Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label kontemplasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kontemplasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Mei 2020

Mudik Nggak, Ya?

Foto: Pixabay

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

🎶 Lebaran sebentar lagi 🎶

Hae hae hae, Sobatku. Lebaran memang sebentar lagi tiba. Kalian yang sedang di rantau, pasti ngerasa sedih ingat orangtua, dan keluarga. Ingin ketemu, ingin sungkeman, ingin melepas rindu. Percayalah, kalian nggak sendiri.

Musibah pandemi ini memang di luar dugaan siapa pun. Jika kita ikuti  berita di lini masa, maupun media elektronik mengenai perkembangan data penyebaran Covid-19, maka kita akan tahu bahwa kurva belum melandai.

Tak heran pemerintah--meskipun terkesan tumpang tindih dan menimbulkan reaksi negatif--mengeluarkan berbagai himbauan, dan larangan kepada rakyat. Yang terbaru adalah larangan mudik dan pulang kampung.

Kenapa ada larangan demikian? Karena dikhawatirkan para pemudik atau orang dari luar kota ini justru membawa virus covid-19 dalam tubuhnya,  lalu menularkannya di kota tujuan. Sehingga menimbulkan ledakan kasus baru. Oleh karena  itu masyarakat diminta bersabar demi kepentingan umum.

Demi menegakkan aturan yang berlaku hingga 31 Mei 2020 ini, didirikanlah posko-posko pengamanan pemudik (istilah lainnya "check point") di daerah perbatasan antar wilayah. Sanksi tegas berupa denda atau kurungan pun menanti mereka yang membandel.

Lah, umpama ada di antara Sobat yang orangtuanya meninggal dunia di daerah asal? Masa nggak boleh pulang? Emm, kalau saya tak salah baca, keadaan di atas termasuk kondisi khusus; asal membekali diri dengan surat keterangan yang ditentukan, maka Sobat boleh mudik.

Jadi secara umum, dalam hemat saya, jika kita tidak memiliki alasan yang mendesak maka lebih baik tak usah mudik lebaran ini. Kita bisa menggantinya dengan komunikasi via ponsel, bukan?

Semoga bermanfaat. (*)

Cilacap, 140520

#Day25
#BPNRamadan2020

Selasa, 12 Mei 2020

Harapan-harapan Baik untuk Ramadhan Mendatang


Foto: Pixabay


Assalamu'alaikum Wr. Wb


Semangat pagi, Sobat! Dalam situasi seburuk apa pun, mari tetap jaga harapan di dalam dada. Harapan yang baik mampu menjaga kewarasan kita. Bukankah ada pepatah berbahasa Inggris mengatakan, "Every cloud has a silver lining". Atau mengutip janji Allah yang sudah pasti, di dalam Al-Quran: sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Jadi, tak ada alasan berputus asa. 😊

Masih membahas tentang menjalani puasa  di tengah pandemi, saya ingin kita saling berbagi harapan baik, nih, Sobat. Kalau harapan-harapan saya sederhana saja:

1. Situasi  normal kembali

Ya, tanpa intaian wabah, hidup kita kembali normal. Tak ada pembatasan wilayah, kewajiban menjaga jarak, rasa aman kembali pada kita. Saya rasa ini pun menjadi harapan semua orang.

2. Bisa beribadah lagi secara berjamaah di masjid


Cukup sudah kita merasakan 'kesunyian' pada Ramadhan kali ini. Semoga tahun depan masjid-masjid kembali makmur oleh kegiatan ibadah. Mulai dari majelis ilmu, tadarus, shalat berjamaah, tempat singgah para musafir. Aamiin.

3. Perekonomian pulih


Semoga perekonomian rakyat kembali pulih seperti sediakala. Yang sempat kehilangan mata pencaharian, kembali bekerja secara normal. Yang dagang bisa jualan lagi dengan tenang; daya beli pun kembali baik.  Bagaimanapun perekonomian yang stabil, membawa ketenangan, keamanan, dan kesejahteraan bagi rakyat.

4. Kesehatan masyarakat terpelihara

Jangan lagi ada cerita, orang takut berobat karena ngeri disangka terpapar Corona. 🙁  

Semoga kejadian pandemi ini membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi dunia kesehatan kita.  Baik bagi petugas medis, maupun pengguna jasa medis.


Itulah beberapa harapan saya untuk masa mendatang. Apa harapan kalian? (*)


Cilacap, 10-110520


#Day21
#BPNRamadan2020

Hal-hal yang Patut Disyukuri dari Ramadhan Tahun Ini


Foto: Pixabay


Assalamu'alaikum Wr.Wb

Allah Mahakuasa, makhluk tak kuasa. Ungkapan ini kerap saya dengungkan dalam hati dalam menyikapi kondisi sekarang. Bagaimana tidak? Ramadhan tahun lalu tentu tak pernah terbersit di benak kita, bakal mengalami situasi yang berbeda 180 derajat.

Tahun lalu kita masih melaksanakan aneka ritual bulan puasa: tarawih berjamaah di masjid, buka bersama, ngabuburit, tadarusan, dengerin ceramah-ceramah. Belum lagi segala bebunyian mercon, kembang api, atau kentongan ronda sahur yang meningkahi hari-hari puasa.

Tetapi tahun ini kita tinggalkan semuanya. Beribadah dari rumah saja. Rasa semarak menyambut Ramadhan seolah hilang. Semua gara-gara pandemi. Begitulah kira-kira yang banyak di pikirkan orang-orang.

Benarkah?

Menurut saya, tidak juga. Rasa semarak di bulan Ramadhan ini masih ada. Hanya berpindah ke dalam rumah kita masing-masing. Kegiatan-kegiatan positif untuk mengisi bulan Ramadhan menjadi terpusat dari rumah. Kini lantunan ayat-ayat Al-Quran lebih kerap terdengar dari mulut anggota keluarga.  Para ayah mendapat kehormatan mengimami shalat tarawih. Bukankah itu indah?

Ya, di balik musibah yang menimpa, tetap Allah sediakan banyak kebaikan dan hikmah bagi manusia. Tetap ada hal-hal yang patut disyukuri. Misalkan saja:

1. Masih diberi umur dan iman untuk menjalani Ramadhan


Bagaimanapun kondisinya, Ramadhan tetaplah istimewa, datang hanya setahun sekali. Alhamdulillah saya dan keluarga masih diberi umur hingga detik ini. Kami masih diberi kesempatan meraih pahala, dan melarung dosa-dosa yang telah ditimbun sebelumnya.

2. Kesempatan meningkatkan amal harian yang selama ini terabaikan


Dengan banyak berdiam di rumah, malah terlihat sekali betapa bolongnya amalan saya selama ini. Saya jarang shalat sunah, tadarus Al-Quran sedikit, malas membaca buku-buku agama, jarang zikiran, dan lain-lain. 😫 
Maka inilah kesempatan besar bagi saya meningkatkan ibadah. Mumpung diberi "space" luas oleh Allah. Kapan lagi?

3. Merekatkan rasa kebersamaan dalam keluarga


Keluarga kita adalah inti dari masyarakat. Bagaimana kita menginginkan punya masyarakat yang 'sehat', jika hubungan antar anggota keluarga sendiri tengah 'sakit'? 

Kejadian pandemi ini membuat kita kembali berpaling pada keluarga. Ditambah suasana puasa, klop sudah. Kita disadarkan alias diingatkan lagi untuk membersamai keluarga.
Saya bersyukur diberi kesempatan macam ini.

4. Meningkatnya rasa kepedulian sosial di masyarakat


Jumlah orang-orang yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi covid-19 amatlah banyak. Luangkan waktu untuk melihat sekitar kita sendiri. Saya yakin kita akan mendapatinya.

Bersyukur kondisi ini justru memantik rasa kepedulian sosial, dari warga untuk warga, dari masyarakat untuk masyarakat. Kepedulian melahirkan kebaikan, lalu kebaikan pun menular. Pada akhirnya kita bergandengan tangan untuk menghadapi musibah.


Hal-hal tersebut di ataslah membuat saya optimis, kita akan baik-baik saja. Ramadhan tahun ini memang luar biasa. Bagaimana menurut kalian, Sobat? (*)


Cilacap, 09-110520


#Day20
#BPNRamadan2020

Selasa, 05 Mei 2020

Menjalankan Ibadah Puasa di Masa Pandemi



Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sobat, bulan Ramadhan tahun ini sungguh berbeda dengan biasanya. Kita dipaksa oleh keadaan, untuk menjalankannya secara "sunyi", dan sederhana.

Tidak ada keramaian, dan iklan-iklan konsumtif yang lazim membanjiri. Dalam hal ini justru bagus karena mendukung semangat atau esensi berpuasa itu sendiri, yakni mengendalikan hawa nafsu. Namun tidak ada tarawih berjamaah di masjid-masjid, kuliah subuh, maupun tadarusan Al Qur'an berkelompok? Alangkah ganjilnya....

Meskipun demikian, kita harus bisa menerimanya. Karena semua  ini sudah menjadi keputusan pemerintah, dengan rekomendasi fatwa ulama, agar wabah tidak semakin meluas. Jadi tidak ada alasan untuk mengabaikan anjuran pemerintah tersebut.

Menyitir nasihat Maulana Utsman Kakosi dari Mumbai, peristiwa langka berupa wabah virus yang membuat gerak kita terbatas ini, sebenarnya merupakan karunia Allah kepada kita. Ada hikmah yang luar biasa di baliknya.

Kita diberi kesempatan untuk menguatkan hubungan dengan-Nya, melakukan banyak amalan harian di rumah, memperbaiki dan meningkatkan kualitas hubungan dengan anak dan pasangan hidup kita.

Apalagi bertepatan dengan bulan Ramadhan, benar-benar sebuah kesempatan yang mungkin tidak akan terulang lagi.

Maka yang bisa kita lakukan untuk mengisi Ramdhan kita di masa pandemi ini, antara lain:

1. Memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Quran;

2. Melakukan zikir pagi dan zikir petang, dan memperbanyak zikir lainnya;

3. Melakukan tarawih berjamaah bersama keluarga;

4. Sediakan waktu khusus 10-15 menit untuk berdoa dan mengadu pada Allah;

5. Bekerja sama dengan pasangan kita, melakukan pekerjaan rumah tangga, mengajak anak-anak melakukan kegiatan di rumah;

6. Kurangi mengikuti perkembangan berita tentang virus. Agar hati kita tidak menjadi galau dan bertambah sedih;

7. Selalu yakin bahwa rezeki untuk kita ada, sudah diatur oleh Allah. Sehingga kita tidak berputus asa dan tetap melakukan usaha yang terbaik yang kita mampu;

8. Luangkan waktu melihat keadaan di sekitar rumah, saling menguatkan dan memberi perhatian pada tetangga yang barangkali sedang kesulitan.


Img. Pixabay

Semoga apa yang telah saya tulis dapat bermanfaat. Mudah-mudahan usai Ramadhan kelak kita bermetamorfosis menjadi manusia yang lebih indah. Seperti kupu-kupu yang menetas dari kepompong nya. (*)

Cilacap, 040520


#Day15
#BPNRamadhan2020

Minggu, 26 April 2020

Ketika Memberi Berpasangan dengan Menerima

Memberi dan Menerima| Pixabay

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sobat, pada fitrahnya manusia adalah makhluk yang penuh empati dan simpati. Hati manusia mudah tersentuh jika menyaksikan kenestapaan, ketidakberdayaan, atau  ketidakadilan yang dialami liyan. Secara alami manusia akan bereaksi, minimal dengan perubahan pada air mukanya.

Demikian pula di kondisi sekarang; di mana secara sosial, ekonomi,  kita sama-sama merasakan hajaran pandemi virus. Keprihatinan melihat kehidupan orang-orang yang lebih susah dari dirinya sendiri tetap timbul ke permukaan. Maka bermunculanlah usaha penggalangan bantuan, untuk diberikan pada mereka yang terdampak pageblug; orang-orang yang rentan ekonominya, dan mereka yang memang pantas dibantu supaya tetap berdiri tegak.

Belum terhitung perorangan yang berinisiatif bergerak sendiri, menyumbangkan apa saja yang ia bisa entah suplai nasi bungkus, atau sepaket bahan makanan pokok langsung pada tetangga kanan-kiri, misalkan.

Semua tindakan itu dilakukan atas dasar kemanusiaan.  Nilai utama yang menerabas sekat-sekat suku, agama, ras, dan antar golongan. Sesuatu yang masih menerbitkan rasa hangat dalam hati kita.

Pesan Lewat WhatsApp

Belum lama ini sebuah pesan WhatsApp dari Ibu Gurunya Hanna masuk ke grup kelas. Seperti biasa beliau memberikan rincian tugas dari sekolah untuk dikerjakan di rumah. Namun sekali itu ada tambahan lainnya. Kami selaku wali murid diharapkan ke sekolah pada hari Senin lusa, guna membayar komite bulanan (yang terpaksa tertunggak dua-tiga bulan akibat sekolah diliburkan), LKS tema 8, rapot bayangan, dan barang/uang sebagai sumbangan sukarela.

Poin terakhir itu menarik. Setelah beberapa penjelasan lebih lanjut dari beliau, rupa-rupanya pihak sekolah Hanna berinisiatif melakukan pengumpulan bantuan dari wali murid bagi keluarga yang terdampak perekonomiannya oleh si kopidnentin. Penggalangan bantuan bersifat tidak mengikat, alias sesuai kemampuan wali murid saja. Andaikata tidak ikut menyumbang pun tak mengapa. Para wali murid lainnya menanggapi positif.

Singkat cerita, pada hari yang ditentukan kami pergi ke sekolah. Tentu saja pihak sekolah mematuhi anjuran pemerintah. Wali murid tidak diperkenankan bergerombol, melainkan tertib satu per satu masuk ke ruangan. Tidak ada salaman. Pertemuan pun singkat saja. Dan paling utama, kami semua mengenakan masker.

Saya sempat memindai aneka barang sumbangan dari wali murid. Ada beras, mi instan, minyak, gula, masker. Ada pula yang menyumbang sejumlah uang. Usai keperluan dengan pihak sekolah, saya langsung pulang.

Keesokan harinya sumbangan itu didistribusikan kembali kepada sejumlah wali murid yang dipandang membutuhkannya. Lagi-lagi, gurunya Hanna mengirim pesan WhatsApp, tetapi kali ini langsung kepada penerima bantuan.

Sekali lagi, sejumlah wali murid tertentu, mengenakan masker mereka dan pergi ke sekolahan. (*)

Cilacap, 250420

#Day6
#BPNRamadan2020

Sabtu, 25 April 2020

Kepompong Ramadhan

Kepompong| Pixabay


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Alhamdullilah,  sebagai seorang muslim saya merasa amat bersyukur masih bisa berjumpa dengan Ramadhan tahun ini. Saya yakin rasa yang sama dialami oleh jutaan kaum muslimin di seluruh dunia. Bagaimana tidak? Di tengah himpitan ketidakmenentuan situasi pandemi, Ramadhan bak oase. Ada berlimpah kebaikan, pahala yang dijanjikan Allah SWT, bagi hamba-hamba-Nya yang mau. No matter what.

Iya, sih, memang banyak perbedaan suasana antara Ramadhan tahun sebelumnya dengan tahun ini. Coba yuk, kita list:

- Tidak ada tarawih berjamaah di masjid;
- No tadarusan bareng kayak biasanya;
- Nggak ada kultum-kultum bada isya atau subuh;
- Bukber bersama di luar rumah ditiadakan;
- Ngabuburit sepi;
- Nggak ada petasan banting dinyalakan.
Ada lagi yang kelewat? Sobat tambahin sendiri, yaa. 😄

Gara-gara si kopidnentin, sih! Pasti itu dalih kebanyakan orang. Namun coba kita merenung sebentar, Sobat. Kita lihat masalah ini dari sisi lain, masa nggak ada manfaat yang bisa diambil? Kan, katanya semua hal di dunia punya dua sisi berlawanan. Kalau ada sisi nyebelin, pasti ada sisi nyenengin juga.

Kalau menurut hemat saya, nih, ya, sekarang adalah waktunya kita memperbaiki kualitas diri sebagus mungkin. Loh, kok?

Mari ngaku, selama ini Ramadhan kita berjalan hanya di kulit luar saja bukan? Kita rame-rame ke masjid tarawihan, tadarusan, tiap hari ngabuburit, mengeluarkan lebih banyak duit demi takjilan di rumah, belanja ini-itu untuk persiapan lebaran (padahal puasanya aja baru mulai seperempat jalan). Habis itu tinggal capeknya yang terasa. Kita balik lagi ke habit sehari-hari, seolah Ramadhan nggak kasih pelajaran ruhani apa pun. Bener nggak, Sobat? Eh, maaf, mbak Gita aja kaleee yang kayak gitu. 😜 Hmm....

Maka seperti saya sebut di atas, justru Ramadhan tahun ini adalah kesempatan memperbaiki kualitas diri. Saatnya kita menjadi kepompong. Sebagaimana perjuangan seekor ulat yang ingin bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik, ia kudu rela tapa brata; membungkus dirinya dalam kepompong selama sekian hari, menahan diri dari nafsu. Hingga kelak pada masanya, dengan penuh kebanggaan ia keluar dari kepompong sebagai makhluk yang lebih indah.
Demikian pula harapannya bagi diri kita.

Kita perbagus kualitas ibadah di rumah Eratkan komunikasi dengan anak-anak, pasangan, atau orangtua. Ajak anggota keluarga kita mengisi waktu dengan amalan rumah, misal mengkaji buku-buku, menghapal Al Qur'an, shalat tarawih berjamaah, dll.  Saya teringat seorang teman yang mengunggah status terkait hal ini. Begini bunyinya:


Statusnya inspiratif, apalagi karena dia pun seorang ayah. 😁

Jadi bagaimana, Sobat? Jangan gabut lagi, ya. Menjadi kepompong Ramadhan? Kenapa tidak? (*)

Cilacap, 240420

#Day5
#BPN30DayRamadan2020

Kamis, 23 April 2020

Sudah Jatuh Masa Harus Ditimpa Tetangga Pula?

'All Against One. Pixabay

Assalamu'alaikum Wr Wb.

Sobat, tulisan saya ini masih melanjutkan topik seputar Covid-19, yaa.

Pernahkah kalian terpikir, ketika seseorang dinyatakan berstatus ODP (Orang Dalam Pengawasan), atau bahkan telah menjadi PDP (Pasien Dalam Pengawasan) akibat (diduga) terpapar Corona, apa yang terjadi terhadap keluarganya di rumah? Jika kalian ingin tahu, Sob, mereka dikucilkan warga sekitar. 😥

Ya, mereka dipandang sebagai pembawa wabah yang wajib dijauhi. Banyak juga yang menggunjing, menyalahkan status mereka, bahkan di tingkat ekstrim mereka menghadapi ancaman pengusiran dari rumah. Coba bayangkan sejenak; semenjak salah seorang anggota keluarga dinyatakan sebagai ODP/PDP, maka anggota keluarga lainnya wajib menjalani rapid test, lalu isolasi mandiri minimal 14 hari, otomatis kegiatan ekonominya terhenti, akibatnya stok pangan mereka pun nyaris nggak ada. Dalam kondisi begitu, mereka jelas butuh dibantu oleh lingkungan sekitar, bukan?

Bukan salah mereka sepenuhnya sehingga ikut terpapar virus. Lagipula belum tentu juga mereka positif terjangkit Corona. Mengapa warga mesti memberi sanksi sosial? Waspada boleh, panik jangan. Justru dukungan moril dan materil yang seharusnya warga sekitar berikan pada orang-orang ini.

Salah satu adik saya pernah mengalami baru-baru ini. Ceritanya, Adik nggak sengaja melakukan kontak fisik dengan orang yang mengalami gejala terkena Corona. Ketika orang yang sakit itu betulan menjadi PDP dan masuk ruang isolasi di Rumkit, Adik kena konsekuensinya. Atas sepengetahuan pihak RT-nya, adik saya menjalani isolasi mandiri di lantai dua rumahnya. Dia dilarang kontak fisik dengan anak-istrinya yang tinggal di lantai satu. Otomatis adik saya berhenti cari nafkah sementara waktu.

Nah, keluarganya memang kemudian mendapat bantuan sembako dari RT. Namun tetangga kanan-kiri menggunjingi, menyalahkan Adik, dan menganggap keluarganya seperti monster yang harus dijauhi. Jadi bukan dukungan moril yang mereka terima, melainkan beban pikiran dan perasaan. Akibatnya Adik dan istrinya malah bertengkar sendiri, lalai untuk saling menguatkan.

Syukurlah keadaan mereka kini berangsur normal kembali, setelah Adik selesai menjalani karantina mandiri, dan hasilnya negatif. Tapi yang pernah mereka alami pasti mengguratkan trauma.

Baca juga: Ini yang Dilakukan Warga Cilacap Jelang Ramadhan Tahun Ini

Pandemi Corona ini janganlah mengikis semangat persaudaraan, rasa peduli pada sesama, dan empati kita. Kepada siapa pun. Sobat setuju?(*)

Cilacap, 220420

#Day3
#BPNRamadanDay2020

Senin, 18 November 2019

Mastitis (Pernah) Menyerangku

Alat Pompa ASI biasa
Contoh Alat Pompa ASI. Dokpri


Oleh: Gita FU

Assalamu'alaikum. Semangat pagi, sobat kopidarigita!

Lama kita tak bersua, aku berdoa kalian semua dalam kondisi kesehatan yang terbaik. Mengingat kini kita tengah mengalami musim peralihan dari kemarau ke penghujan, kita wajib jaga kondisi tubuh biar nggak gampang sakit. Ya, kaaan? Aamiin.

Kali ini aku ingin bahas mastitis, terkait ceritaku bulan lalu soal eklamsia pasca persalinan Hanif. Kalo kalian belum baca, silakan cek di sini. Tapi sebelumnya, sudah tahukah kalian apa itu mastitis?

Kulansir dari situs alodokter.com, mastitis ialah pembengkakan pada jaringan payudara; terjadi pada ibu menyusui, sehingga mengakibatkan terhambatnya pemberian nutrisi pada bayi karena si ibu merasakan sakit pada payudaranya. Ditandai dengan:
  1. Payudara memar kemerahan.
  2. Sering terasa gatal di payudara.
  3. Payudara terasa perih saat menyusui.
  4. Terdapat benjolan menyakitkan di payudara.
  5. Ukuran salah satu payudara lebih besar karena pembengkakan.
  6. Puting mengeluarkan nanah.
  7. Sering merasa lelah.
  8. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di ketiak.
  9. Demam.
Infeksi pada payudara atau mastitis bisa disebabkan oleh beberapa hal. Berikut penyebab mastitis paling umum:
a. Infeksi bakteri
    Bakteri penyebab mastitis umumnya adalah Staphylococcus dan Streptococcus yang menginfeksi jaringan payudara melalui luka di puting maupun saluran air susu. Biasanya bakteri ini berasal dari mulut bayi dan permukaan kulit payudara.

b. Saluran aliran ASI yang tersumbat
    Penyumbatan yang dimaksud adalah ketika ASI yang tersisa mengendap di dalam saluran susu. Komplikasinya dapat berupa infeksi payudara

Selain kedua penyebab di atas, beberapa faktor berikut bisa meningkatkan risiko terjadinya mastitis:
  1. Luka pada puting payudara.
  2. Menyusui hanya dengan satu payudara.
  3. Memakai bra yang terlalu ketat.
  4. Kelelahan.
  5. Gizi kurang.
  6. Frekuensi menyusui yang tidak teratur.
  7. Pernah mengalami mastitis di masa lalu.
Bagaimana, sudah dapat gambaran ya, tentang apa itu mastitis. Kalau bahasa Jawa-nya lebih dikenal dengan istilah 'mrangkaki' yang bikin meriang. Benar-benar luaarr biasssaa enaknya! Dan aku pernah merasakan nikmatnya terkena mastitis itu. Kapan? Ketika terbaring di ranjang rumah sakit akibat terkena eklamsia. 😐

Ritual Baru: Memompa ASI


Bayi Hanif terpaksa diberi minum sufor selama terpisah dariku. Padahal produksi ASI-ku sedang lancar-lancarnya. Terus bagaimana, dong? Seorang perawat di ICU memberikan saran: perah ASI-nya lalu dibuang, memakai pemompa ASI. Mendapat saran itu, suamiku segera ke apotik membeli alat pompa ASI model klasik (seperti pada gambar di atas). Lantas di bawah pengarahan sang perawat, suamiku membantu memerah ASI, lalu menampungnya ke gelas plastik. Aku cuma bisa terdiam ketika ia melakukan hal itu. Karena untuk memerah sendiri aku belum sanggup, posisiku yang setengah rebahan plus selang infus di tangan kanan, betul-betul menghalangi gerakan.

Ketika aku melihat banyaknya ASI yang tertampung di gelas, dan membayangkan itu terpaksa dibuang, benar-benar membuat hatiku sedih. Ya, Rabb....

Jadi begitulah rutinitasku selama rawat inap. Setiap beberapa jam Pak suami akan mengingatkan bahkan membantuku untuk memompa ASI. Aku sungguh bersyukur atas ketelatenan suami. Jika tak ada dia, kemungkinan besar aku sudah menyerah. Karena proses memompa itu begitu membosankan dan melelahkan. Belum ditambah rasa nyeri akibat kateter, atau jarum infus yang tak sengaja tertarik. 😥

Bagaimana Mastitis Menyerangku


Waktu itu aku dilanda perasaan sedih, dan gulana. Aku ingat bayiku, serta Farhan dan Hanna di rumah. Aku juga merasa kasihan melihat wajah lelah dan kurang tidur suamiku. Belum lagi terbayang Simbah, adik-adik ipar, yang ikut kurepoti. Aih, pokoknya mellow. Dan perasaan negatif ini sungguh tak terbendung. Padahal tinggal dua hari lagi aku (katanya) akan diperbolehkan pulang dan rawat jalan. 

Perasaan negatif tersebut membuatku abai  memompa ASI, padahal sudah waktunya. Ndilalahnya, tak ada Pak suami yang biasanya mengingatkan. Kalau nggak salah ingat, dia sedang pulang menengok anak-anak. Maka terjadilah....

Tiba-tiba aku merasa kedinginan hingga menggigil dan meringkuk. Selimut kutarik menutupi seluruh tubuh, tapi tetap terasa dingin. Payudaraku mengeras, sakit sekali.  Alhamdulillah, tak lama kemudian suamiku masuk ke ruangan. Dia kaget melihat kondisiku. Apalagi setelah meraba dahiku yang panas. Bergegas dia memanggil perawat.

Mbak suster sigap memeriksa keadaanku. Lalu dia bertanya, "Ibu sudah memompa ASI?" Kujawab dengan gelengan. "Pantas! Ibu terkena mastitis ini!" Lalu mbak suster menerangkan pada kami, sambil menyuntikkan obat.

"Sudah saya kasih obat, Pak. Tapi nanti tetap dipompa ya, Bu, ASI-nya. Dikompres air hangat juga boleh, Pak. Biar cepat reda demamnya," saran mbak suster.

Tanpa menunggu lama, Pak suami segera mencari air panas ke ruang ICU. Dia ingat sewaktu aku dirawat 2 hari pertama, di kamar mandinya ada shower air panas. Berbekal 4 botol Aqua dia menampung air panas secukupnya. Setelah itu botol-botol itu dikompreskan ke punggung, dada, perut, dan telapak kaki. Alhamdulillah setelah beberapa waktu, suhu tubuhku normal kembali dan demamnya reda.

Kemudian sambil menahan nyeri, ASI-ku kembali dipompa. Pak suami sempat mengomeliku yang katanya 'nglalu'. "Ingat Hanif, Mi, jadi ayo semangat biar cepat sembuh," begitu katanya. Aku cuma bisa terdiam malu.

Syukurlah drama mastitis tersebut tak berlangsung lama, berkat kesigapan Pak suami dan tenaga medis di bangsal Mawar RSUD Cilacap. Aku tidak akan mampu membalas semua kebaikan yang telah mereka berikan. Biarlah itu menjadi urusan Allah yang Mahacinta. 

Demikianlah kisahku, semoga sobat kopidarigita bisa mengambil hikmah dan pelajarannya, yaa. Sampai jumpa di postingan berikutnya. Salam! (*)

Cilacap, 181119

#kontemplasi
#memoar


Rabu, 25 September 2019

Eklamsia, 2 Minggu Pasca Persalinan Hanif

papan informasi di Ruang ICU RSUD Cikacap. foto: dokpri



Assalamualaikum. Semangat pagi, Sobat semua!

Ada kalanya pengalaman yang tidak menyenangkan meninggalkan semacam trauma dalam benak kita. Wujud trauma itu bisa macam-macam, ada yang jadi parnoan--alias paranoid, ada yang jadi amnesia sementara, ada juga yang denial--alias sibuk menyangkal pengalaman itu, dan lain-lain. Sebenarnya mengatasinya itu 'mudah', yaitu dengan bercerita. Karena saat bercerita, sesungguhnya kita sedang mengurangi kengerian/ketakutan/kesedihan pribadi, supaya lebih ringan ditanggung. Iya, nggak?
Tapiiiii, bercerita pun butuh keberanian. *Ahelaah, jadi gimana, dong? Yaaaa, harus diberani-beraniin. Cari orang yang mampu menumbuhkan keberanian kita. Hehehe. Maaf, ya, sobat kalau aku mbulet. Aku kan bukan motivator. :p

Aku sendiri butuh waktu cukup lama untuk pikir-pikir sebelum menuliskan pengalaman ini di blog. Kalau cerita ke teman yang dipercaya sih, udah, ya. Dia juga sih yang ngedorong aku buat sharing. Katanya, siapa tahu pengalamanku bermanfaat buat orang lain.  *sigh. Saking lamanya mikir dan maju mundur, nggak terasa sudah lewat setahun. *Tepok jidat.
Jadiii, inilah dia pengalamanku setahun lalu. Semua berhubungan dengan kelahiran anak nomor tiga, si bontot Hanif. Disimak ya, Sobat!

Awal Mula

Kita mulai dari kisah persalinan Hanif.
Aku mulai rawat inap sejak Rabu, 5 September 2018. Sementara jadwal operasinya hari Kamis, 6 September 2018. Dokter kandungan yang menanganiku adalah Dr. Supadmi, Sp. Og. Beliau orang Sampang, Cilacap, masih tetangga desa dengan mbak Erin Cipta. Usia kandunganku 38 Minggu 4 hari, Alhamdulillah sudah pas menurut pemeriksaan dokter. Dan insyaallah dengan kelahiran si bontot ini maka jadi penutup kehamilan pula bagiku. Karena riwayat persalinanku by Cesar semua, maka 3 kali operasi adalah batas maksimalnya. Kondisiku akan kian menurun dibanding yang dulu. (Ini bakal terbukti kemudian).

Singkat kata, aku pulang membawa bayi Hanif pada tanggal 10 September 2018. Setelah di rumah drama baru sudah menunggu.
Punya bayi lagi tentu saja menguras fisik dan emosiku. Semua itu ditambah ada dua anak yang sedang pinter-pinternya bikin ngelus dada: Farhan kelas 6, Hanna baru TK. Masih bersyukur ada Mbah buyut uti yang meringankan pekerjaan rumah, dan suami yang kerjanya fleksibel sehingga bisa membantu, tapi tetap saja aku mengalami shock. Kurang tidur, ditambah spaneng, ditambah ini-itu akhirnya membuat kepalaku sakit.

Aku ingat, hari Rabu 19 September itu kepalaku mulai pening kayak mau pilek. Tapi masih kuabaikan. Eh, Kamisnya makin parah. Rasanya seperti dipalu kepalaku, sakiiit banget. Sempat mengira ini cuma masuk angin biasa, jadi saat suami istirahat pulang siangnya aku minta dikerokin. Setelah  itu dia berangkat jualan lagi. Tapi meski sudah dikerokin, tetap nggak ilang sakit kepalaku.  Malah semakin parah. Bersyukur sekali paksu pulang jualan  jam 5, karena biasanya habis magrib baru selesai. Si Mbah langsung melaporkan sakit kepalaku ini ke paksu. Tanpa ba-bi-bu dia langsung nurunin gerobak leker, terus ngajak aku ke klinik Pratama di jalan Krawang Sari. Anak-anak ditinggal semua sama Simbah. Duh, sepanjang perjalanan aku cuma bisa menelungkupkan muka ke punggung paksu.

Sampai di klinik aku antri sebentar, sekira seperempat jam. Tiba giliranku diperiksa, aku ceritakan sakit kepala hebat disertai pandangan memburam. Aku  juga bilang bahwa dua minggu sebelumnya operasi Caesar. Bu mantri menyuruhku baring di dipan, terus aku dikasih obat pereda  sakit via anal. Anehnya, sakit kepalaku makin menjadi-jadi. Tak lama aku seperti hilang kesadaran.

Sudah di Rumah Sakit

Aku siuman kala mendengar samar-samar percakapan orang-orang di sekelilingku. Lalu seperti ada yang memanggil-manggil namaku. Kala kubuka mata, rupanya itu suara paksu dan adik iparku Santi. Kemudian ada beberapa orang lagi, mereka tengah melepas jaketku. Spontan aku ingat bayi dan anak-anakku. Langsung kutanyakan pada Santi dan dijawab semua baik-baik saja, sudah ada yang bantu menangani di rumah, jadi aku tak usah khawatir. Lalu rasa sakit di kepalaku datang lagi. Selanjutnya aku kembali tak sadarkan diri.

Beberapa saat berlalu, aku sadar kembali. Kali ini suasana gelap. Rupanya aku sedang berada di dalam mobil ambulans didampingi paksu, yang tak henti-hentinya berzikir di telingaku sembari memanggil-manggil namaku. Katanya, "Kuat, ya, Mi. Insya Allah kamu kuat. Sabar ya, kamu mau ditolong. Kita mau ke ICU naik ambulans. Istighfar, Mi."
Aku hanya diam, lalu kembali tak sadar.

Ketika kembali siuman, aku sudah di atas ranjang ruang ICU. Ada selang oksigen di hidung, lalu alat entah apa menempel di dada, infus yang berbeda dari yang pernah terpasang saat aku operasi cesar, dan pemindai entah apa dijepitkan di ibu jariku; belum lagi kateter yang sudah terpasang, mengganggu gerakku. Suara-suara statis dan dengungan mesin semakin menambah perbedaan ruangan ICU dengan ruang rawat inap biasa. Aku bingung, kenapa kondisiku jadi begini. Sakit di kepalaku pun masih terasa kuat. Suamiku banyak tersenyum menenangkan sambil terus melantunkan  zikir. Aku kembali memejamkan mata.

Beberapa kali aku terbangun akibat sakit yang masih mendera. Suamiku sigap membantu membenarkan posisi bantal. Belakangan aku baru ngeh, bantal itu dibawakan oleh Aa', anak sulung Santi. Sempat pula suamiku bertanya, dari keluargaku siapa yang patut dikabari. Kujawab, lebih baik mengabari Agung terlebih dahulu. Aku khawatir reaksi orang tuaku jika diberi tahu kondisi saat itu; pasti panik, dan makan pikiran mereka. Setelah itu aku tertidur lagi.

Lewat tengah malam, kalau nggak salah jam 2 dini hari, barulah aku bisa mengobrol lebih enak Karena sakitku  mulai reda. Aku minta diceritakan apa yang telah terjadi. Paksu pun menjelaskan kejadian sejak di klinik. Setelah Bu mantri menyuruhku berbaring miring usai diberi obat, tiba-tiba aku mengalami kejang-kejang lalu koma di sana. Bu Mantri panik, buru-buru menyuruh paksu membawaku ke IGD. Suamiku berpikir dan bergerak cepat. Ia langsung menuju rumah salah satu pakliknya yang masih di sekitar klinik itu.

Ketika itu pakliknya--Lik Adman--beserta istri tengah menghadiri undangan pernikahan (untunglah masih di dekat-dekat klinik). Begitu paksu mendatangi dan meminta tolong, sontak beliau berdua bergegas menyiapkan mobil angkotnya  lalu menjemputku ke klinik. Sementara paksu buru-buru pulang ke rumah, memberitahu Simbah apa yang terjadi sekaligus meminta tolong Santi untuk ikut ke rumah sakit.

Aku dibawa ke IGD RSUD Cilacap. Di situ para perawat memberi pertolongan pertama, berupa suntikan lewat infus. Seperti kutulis di atas, aku sempat siuman dan mendengar suara Santi dan suami. Namun aku kembali kejang-kejang disusul jatuh koma. Hal tersebut membuat dokter memutuskan aku harus menginap di ICU. Ya Allah...


infus dan pemindai detak nadi di tangan saya

"Bagaimana dengan Hanif, Bi?" tanyaku lirih. Kasihan sekali bayiku. Padahal dia masih butuh ASI.

"Sudah nggak usah khawatir. Hanif dirumat Santi. Farhan dan Hanna sama Mbah uti," balas suamiku. "Yang penting kamu cepat sehat, ya."

"Tapi Hanif kan masih mimik ASI? Apa ASI-nya Az diperah terus kasih ke dia?"

"Nggak usah, Mi. Kata dokter ASI-mu mengandung obat. Udah nggak apa-apa, ya? Bayi kita minum sufor sementara ini." 

Duh, sedihnya aku. Terpisah dari si bayi seperti ini... Suamiku terus menenangkan dan menguatkan hatiku. Ia menyuruhku banyak zikir supaya tenang. 

"Memangnya Umi kenapa, Bi?" tanyaku lagi. 

"Kata dokter kamu kena eklamsia, Mi."

"Lha? Tapi kan Umi udah lewat 2 minggu dari persalinan, Bi!"

"Ya nggak tahu, Mi. Abi nggak tanya-tanya. Udahlah kamu istirahat lagi, ya?"

Aku diam. Ketika melirik jam dinding, baru ingat ini sudah amat larut. Suamiku pun perlu tidur, karena wajahnya terlihat sangat lelah. Akhirnya kuminta paksu tidur. Tubuhnya perlu dijaga kondisinya.

Mengenal Eklamsia 

Aku berusaha mencari tahu apa itu eklamsia dari perawat yang datang memeriksa. Singkatnya, eklamsia adalah kegawatdaruratan medis berupa kejang dan koma yang dialami bumil. 

Sobat mungkin pernah membaca atau mendengar atau melihat, bumil dengan riwayat darah tinggi atau kakinya bengkak dikategorikan kehamilan risiko tinggi. Karena memang itu ciri-ciri pre-eklamsia secara umum. Tapi pre-eklampsia nggak selalu diikuti kejang. Sedangkan yang kualami justru terjadi setelah melahirkan. Saat diperiksa kemarin di IGD, tensiku tinggi, 160/80-an. Itu terlalu tinggi buatku karena  biasanya aku hipotensi (tensi rendah).  Apa penyebab pastinya? Hingga sekarang belum diketahui secara pasti.

Oh, satu lagi. Penderita eklamsia pun dikenali lewat kadar protein yang tinggi di dalam urin-nya. Itulah sebabnya aku dipasangi kateter dan air seniku diperiksa secara berkala, demi memantau si protein yang nggak seharusnya ada di situ.

Mungkin itu pula penyebab aku dipantau ketat oleh tiga dokter spesialis: obgyn, saraf, penyakit dalam. Dua hari dua malam di ICU, dua hari dua malam berikutnya aku dipindahkan ke bangsal pengawasan kebidanan,  dan tiga hari sisanya kuhabiskan di ruang rawat inap biasa (bergabung dengan para bumil dan yang baru melahirkan). Untuk memastikan tak ada masalah di syaraf otak, aku pun sempat menjalani satu kali CT Scan.

Ada banyak kisah haru, senang, gembira, kualami selama mondok gara-gara eklamsia ini. Pinginnya sih kutulis terpisah, mungkin kapan-kapan, yaaa.
:)

Hikmah di balik Musibah

Hmm, yang jelas aku merasa masih diberi kesempatan kedua untuk membersamai keluarga. Kesempatan untuk melihat serta mengasuh anak-anak; menghargai arti kehidupan; memperbaharui ikatan kasih sayang dengan paksu, setelah melihat sendiri bagaimana ia berjuang untuk menjaga kami sekeluarga; dan memandang positif pada siapa pun. Sobat, orang-orang berhati emas itu banyak, lho, di sekitar kita. Kita cuma perlu membuka mata, hati, dan telinga saja buat mengetahui itu semua. Kalau boleh meminjam kalimat Dea Anugrah: 'Hidup ini begitu indah dan hanya itu yang kita punya'. Yes, it's true.
Alhamdulillah ala kulli hal.

Dan Salman Hanif Rosyid, kamu spesial, Nak.

Sampai di sini dulu cerita yang bisa aku bagikan, sobat. Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di postingan berikutnya. Insya Allah.

Ps: thanks Rain Fello, chat kita di messenger setahun lalu jadi modal tulisan ini. Thanks Aci 'Maitra Tara' untuk keberanian yang kamu tularkan. Thanks buat teman-teman di WAG Sastra Populer: Mbak Ajeng, mbak Lusi, Mbak Riku, mbak Arum, dan Mbak Rosi. Tak ketinggalan Makasih buat Arwen.

Selasa, 05 Maret 2019

Dia Farhan


Oleh: Gita FU


Ada saat di mana saya merasa ingin 'meletus' kala menghadapi si sulung, Farhan. Anak laki-laki yang tahun ini insyaallah berumur 12 tahun ini makin kerap menguji batas kesabaran saya.

Dimulai dari hal kecil semacam menjaga kebersihan dirinya sendiri, dia sering abai. Saya, suami atau Simbah sering menjadi sempritan agar dia ingat waktu, ya ibadah, ya makan, ya main, ya mandi. Belum lagi soal inisiatifnya membantu meringankan pekerjaan di rumah, harus dikomando berulang-ulang baru mau bergerak. Pun kepemimpinan terhadap adik-adiknya sering bikin geregetan, ini mana yang kakak mana yang adik, sih?

Di luar itu, dia juga makin berani melanggar aturan rumah. Saya nyaris frustasi soal ini. Entah bagaimana berulangkali ditegur, dimarahi dari level halus hingga keras, dia masih saja curi-curi kesempatan untuk melanggar. Contohnya main play station. Mengingat dia sudah kelas 6 dan dekat lagi ujian tentu saja kami selaku ortu wanti-wanti melarangnya ke tempat sewa PS. Tapi memang kuasa permainan dan lingkungan barangkali, ya, sehingga Farhan takluk.

Lama saya merenung perkara sulung kami ini, mengapa bisa begitu? Atau jangan-jangan selama ini kami sudah terlalu keras padanya? Terlalu besar menaruh harapan di pundaknya? Tapi bukankah sebagian besar orang tua pun demikian? Atau karena kami membandingkan Farhan dengan anak lain?

Lalu pagi tadi saya temukan sebuah nasihat yang menyentuh hati saya. Nasihat tentang anak pertama:



Sumber: ig @tipsmpasibayi

Ya Allah, betapa malunya  saya. Benarlah yang sering dinasihatkan Simbah, "Anak mbarep kuwe urip-uripan. Bisa urip be wis Alhamdulillah. Cobaane gede, selalune nggoda atine wong tuwane. Ning kudu bisa sabar." Intinya, hendaknya orang tua jangan terlalu keras pada anak sulung, karena dialah percobaan pertama kali. Sebagai orang tua harus bisa sabar menghadapinya.

Seketika kenangan sejak masa kehamilan hingga persalinan Farhan, muncul di ruang benak saya. Rasa bahagia yang muncul saat bisa memberinya ASI pertama di tengah sakit pasca operasi Caesar. Ingatan kala mengajarinya berjalan. Pikiran bahagia ketika menyuapi Farhan. Semuanya muncul ....

Momen bersama Farhan 


Seketika mata saya basah. Dia Farhan, anak pertama yang membuat saya menjadi ibu. I Love him now and then, no matter what. (*)

Cilacap, 050319