengan identitasnya sebagai peretas mimpi. "Kekuatan alam bawah sadar jauh lebih besar daripada yang bisa manusia bayangkan. Mimpi adalah jalan cepat untuk memasuki dan mengenalnya." (Hal. 137).

Kutipan-kutipan kalimat yang puitis sekaligus reflektif, mampu membuat pembaca merenungi makna di sebaliknya. Didukung oleh layout yang cantik di mana terdapat bingkai simbol-simbol dari tiap episode sebagai penanda bab--dalam buku ini disebut sebagai kepingan, mendukung momen bernostalgia.

Sedikit kekurangan pada buku ini adalah adanya typo pada kata 'Hidup' tetapi tertulis 'Bidup' (hal. 55). Selain itu, bagi pembaca yang tidak mengikuti semua episode Supernova tentu akan dibuat bertanya-tanya. Namun sekalipun demikian isi buku ini tetap dapat dinikmati kalangan umum yang mencari referensi kumpulan kutipan puitis. Sebuah karya yang indah dari seorang Dee Lestari. (*)

Cilacap, 020917

(Terbit di Harian Kedaulatan Rakyat edisi Senin, 11 September 2017)

[Resensi] Kisah-kisah dari Dunia Remaja


Oleh : Gita Fetty Utami

Judul Buku                        : Menghimpun Butir Waktu dan Sehimpun Cerita Lainnya
Penulis                               : Pangerang P. Muda
Penerbit                             : LovRinz Publishing
ISBN                                   : 978-602-6652-26-3
Cetakan                             : I. Mei 2017
Tebal                                  : vi + 248 halaman

Dunia remaja ibarat saatnya peralihan musim, atau lazim disebut pancaroba. Karena di masa ini para remaja mengalami transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Namanya pancaroba, banyak gejolak yang terjadi; mulai dari pubertas, pencarian sosok idola, pemahaman akan identitas diri sendiri dalam menghadapi lingkungan, hingga penyaluran energi nan melimpah. Sungguh kompleks.

Di dalam buku berkaver hijau toska ini, sang penulis yang merupakan sosok senior dalam dunia literasi Indonesia, menghimpun cerita-cerita pendek khas remaja. Berisi delapan belas cerpen yang kesemuanya pernah diterbitkan di sebuah majalah remaja. Kita akan hanyut dalam setiap kisah, dikarenakan gaya penuturannya yang renyah, mengasyikkan, dan segar. Buku ini bukan hanya ditujukan untuk pembaca remaja, tapi juga mereka yang ingin mengenang kembali masa remajanya.

Apa jadinya jika sepasang saudara perempuan menyukai laki-laki yang sama? Biasanya salah satu akan mengalah. Seperti dalam cerita 'Selamat Datang Cinta', Ena jatuh suka pada kekasih kakaknya, Ela. Bagi siswi SMA tersebut, sosok cowok tersebut amat memukau dan menawan hati. Bahkan Ela pun mengakui hal tersebut dan ingin serius dengan pacar barunya itu. Padahal selama ini di kampusnya Ela terkenal sebagai tukang pelonco cowok (hal. 8). Namun ternyata cowok yang satu ini membawa kejutan bagi Ena dan Ela.

Persahabatan memang indah. Rasanya menyenangkan berbagi cerita sehari-hari dengan teman satu geng. Hal itulah yang melingkupi enam sekawan: Elita, Ismi, Asti, Syesil, Vivi, dan Hindun. Masalah muncul ketika Elita ditaksir lima cowok teman sekolah mereka. Elita merasa terganggu dengan segala perhatian berlebih tersebut, karena ia berprinsip hubungan asmara akan mengganggu kekompakan persahabatan. Maka dengan dibantu lima sahabatnya, Elita membuat permainan demi menolak pernyataan cinta dari para pengagumnya. Kisah penuh humor ini bisa dibaca pada 'Teka-Teki Cinta Elita' (hal. 66).

Kehidupan ini adakalanya menyimpan misteri yang bisa menimpa siapa saja, termasuk remaja. Pembaca bisa membaca kebingungan yang dialami Rijal, saat ia sedang berlibur di Donggala, tanah kelahirannya. Ia ditemui oleh seorang gadis asing yang mencari dirinya. Di sisi lain sahabat karib yang amat ingin ditemuinya ternyata telah meninggal dunia. Kenyataan tersebut amat memilukan hati Rijal. Dan di saat gadis asing tersebut kembali menemuinya, Rijal terhenyak oleh suatu kebenaran yang semakin membawa pada kesedihan (Tembang Lara Tanah Kelahiran, hal. 98).

Penulis juga menyisipkan pesan moral mengenai usaha pelestarian satwa langka, di dalam cerpen yang berjudul 'Anak Rusa Berbulu Emas'. Tokoh aku diajak oleh pamannya untuk berburu di hutan. Didorong oleh rasa tidak enak menolak ajakan sang Paman serta keinginan pamer pada pacarnya, membuat si aku memenuhi keinginan tersebut. Di dalam hutan belantara si aku dilepas berburu sendiri oleh sang Paman. Di tempat itu ia mengalami kejadian ganjil. "Tubuhku kurasa mendadak kaku. Mataku terus bersitatap dengan redup matanya. Saat berikutnya, aku kira masih dalam pengaruh takjubku sehingga aku kehilangan kewaspadaan, sehingga lalai memperhitungkan serangannya. Entahlah, apakah ia memang bermaksud menyerang: tubuhnya melesat ke arahku, sampai aku dibuat terpelanting oleh hantaman gerak tubuhnya. Aku terlempar dan merasa segera akan pingsan" (hal. 115).

Cinta dalam dunia remaja pun tak lepas dari bingkai keluarga. Syafa semenjak kecil sama sekali tak tahu riwayat orang tuanya. Itu karena neneknya selalu menutupi hal yang sebenarnya. Suatu hari ia melihat seorang pria paruh baya, membangun gubuk yang ia sebut istana di atas bukit yang agak menjorok ke pantai. Karena penasaran gadis remaja SMP itu pun mendekat lalu berkenalan dengan pria yang ternyata seorang pelukis. Betapa heran Syafa, karena pria tersebut mengetahui mamanya yang telah meninggal. Apalagi sikap keras Nenek saat melarang Syafa menemui pria tersebut, memantik rasa penasarannya. Siapakah pria bernama Om Bas itu? (Istana di Atas Bukit, hal. 148).

Hati seorang gadis remaja terkadang labil, menyikapi rumitnya hubungan kekeluargaan. Wiwit kini tinggal berdua dengan adik dan ibu tirinya, setelah kematian sang Papa. Mama kandungnya sendiri meninggal saat ia masih kecil. Prasangka buruk yang telah dikedepankan Wiwit sejak kali pertama Papa menikahi Ibu sebagai pengganti Mama, menyulitkan dirinya sendiri. Sehingga ia abai terhadap kasih sayang ibu tirinya itu. Ditambah kehadiran seorang mahasiswa baik hati dan penuh perhatian, malah memperkeruh sikap Wiwit terhadap Ibu. Benarkah Ibu akan melukai Wiwit? (Purnama Malam Ini, hal. 176).

Selain cerita-cerita di atas, masih banyak kisah lain yang tak kalah menariknya. Misalkan: Sandiwara di Hari Kamis, Misteri Cowok Berkumis, Tembang Padang Tulip, Wajah yang Hilang, Bunga-bunga Ayela, Menghimpun Butir Waktu, dan lain-lain. Kesemua kisah dituliskan secara runut, dan selalu menyimpan kejutan. Meskipun masih dijumpai beberapa salah ketik, namun tidak mengurangi kenikmatan membacanya. Buku ini layak dikoleksi kalangan penyuka cerita.(*)

Cilacap, 23 Juli 2017

(Terbit di Harian Satelit Post edisi Minggu, 13 Agustus 2017

Kamis, 12 Oktober 2017

[Resensi] Peliknya Dunia Hantu


Oleh: Gita  Fetty Utami

Judul                     : Museum Anomali
Penulis                  : Ken Hanggara
Penerbit                 : UNSA Press
Cetakan pertama  : September 2016
Tebal buku             : viii + 171 hal. , 13 cm x 19 cm
ISBN                        : 978-602-74393-1-3


Ken Hanggara, salah seorang penulis muda berbakat tanah air. Karya-karya pemuda kelahiran tahun 1991 ini telah terbit di berbagai media cetak dan online. Ia juga menulis skenario untuk FTV. Saking produktifnya, ia mendapat julukan sebagai pemilik pabrik cerpen di kepala.

Tentu menjadi amat menarik ketika pembaca diberi kesempatan menikmati sebagian karyanya yang bertebaran tersebut. Maka hadirlah buku ini yang memuat 17 cerita Ken Hanggara, dimana 12 diantaranya dalam status pernah terbit dan 5 cerita baru.

Dalam buku  ini ia mengupas dunia hantu. Dunia yang mengesankan kehororan yang membuat sebagian besar orang enggan membicarakan.
Namun bagi seorang penulis seperti Ken, hantu adalah objek yang memiliki kehidupan mirip manusia. Hantu bisa melakukan pembenaran diri atas tindakan merusak yang dilakukannya.

Misalnya dapat kita baca dalam cerpen "Para Perasuk" halaman 11-20. "Sejarahku kupahami; dari benih siapa aku lahir, bagaimana Ibu mati, dan kenapa aku dibenci orang. Raja tahu aku cucu yang dulu tidak jadi mati. Dan ia masih berkuasa saat itu, sampai tubuh remaja yang kubawa hilang oleh penculikan dan jiwaku terbang mencari tubuh lain, untuk kemudian menghabisi setiap orang yang membuatku susah". Si hantu merasa sah-sah saja merasuk ke dalam tubuh banyak manusia.

Kehadiran hantu pun tak melulu berwujud seperti manusia. Dalam cerpen "Kunjungan Seekor Kucing di Hari yang Aneh" halaman 61-69, seekor kucing tiba-tiba saja menyambangi kamar "aku".  "Aku merasa hawa aneh nenyelimuti kamarku, setelah menyadari bahwa tidak ada satu pun kunci yang rusak. Kamarku benar-benar tertutup, dan seekor kucing liar dapat masuk sembarangan. Bagaimana mungkin?" Menjelang akhir cerita tokoh "aku" akhirnya tahu bahwa si pemilik kucing adalah teman kantor yang ia benci. Lalu ketika ia berniat mengembalikan hewan tersebut, ia mendapat kejutan horor.

Cara Ken membawakan ceritanya terasa amat mengalir. Unsur-unsur  pembentuk cerpen ia ramu dengan baik. Walaupun mengisahkan dunia horor dengan gaya absurd sekali pun, pembaca tetap mampu mengikutinya.

Contoh keabsurdan itu bisa kita baca pada cerpen berjudul "Dilarang Mencuri di Alam Mimpi" halaman 21-29. Tokoh "aku" bermimpi melihat jurang yang bibirnya dirimbuni pohon aneh dengan langit berwarna ungu. Pohon-pohon itu berwajah dan bisa bicara laiknya manusia, dan mereka tak tahu cara membagi giliran, sehingga yang terjadi ialah ucapan saling tumpang tindih yang bikin kepala pusing. Dalam dunia yang aneh itu "aku" bertemu dengan dua matahari kembar bernama Je dan Ko, dan sebatang pohon kaktus bernama Po. Mereka memberi tahu "aku" yang skeptis, bahwa mereka terjebak  karena berani mencuri di alam mimpi.

Untuk memperkuat kesan horor, buku ini memiliki tampilan yang sekilas menipu pembaca. Awal mula membuka lembaran demi lembaran, saya mengira kualitas cetakannya rendah. Karena saya melihat huruf-huruf yang sedikit 'blur', terutama pada judul tiap cerita. Belum lagi munculnya noktah-noktah hitam di tiap halaman. Unik, sebagai bentuk penegasan identitas bahwa buku ini memuat kumpulan cerpen horor kontemporer. Beresiko, karena pembaca yang awam akan memandang sebelah mata.

Bagaimanapun, buku ini membawa angin segar dalam khasanah sastra kita. Ternyata yang horor pun bisa dikemas dengan menarik dan kekinian. Sementara bagi penikmat sastra, buku ini layak mendapat tempat di dalam koleksi pribadi Anda.

"Bagaimana? Anda tertarik? Ada satu slot untuk penjaga gerbang depan, tapi dengan syarat: jangan banyak tanya. Rahasia adalah rahasia. Kerja adalah kerja. Nyawa adalah nyawa". (*)



Cilacap, 071216

*****

[Resensi] Memutus Warisan Keburukan


Oleh: Gita Fetty Utami

Judul          : Menjadi Generasi Pemutus
Penulis       : Neny Suswati, dkk.
Penerbit      : Aura Publishing
Cetakan      : Pertama, Agustus 2016
Halaman     : viii + 205 halaman
ISBN            : 978-602-6238-35-1

"Jadilah generasi pemutus rantai kemalasan, keraguan, dan kelemahan. Agar generasi ke depan lebih baik dari sebelumnya" (halaman 1-2).

Demikianlah premis yang disampaikan oleh Neny Suswati, seorang penulis buku parenting asal Lampung.
Saat seseorang menjadi pemarah, penakut, penyabar, atau penyayang, bisa jadi dipengaruhi oleh pola asuh dari orang tua mereka. Buku ini memuat berbagai kisah nyata dari 29 orang penulis pada sebuah komunitas menulis online. Masing-masing menuangkan pengalaman sebagai anak yang membekas hingga dewasa, kala menerima perlakuan dari orangtua mereka.

Dalam kisah berjudul "Social Phobia" (hal 25), Mas Wib  menarasikan masa lalunya yang banyak mengalami pelecehan fisik dan mental. "Sekali lagi saya tak ingat, kapan menyadari situasi khusus ini, kekerasan fisik dan pencederaan mental yang terus berulang hingga duduk di bangku SMU, menjadikan saya menderita phobia ... social phobia. Tidak mudah untuk bergaul dengan sesama, ada kecemasan dan ketakutan berlebihan setiap kali harus terlibat interaksi atau komunikasi dengan seseorang."

Masalah pelecehan dari teman sekolah juga dialami seorang penulis lain. Dalam kisah Teh Enah "Jangan Jadi Pelari" (hal 36), diceritakan semasa SD dirinya telah terbiasa membantu ayahnya, sang juragan minyak tanah. Ketika hal itu diketahui teman-temannya, dia menjadi bahan olok-olok. Ejekan yang menjurus pelecehan psikis membuatnya ingin keluar dari sekolah. Namun ibunya malah memberi wejangan unik. "Masalah itu dihadapi, bukan dihindari. Jika kamu lari dari masalah, dia akan mengejarmu dengan masalah yang beranak pinak, semakin sulit, mengakar kuat hingga mengambil ketenangan batin. Masalah itu dihadapi, bukan ditinggalkan. Setakut apapun kamu menghadapi masalah, hadapi saja. Jangan lari!"

Ada kalanya cara orangtua memperlakukan anak perempuan bagai menimang porselen mahal. Tanpa sadar orang tua akan mengekang ruang gerak si anak, dengan berbagai alasan.
Perlakuan  ini malah memicu masalah psikologis dalam diri anak tersebut. Simak pada kisah berjudul "Anoreksia" karya Bunda Firdaus (hal 101). "Tubuhku semakin lama semakin kurus. Terakhir berat yang paling rendah adalah 29 kg dengan tinggi sekitar 145 m. Aku diajak ke psikiater. Awalnya aku menolak tetapi melihat ibu yang memohon akhirnya aku mau pergi. Di tempat psikiater, aku disuruh menggambar rumah. Setelah itu, ayah dan ibu berkonsultasi dengan psikiater."

Kekurangan dalam buku ini tentu saja ada. Terutama masalah typo yang terdapat pada beberapa kisah. Namun secara keseluruhan, tidak mengurangi kedalaman makna yang ingin disuguhkan pada pembaca. Buku ini layak Anda miliki.
**
Cilacap, 141016