Cari Blog Ini

Kamis, 20 Desember 2018

[Ragam] Taman Cantik di DPR



Oleh: Gita FU


DPR yang saya maksud adalah Daerah Pinggir Rel. Daerah ini pada umumnya merupakan area gersang dan kosong yang tidak menarik hati. Warga yang tinggal di dekatnya pun harus berhati-hati tidak boleh lengah karena kereta bisa melintas sewaktu-waktu. Itulah sebabnya daerah pinggir rel biasanya diberi semacam tanggul sebagai pembatas. Namun kesan itu patah saat kita melihat DPR di suatu RT yang masuk  wilayah kelurahan Tegalreja, kecamatan Cilacap Selatan ini. Tepatnya areal pinggir rel di belakang Jalan Perkutut Timur- Jalan Beo Timur.




Sejak kurang lebih setahun yang lalu, warga setempat berswadaya membangun konsep taman, yang mereka namai Taman Kampung KB. Aneka tanaman hias, lengkap dengan beberapa gazebo, bangku, serta ayunan untuk bermain, menjadi kesatuan  yang berpadu indah. Bahkan di beberapa titik terlihat kreasi dari bahan limbah plastik. Unik, dan cantik. Saat malam tiba, taman ini diterangi aneka lampu hias.



Warga setempat bergiliran merawat taman tersebut. Saat saya berkunjung kemarin sore (19/12), beberapa warga terlihat menyirami tanaman dengan selang air, serta memperbarui cat yang memudar pada ornamen bebatuan.

Keindahan taman ini tak pelak menjadi pusat perhatian pelintas maupun warga dari kelurahan tetangga, seperti saya. Cukup berjalan kaki dari rumah sekira 30 menit, saya dan anak-anak sampai di taman. Apalagi kalau sambil bawa bekal makanan, terasa sedang piknik jadinya. Murah, meriah, sehat, dan menyenangkan.



Kekurangannya adalah tidak tersedia tempat parkir. Dikarenakan sempitnya jalan aspal yang melewati area ini. Pinggir jalan langsung berbatasan dengan rumah warga, dan sebagian besar tidak punya pekarangan. Akibatnya  pengunjung taman yang membawa kendaraan roda dua, harus rela parkir cukup jauh, yaitu di ujung jalan masuk ke area DPR ini.

Bagaimana, tertarik berkunjung? (*)

Cilacap, 201218

Rabu, 19 Desember 2018

[Cernak] Rola Kena Batunya


Oleh: Gita FU

Di rumah Marsya, anak kelas empat sebuah SD di Banyumas, ada sebuah rak sepatu dari kayu. Semua sepatu, sandal, maupun selop milik Papa, Mama, dan Marsya, diletakkan dengan rapi di dalamnya. Ada satu rahasia yang tidak diketahui Mama, Papa, dan Marsya. Yaitu, setiap malam saat  penghuni rumah sudah tidur, semua alas kaki itu mengobrol! Ya, mereka bercakap-cakap seperti manusia.

"Aku tadi sore diajak mamanya Marsya mengunjungi toko tas, lho! Tokonya sejuk, lantainya mengkilap, dan harum!" celoteh Bali si selop bertali hitam.

"Kalau aku, seharian menemani papanya Marsya di kantor," balas Jo sepatu pantofel hitam.

"Senang ya, kita selalu bergantian diajak pergi Mama, Papa, dan Marsya!" Soli si sepatu bersol karet ikut menimpali obrolan. Mereka semua gembira. Bagi mereka, adalah suatu kebahagiaan bila dipakai oleh sang pemilik.  Itu tandanya  mereka berguna.

"Teman-teman, menurut kalian siapa yang paling cantik di antara aku dan Mela?" celetuk Rola, sandal ungu milik Marsya.

Teman-temannya terkejut. "Kenapa kamu bertanya begitu, Rola?"

"Huh! Tinggal bilang lebih cantik aku saja, susah amat!" Rola mendengus sombong.  Ya, tentu saja dari segi penampilan Rola lebih manis. Ada manik-manik serta hiasan bunga berwarna-warni pada talinya. Berbeda dengan Mela si sandal merah, yang polos tanpa hiasan. Teman-temannya saling lirik, kurang suka pada sikap Rola.

"Terus apa maumu, Rola?" Sera si selop cokelat menanggapi dengan gusar.

Si sandal ungu tertawa keras. "Aku mau kalian semua tahu, bahwa aku adalah sandal kesayangan Marsya. Aku yang selalu jadi pilihan utama untuk dipakai Marsya! Tidak seperti Mela. Dia itu sandal yang tidak berguna!"

"Rola! Omonganmu jahat sekali," ucap Mela sedih.

"Ya, benar. Kamu tak boleh bicara seperti itu, Rola!"

"Ayo, minta maaf sama Mela!"

"Untuk apa minta maaf? Kalian ingat-ingat saja yang terjadi selama ini," bantah Rola angkuh.

"Walau demikian, kamu tak berhak sombong," ucap Soli bijak. "Kita sama-sama alas kaki yang telah dipilih dari toko oleh pemilik kita dengan hati senang. Jadi kedudukan kita sama."

Namun Rola memang keras kepala. Dia tetap memandang rendah Mela. Suasana di dalam rak pun menjadi tidak menyenangkan. Mela yang menjadi rendah diri, ditenangkan oleh teman-temannya.

**

"Ma, Marsya jadi dijemput sama Tante Wina, kan?" tanya Marsya sepulang sekolah.

"Jadi, Sayang," senyum Mama.

"Asyik! Terimakasih ya, Ma, sudah mengijinkan Marsya ikut Tante."

"Iya, Sayang. Lagipula ini hari Sabtu, kamu nggak ada jadwal les," jawab Mama.

Tak berapa lama terdengar derum mobil memasuki halaman. Disusul suara-suara riang dari Denis dan Lala, para sepupu Marsya. Usai menyiapkan baju ganti dan perlengkapan lain ke dalam tas ransel, Marsya berpamitan pada Mama. Tak lupa dia kenakan pula sandal ungu favoritnya. Dia siap ikut berwisata bersama keluarga Tante Wina ke Purwokerto.

**

Malamnya keluarga Marsya berkumpul di ruang tengah. Marsya terlihat agak lelah. Dia sampai kembali di rumah menjelang magrib.

"Nah, Marsya. Bagaimana tadi di Baturraden?" tanya Papa.

"Wah, seru, Pa! Tadi Marsya mandi air panas di Pancuran Tiga. Dinding tebingnya tinggi dan terjal, lho! Benar-benar suasana hutan asli!"

"Kalian ke Pancuran Pitu tidak?" Mama ikut bertanya. Seingat Mama, letak Pancuran Pitu--atau Pancuran Tujuh-- itu di sebelah atas Pancuran Tiga. Di situ kadar belerangnya lebih tinggi.

"Kami memang naik ke atas lewat jalan mobil, Ma. Tapi Marsya nggak ikut jalan ke Pancuran Pitu. Marsya  tinggal di mobil."

"Lho, kenapa?" Papa dan Mama serempak bertanya.

"Marsya sedih, karena manik-manik di sandal ungu putus." Lalu Marsya menceritakan apa yang terjadi. Rupanya saat keluar dari area Pancuran Tiga, Marsya terpeleset dan jatuh terjerembab. Saat itulah hiasan di sandalnya terlepas.

"Kasihan... Tapi syukurlah kamu nggak kenapa-kenapa," ungkap Papa prihatin.
Marsya beranjak ke rak sepatu. Dia menunjukkan kondisi sandal ungunya pada papa dan mama.

"Nggak apa-apa, Sya. Walau hiasannya lepas, sandal ini masih bisa kamu pakai," hibur Mama. Marsya mengangguk pelan.

**

Setelah keluarga Marsya tidur, terdengar isakan  Rola di dalam rak sepatu. "Hiks hiks hiks, sekarang aku jadi jelek...."

"Huh! Itu namanya kamu kena kualat!" ketus Sera. Tangisan Rola semakin keras.

"Sudahlah, Sera. Jangan mengungkit peristiwa yang lalu," lerai Bali.
"Rola, meskipun hiasanmu hilang kamu tetap sandal yang masih berguna." Soli menasihati  lembut. Semua alas kaki mengangguk sepakat.

Rola terdiam mendengar nasihat itu. Diliriknya Mela yang telah dia ejek. Sekarang penampilan mereka sama, polos tanpa hiasan. Rola merasa malu.

"Rola, kamu nggak ingin bilang sesuatu pada Mela?" tegur Jo mengingatkan.

"Eh, i-iya... Mela, maukah kamu memaafkan aku?"

"Iya, Rola. Aku bersedia memaafkanmu," jawab Mela tenang.

Setelah Rola menyadari kesalahannya, suasana di dalam  rak sepatu kembali damai. Memang tak ada manfaatnya menyombongkan diri, hanya karena penampilan lebih bagus dari orang lain.(*)

Cilacap, 191218

(Ilustrasi: pinterest.id)

Selasa, 18 Desember 2018

(Memoar) Cinta Bersemi di Mading


Oleh: Gita FU


Purbalingga, tahun 1994

"Asyik!" Saking senangnya aku berjingkrak-jingkrak tanpa sadar.

"Apa, sih, Git? Heboh amat?" Vita menegur. Ikut penasaran, mata bulatnya menekuri isi mading.

"Hah? Klub drama?"

"Iya! Asyik, kan? Aku mau ikut!"

Tatapan 'ih-masa-nggak-banget-deh' ala Vita langsung menyorot. Aku terbahak, memaklumi ketidaksukaannya pada pelajaran bahasa dan sastra. 

"Sudah, yuk! Kita pulang sekarang. Si Fitri nungguin di gerbang, tuh!" Vita menarik lenganku.

"Eh, tunggu sebentar! Aku hapalin dulu jadwal klub!"

Selanjutnya setiap hari Rabu usai sekolah, aku ikut berkumpul di perpustakaan. Tak banyak yang mendaftar, hanya enam siswa;  dua anak kelas satu, dua anak kelas dua--termasuk aku, dan dua kakak kelas tiga. Namun Pak Rahman tak  berkecil hati. Beliau tetap bersemangat tinggi hingga kami tertular antusiasmenya. Kualitas itulah yang kusukai dari guru bahasa Indonesia kami ini. Selain berwawasan luas, beliau juga penuh dedikasi, serta mengemong pada kami. Minatku pada bahasa dan sastra tumbuh berkat beliau.

Suatu saat beliau meminta kami berakting berdasarkan secuplik naskah sederhana. Suasana yang digambarkan oleh naskah itu adalah obrolan  santai sore hari antara dua teman.

"Gita, postur tubuhmu masih terlalu kaku. Anis, cara berdialogmu terlalu lurus kurang intonasi. Coba sekarang giliran Septi dan Sugi." Pak Rahman menunjukkan kekurangan kami. Dua kakak kelas yang ditunjuk segera berakting.

"Nah, mari kita bandingkan," ucap Pak Rahman mengevaluasi. "Septi dan Sugi membawakan  adegan mengobrol dengan lebih rileks. Memang seperti itulah seharusnya. Beraktinglah  sewajar mungkin, bayangkan jika kamu sedang bercakap-cakap dengan temanmu. Mengerti, ya?" Kami mengangguk paham.

Kegiatan ekskul di klub drama   menjadi candu bagiku. Pak Rahman tak hanya mengajarkan seni peran, tapi juga pengayaan pelajaran bahasa Indonesia. Bergantian dengan Bu Makarti, guru bahasa Indonesia kelas tiga, kami diajarkan pula menulis cerita dan puisi. Hal-hal yang menjadi minatku sejak SD.

Selain itu aku pun jadi tahu bagaimana proses pemuatan karya di mading--majalah dinding. Siswa yang ingin mengirim karya--entah  puisi, artikel pengetahuan umum, maupun gambar--bisa memasukkan hasil karya itu ke kotak khusus. Kotak tersebut berupa kotak kayu dengan lubang seukuran amplop di atasnya. Isi kotak akan disortir setiap Sabtu siang, oleh pustakawan, dan dipantau guru bahasa serta guru kesenian. Karya yang terpilih ditayangkan tiap hari Senin hingga Sabtu. Karya yang dianggap tak layak adalah yang tidak rapi, atau bahasanya tidak sopan.

Animo para siswa cukup besar terhadap isi mading. Dan tentu saja, jika ada karya yang mengundang kehebohan hampir bisa dipastikan adalah puisi cinta. Seakan sudah jadi kesepakatan, puisi cinta adalah alat untuk menyatakan perasaan antar siswa secara terselubung. Ditandai adanya catatan kecil di bagian bawah: dari 'a' kepada 'b'.

"Vit, ini gambarmu, kan?" Fitri menjawil pipi Vita. Terlihat gambar seorang gadis berambut ikal yang ekspresif di lembar kertas HVS. Khas coretan tangannya yang berbakat, terlihat komikal, dengan bubuhan warna cat minyak yang semarak.

Wajah Vita berseri-seri. "Ahay! Gambarku wagu, ya?" Serentak kami menggeleng. Wagu--jelek atau janggal--jelas bukan kata yang tepat untuk hasil gambar yang terlihat hidup seperti itu. Tapi begitulah cara Vita merendah.

"Eh, Git. Ini bukannya puisi si Rudi?" Gantian Vita mencolek lenganku. Seketika sebutir tomat matang di pipiku.

"Eciee, ini kenapa bagian akhirnya ada tulisan 'buat G di 2B'?" Fitri tambah membuat dadaku berdebar tak karuan. Dua sahabatku ini meledek habis-habisan. Mereka tahu aku sedang jatuh hati pada cowok kelas 3 itu. Menurutku, gayanya cool  dan wajahnya menarik. Nilai plus lain, cowok itu suka menulis puisi. Jadi aku coba-coba mengiriminya puisi terlebih dahulu lewat mading. Tak kusangka dia mau membalasnya.

"Ih, sudah, dong! Coba baca puisinya. Isinya, kan, biasa saja. Nggak ada bilang suka-sukaan." Aku berusaha mengalihkan perhatian Fitri dan Vita. Untunglah bel tanda istirahat berakhir segera berdering, memutus pembahasan tentang Rudi dan puisi.

Sejak Rudi membalas puisiku, kami jadi sering bertukar sapa tiap bertemu. Ternyata dia  ramah, tak seperti persangkaanku semula. Hingga beberapa kali edisi mading kami masih saling berbalas puisi. Sungguh menyenangkan rasanya. Tapi aku harus puas sampai di situ saja.

"Gimana, sih? Kok, nggak berlanjut?" protes Vita dan Fitri berbarengan.

Aku nyaris tersedak es kelapa yang tengah kuminum. "Ya, nggak apa-apa, tho?"

Dua gadis itu bersungut-sungut. Mereka bilang aku aneh. Punya rasa suka tapi tak mau berlanjut, jadi pacar misalnya. Padahal kesempatan sudah terbuka. Lama-lama keki juga aku dipojokkan begitu oleh sahabat sendiri.

"Sudah, pokoknya aku nggak mau berlanjut. Enakan jadi teman aja. Titik! Awas kalo masih ngeledek aja, aku pergi, nih!" pungkasku. Vita dan Fitri saling bertukar pandangan, lalu tergelak.

"Woo, jengkel, nih!" sorak Fitri

"Ya udah, sama si Supri aja, Git!" Vita dengan seenaknya menyebut nama seorang adik kelas.

"Enak aja!"

Ah, andaikan dua sahabatku tahu. Sebetulnya ada alasan lain mengapa hubunganku dan Rudi tak beranjak dari sekadar teman. Suatu hari sepulang sekolah, aku melihat cowok itu berjalan bersama cewek dari SMP lain. Mereka  sangat akrab. Selain itu, ternyata Rudi seorang perokok. Aku pernah memergokinya di gerbang belakang sekolah saat hendak mengeluarkan sepeda. Jadi, dua fakta tersebut membuatku pilih mundur teratur. (*)

Cilacap, 250317-181218


(Ilustrasi: pinterest)