(Tayang di Harian Radar Banyumas edisi Minggu, 2 Agustus 2020)
Oleh: Gita FU
Malam merangkak naik, jalanan telah lengang, hanya sesekali suara gonggongan
terdengar di beberapa rumah penduduk yang memiara penjaga berkaki empat itu.
Sementara sang ratu malam kian cerlang di singgasananya. Entah mengapa suasana
purnama ini berbeda, seolah-olah ada teror tengah mengintai siapapun yang
berani menjejakkan kaki di luar pintu rumah masing-masing, tanpa
kecuali.
Bagi Soni malam ini adalah malam yang paling ingin dilompatinya. Sekujur
tubuhnya telah kuyup oleh keringat dingin sejak lepas isya tadi; bujang lapuk
ini tak tenang, tiduran salah, makanan apapun sulit ditelan, duduk-duduk
pun bagai ada bisul matang di pantatnya. Emaknya sampai berulang kali menawari
kerokan.
"Kayaknya kamu masuk angin, Son," ucap perempuan lanjut tersebut cemas. Ia
raba dahi anak semata wayangnya penuh kekhawatiran.
"Aku ndak apa-apa, Mak, ndak apa-apa. Cuman lagi mikirin orang yang belum
nyaur hutang ke aku," tepis Soni lembut. Ia tahu emaknya tak bisa menangkap
kebohongan yang barusan ia lafalkan.
Perempuan tua itu menatap prihatin pada Soni. "Makanya jangan terlalu baik
sama temanmu, Son. Kamu juga yang dibohongi seperti ini. Sudah ndak usah
terlalu dipusingkan, Emak yakin nanti pasti ada ganti rejeki yang lain," ucap
sang Emak berusaha menghibur. Soni hanya mengangguk dan tersenyum samar.
Ditatapnya lekat-lekat wajah wanita paling berjasa dalam hidupnya itu. Mereka
telah saling memiliki sejak lama sekali, tanpa kerabat lain. Bagaimana jika
terjadi apa-apa padanya? Dengan siapa emaknya akan bersandar kelak?
"Mak, kalau ada apa-apa sama aku, Emak tetap tinggal di sini, ya? Emak boleh
ajak si Narisa buat menemani," kata Soni bersungguh-sungguh.
"Eh, kamu ngomong apa? Ndak akan terjadi apa-apa, kamu belum kasih emakmu ini
menantu dan cucu, jadi jangan bicara aneh-aneh. Pamali!" Emak membalas dengan
nada tinggi dan kesal. Soni terdiam, ia lalu mencium tangan emaknya, pura-pura
tak mempedulikan rasa heran wanita tersebut.
"Sudah malam, istirahatlah, Mak."
Setelah memastikan Emak masuk ke kamar tidurnya, Soni melangkah ke kamar
kerjanya di sayap rumah, yang terpisah dari rumah utama. Ruangan ini berada di
antara pepohonan pisang dan pepaya di pekarangan rumahnya. Ia menyengaja
membuat kamar kerja ini, demi alasan khusus yang hanya diketahui oleh dirinya
sendiri. Bahkan Emak pun amat jarang masuk ke mari. Di luar angin kencang
datang berpusar, menabrak pohon-pohon miliknya. Soni makin menggeletar.
Soni duduk lemas di lantai, kedua tangannya menyangga kepala. Pikirannya
terasa berkabut. Agaknya inilah akhir untuknya: kalah oleh perjudian yang
dibuatnya sendiri. Lelaki tambun ini menerawang, mengilas balik perjalanan
hidupnya. Di suatu masa ketika belaian lembut tangan Emak masih sanggup
meredakan tangisannya, akibat diejek sebagai anak haram. Ketika ia masih bisa
bermain riang diiringi lagu dolanan bocah bersama Surti, Santi, dan Ning,
meskipun kerap diolok-olok sebagai banci oleh anak lelaki lainnya. Kala ia
masih bisa bungah menerima hadiah sepatu bekas dari anak majikan Emak. Soni
mengusap matanya.
Mendadak jendela kamar terbanting terbuka. Selarik asap masuk ke tengah
ruangan, mula-mula tipis, lalu menebal dan beralih rupa menjadi sosok seorang
wanita. Tubuhnya dibalut kemben dan kain, menonjolkan lekak-lekuk menggoda.
Kepalanya yang berambut panjang dan legam dihiasi semacam mahkota emas. Wanita
itu tersenyum dingin pada Soni, kebengisan memenuhi tatapannya.
"Kau tidak lupa malam ini purnama ketiga puluh bukan? Jadi ... mana tumbal
yang kuminta?" Soni maju lalu mencium lantai di hadapan si makhluk.
"Ampun Kanjeng Nini, sa-saya tak bisa," jawabnya lirih.
"Apa maksudmu?" Makhluk yang berjuluk Kanjeng Nini itu menyeringai buas.
Soni tak langsung menjawab. Lamat-lamat ia menghidu bau mayat membusuk di
sekitarnya. Hatinya menciut, ia nyaris ingin mengubah keputusan yang telah
dibuatnya. Ah, kini Soni benar-benar menyesal. Namun sudah tak ada jalan untuk
kembali.
**
Ingatannya kembali terbang ke malam celaka di hutan di punggung gunung Slamet
kala itu.
Setelah tersesat selama tiga hari akibat mengikuti petunjuk tak lengkap dari
Kirun, temannya, akhirnya Soni menemukan petilasan yang dimaksud: sebuah ceruk
pada sebatang pohon paling tua di sekitar situ. Ia segera melakukan ritual
pemujaan di depan tempat tersebut. Lewat tengah malam muncullah sang Danyang¹,
diterangi sorotan sinar bulan purnama.
"Terimalah persembahan saya, Gusti," sembah Soni takzim. Makhluk itu mengikik
panjang, bunyinya seolah datang dari kejauhan. Suasana hutan mendadak sepi
tanpa suara-suara binatang hutan yang sebelumnya ramai terdengar oleh Soni.
"Panggil aku Kanjeng Nini, manusia. Aku bisa memberimu kekayaan yang kau
idamkan selama ini," Kanjeng Nini berucap lembut. Senyumnya merekah selegit
madu hutan. Serentak Soni menyembah si makhluk dengan perasaan
membuncah.
"Tapi tidak gratis, manusia. Ada syaratnya," tukas sang Danyang. "Setiap tiga
purnama aku minta tumbal nyawa manusia. Apa kau sanggup?"
Soni menelan ludah. Ia sudah diberitahu perkara ini, tapi hatinya tetap merasa
tergetar mendengarnya langsung. Ia lalu teringat kemiskinan yang membuatnya
selalu tersisih dan tak dipandang banyak orang. Ia pun terbayang wajah emaknya
yang amat ingin ia bahagiakan di sisa usia. Lagipula jumlah manusia di dunia
ini sudah terlalu banyak, bukan? Apa salahnya dikurangi sedikit, ia nanti bisa
memilih dan memilah calon tumbalnya.
"Baik, Kanjeng Nini. Saya sanggup," tercetus juga persetujuan dari mulut Soni.
Di hadapannya si makhluk kembali tergelak, ia senang mendapatkan seorang
manusia bodoh lagi sebagai pengikut.
"Bagus! Satu lagi yang perlu kau camkan, kelak di tumbal kesepuluh aku mau
yang istimewa. Dan ingat! Jika kau langgar perjanjian ini, nyawamu jadi
milikku. Sekarang pulang dan nikmati kekayaanmu!"
"Terima kasih, Kanjeng Nini!" Soni girang, mengantuk-antukkan kepala ke tanah.
Kanjeng Nini kemudian lenyap, menyisakan aroma kembang setaman dan sejumput
kabut tipis. Selepas pertemuan manusia dan siluman tersebut, barulah para
binatang malam kembali mengunggah suara mereka, seolah ikut berlega hati. Tak
lama fajar pun terbit.
Itulah pangkal musabab perubahan nasib Soni. Setiap pagi, segepok uang
muncul dari balik bantalnya bagai disulap saja. Ia gunakan uang itu untuk
membuka aneka usaha, sehingga pertambahan kekayaannya tidak terlalu
menimbulkan pergunjingan. Selain itu ia pun membangun rumahnya jauh
lebih bagus dari semula. Soni benar-benar melaksanakan niatnya membuat
hidup emaknya lebih nyaman.
Ketika waktu mempersembahkan tumbal tiba, Soni memilih dari kalangan orang
gila, lalu gelandangan, selanjutnya seorang preman, berikutnya seorang pesaing
usaha, tak lupa ia pun mengorbankan sekaligus membalas dendam pada orang-orang
yang pernah menghina dirinya maupun emaknya. Para korban tersebut
sebelumnya ia beri sesuatu benda, entah makanan, entah barang berharga yang
telah diberi jampi. Mereka semua mati mendadak seakan-akan terkena serangan
jantung. Demikianlah, tanpa sadar Soni telah menjadi pembunuh demi
melanggengkan kekayaannya.
Hingga menjelang tumbal kesepuluh, Kanjeng Nini mendatanginya. Sang siluman
menginginkan tumbal istimewa. "Untuk purnama ketiga puluh kelak, aku mau kau
tumbalkan orangtuamu, hai manusia!"
Melompat mata Soni mendengarnya. Permintaan itu sungguh tak pernah
disangka-sangka. "Ke-kenapa begitu, Kanjeng?"
"Tiap sepuluh orang, kau harus semakin membuktikan pengabdianmu padaku. Dengan
begitu aku pun akan semakin royal padamu. Mengerti?" Seringai sang siluman
laknat. Soni gemetaran hingga tak sanggup menjawab.
"Jangan kecewakan aku!" Lalu siluman itu lenyap. Tinggallah pemujanya
terduduk lemas tanpa daya.
Mana mungkin ia tega mengorbankan Emak, satu-satunya orangtua yang ia miliki?
Demi apapun Soni tak akan menyakiti beliau yang telah banyak berkorban demi
dirinya, semenjak lahir hingga dewasa. Batin Soni berkecamuk.
**
Siluman itu menggereng keras. Kemurkaan mulai merayapi parasnya. "Cepaaat!
Mana tumbal yang kuminta?" Tiba-tiba taring panjang mencuat dari mulutnya. Bau
bangkai busuk semakin santer mengisi kamar Soni. Bersamaan dengan itu, wajah
dan tubuh Kanjeng Nini malih rupa menjadi raksasi buruk rupa; biji mata
mencelat, rambut kusut awut-awutan, kuku-kuku memanjang, kulit bergelambir dan
berlendir ....
Soni mengkerut menatapnya. Namun tekadnya sudah bulat. "A-ampun Kanjeng. Saya
tak bisa menumbalkan orangtua saya."
"Keparat! Jadi kau memilih mati!" pekik sang siluman.
Secepat kilat sepasang tangan busuk mengangkat tubuh Soni. Lalu kuku-kukunya
menembus dada Soni. Bunyi robekan kain, dan daging terdengar di udara. Darah
Soni muncrat, matanya nyalang tak berkedip, teriakannya tercekat di
tenggorokan. Tawa makhluk itu membahana. Tangannya terus merangsek mematahkan
rusuk Soni ... siap meraup pusat kehidupannya.
Di kamarnya, Emak terjaga tiba-tiba. Suatu lintasan firasat membuatnya panik
dan segera mencari anaknya. "Soni, Sini! Kamu di mana? Kamu belum tidur, ya?"
Ia terus mencari di penjuru rumah induk. Tak lama perempuan yang amat dicintai
oleh Soni ini teringat akan kamar kerja putranya. Ia pun menuju ke sana.
Sebelum nyawanya benjar-benar lepas, Soni terkenang tembang dolanan yang dulu
pernah ia nyanyikan bersama kawan-kawannya.
Cublak cublak suweng
Suwenge teng gelenter
Mambu kethundung gudel
Pak gempong lera-lere
Sapa ngguyu ndelekake
Sir sir pong dele kopong. (*)
Keterangan:
¹ Danyang : siluman penunggu suatu tempat yang wingit
²Cublak-Cublak Suweng adalah sebuah lagu tradisional yang mengiringi permainan
anak-anak. Merupakan salah satu cara Sunan Giri saat itu menyebarkan ajaran
Islam di tanah Jawa. Makna yang tersirat ialah: untuk mencari harta janganlah
menuruti hawa nafsu tetapi semuanya kembali ke hati nurani.
Cilacap, 200816-040320