Cari Blog Ini
Rabu, 26 Desember 2018
[Review] Akibat Perjanjian Sesat
Oleh: Gita FU
Judul. : Rumah Sakit
Penulis : Ari Keling
Penerbit. : Laksana (Diva Press Grup)
Cetakan. : Pertama, 2018
Tebal. : 184 hlm
ISBN : 978-602-407-314-5
"Ketika mereka yang sudah lama mendiami, mulai menunjukkan eksistensi di tempat ini."
Tagline di atas merupakan premis dari novel horor ini. Sebuah gedung kuno peninggalan zaman Belanda sejak dahulu dinamai Rumah Sakit. Meski penampakan luarnya mengesankan keangkeran, hal tersebut tidak menjadi persoalan bagi masyarakat sekitar. Lagipula tak pernah terdengar cerita ganjil dari orang-orang yang pernah dirawat di situ. Hingga pada suatu Senin malam, rangkaian kejadian aneh dan tak masuk nalar terjadi di dalam gedung tersebut.
Reno, seorang pasien rawat inap, diteror oleh suara tanpa wujud sejak di ruangan IGD (hal. 18). Apalagi hanya dia seorang yang mendengar suara-suara itu. Lalu ketika dia sudah dipindahkan ke kamar perawatan, Reno diusik oleh seorang pasien Kakek tua yang berada di ranjang sebelah. Pasien itu muncul hanya ketika para suster telah meninggalkan ruangan (hal. 46). Anehnya, saat dia melaporkan keberadaan suara-suara dan pasien tua itu pada para suster, keadaan ruangannya kembali normal dan sepi.
Lain lagi dengan kejadian yang menimpa Laras, Monica, dan Rere, tiga orang suster jaga malam. Rere melihat penampakan lelaki berkulit hitam, tinggi besar di sudut depan kamar perawatan pasien. Lelaki itu terus-menerus menatap Rere. Sementara Laras melihat hantu nenek tua di dekat IGD. Kemudian mereka bertiga menyaksikan sebuah kursi roda yang bergerak sendiri seperti ada yang menumpanginya (hal. 65). Tentu saja ketiga suster itu ketakutan hebat.
Hal menyeramkan pun dialami seorang pengunjung bernama Reza. Saat hendak mengambil motornya di area parkir, dia tak menemukan kendaraan tersebut di tempat semula. Tiga petugas parkir yang membantunya pun tak menemukan motor tersebut di seluruh penjuru area parkir. Namun saat mereka kembali mencari di titik semula, tiba-tiba motor yang dicari telah berada di tempatnya. Tentu saja keheranan melanda mereka semua (hal. 94).
Bahkan sekelompok petugas kebersihan yang tengah berkumpul di ruangan Office Boy, tak luput dari gangguan. Mereka melihat sosok kuntilanak berbaju merah di ruangan mereka. Makhluk itu tertawa-tawa menyeramkan. "Tiba-tiba lampu menyala kembali. Bersamaan dengan itu mereka semua membelalakkan mata. Sebab, mereka melihat sesosok perempuan yang berdiri di atas meja dengan rambut panjang terurai sampai menyentuh lantai." (Hal. 107).
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak para korban gangguan hantu ini akhirnya memunculkan jawaban tak terduga. Rupanya ada sejarah gelap yang selama ini rapi disembunyikan para petinggi Rumah Sakit. Sebuah perjanjian dengan setan telah diikrarkan sejak lama. Ketika ada yang salah dalam pelaksanaannya, maka setan atau hantu tersebut berulah lagi dan menebar ketakutan.
Alur kisahnya sederhana. Cara penulis menarasikan keseraman di dalamnya ibarat adegan film. Semua tokoh mendapat porsi masing-masing. Sedikit bertele-tele menurut saya. Tapi kembali lagi pada selera pembaca. Pesan moral yang bisa diambil dari kisah horor ini ialah: manusia sebagai makhluk mulia, janganlah sudi diperbudak oleh setan apapun dalihnya. Karena lebih banyak kerugian daripada kebahagiannya.(*)
Cilacap, 251018
Labels:
Review

Senin, 24 Desember 2018
[Cerita Mini] Remah-remah Keju
Oleh: Gita FU
Hujan menderas. Belasan kali Gea menyibak korden jendela, memindai kemunculan Ayah di pelataran kompleks rumah kos ini. Sudah lewat satu jam dari azan ashar. Entah kemana perginya Ayah.
Gadis cilik sebelas tahun itu menekap perutnya, mencoba menghentikan genderang marching band di dalam sana. Makanan terakhir yang masuk adalah dua potong bakwan, berjam-jam lalu di kantin sekolahnya. Kini Gea bergulingan di kasur. Perih. Lapar.
Nyalang matanya mengukuri empat dinding kamarnya. Gea mengingat-ingat waktu. Rasanya sudah berabad-abad ia dan Ayah meninggali tempat ini. Kalau tak salah hitung, empat bulan ia terpisah dari Ibu dan dua adiknya. Benar, empat bulan.
Ah, kenapa sih, orang-orang dewasa itu begitu rumit? Kenapa mereka yang katanya lebih pintar, tak bisa memecahkan masalah? Gara-gara mereka, ia dan adik-adiknya dipaksa menerima kosakata baru: cerai. Cerai adalah berpisah; Ayah dan Ibu tak satu rumah lagi; ia dibawa pergi Ayah, sedangkan Rea dan Aga tinggal bersama Ibu. Menyebalkan! Gea mengusap matanya yang mendadak banjir.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Gea berderap membuka kuncinya, berharap itu Ayah yang datang.
"Gea, sendirian, ya?" Bukan, bukan Ayah. Itu Pak Isa tetangga sebelah kamar. "Ah, ini ada sedikit roti dan keju buat Gea dan Ayah. Dimakan, ya?"
Gea menerima bungkusan, "Terima kasih, Pak!" Untung Gea belum lupa kesopanan. Pak Isa tersenyum sebelum kembali ke kamarnya.
Duduk menghadap meja satu-satunya di kamar, Gea mengeluarkan isi bungkusan. Dahinya mengernyit, ada empat lembar roti tawar persegi, dan empat lembar ... Keju?
Ia tahu tentang keju dari iklan-iklan di televisi dan majalah. Konon keju dibuat dari susu, bergizi, dan lezat pula. Benarkah? Ia belum pernah melihat secara langsung. Jadi begini bentuknya? Tipis, persegi empat, berwarna kekuningan. Ia usap permukaan selembar keju. Lalu Gea mengendus-endus, mirip kucing membaui ikan. Seperti apa rasanya?
Gea mencuil salah satu ujungnya, membawanya ke mulut. Oh, asin! Dicuilnya lagi ujung yang lain, dan mengunyahnya. Eh, gurih!
Cuilan demi cuilan berubah menjadi suapan yang lebih besar. Terus kunyah, dan telan. Lidah Gea berdansa. Cacing-cacing di perutnya bersuka ria. Gea lupa menyisihkan bagian untuk Ayah. Yang ada hanya ia dan keju. Terus hingga tandas. Namun Gea masih mencari remahan, barangkali terjatuh di permukaan meja. Ia masih belum puas. Rasa keju itu membuatnya ketagihan.
Mendadak pintu dibuka seseorang. "Gea, Ayah pulang!" Wajah Ayah terlihat lelah. Rambut dan jaketnya basah. Ia menenteng bungkusan plastik di kedua tangannya.
"Maafkan Ayah yang pulang terlambat, ya, Nak. Tadi Ayah ada urusan penting. Ini Ayah bawa makanan," ucapan Ayah terputus, "kamu sedang apa, Nak?"
Gea mendongak, sesaat berhenti dari kesibukannya menjilati plastik pembungkus keju. "Ngg, Ayah? Ini Gea lagi makan keju. Enak banget! Tapi maaf, ya, bagian Ayah juga Gea makan. Habis Ayah lama, sih. Gea 'kan lapar!" Gadis cilik itu kembali pada kesibukannya.
Ayah termangu, sisa air hujan menetes ke pelipisnya. Dia baru sadar telah menelantarkan putrinya seharian ini. (*)
Cilacap, 241218
Labels:
Cerita Mini

Jumat, 21 Desember 2018
[Review] Ove, si Pria Hitam Putih
Oleh: Gita FU
"Ove memahami hal-hal yang bisa dilihat dan disentuhnya. Semen dan beton. Kaca dan baja. Perkakas. Hal-hal yang bisa dicari jawabannya. Dia memahami sudut tegak lurus dan manual instruksi yang jelas. Model dan gambar rakitan. Hal-hal yang bisa digambarkan di kertas.
Ove adalah lelaki hitam-putih." (Hal. 50)
Secara umum, pria seperti Ove bukanlah jenis orang populer yang ingin kita jadikan teman mengobrol akrab. Dia kaku, pemberang, dan sulit. Dia amat saklek pada aturan. Jika kamu melihat plang dilarang berkendara di atas 40 km/jam, ada kemungkinan kamu akan sedikit melanggarnya. Terutama saat sedang buru-buru. Tapi Ove tidak. Jika dia mempunyai kupon bertuliskan "50 krona 2 tanaman", besar kemungkinan dia siap adu mulut dengan penjaga gerai agar dia hanya membayar 25 krona saja karena hanya butuh satu tanaman. Seperti itu.
Ove sama sekali tidak menaruh simpati pada orang yang tidak bisa membetulkan papan lantainya sendiri, atau kasau rumah yang lepas. Karena dia selalu melakukan semua hal itu dengan amat baik. Ove juga tak bisa mengerti mengapa zaman sekarang orang tergila-gila pada mobil otomatis, berteknologi canggih, yang mengandalkan bantuan radar mundur untuk memundurkan mobil. Menurut Ove orang seperti bitu tak pantas punya SIM. Ove tak menyukai mobil buatan luar. Baginya Saab yang terbaik. Hanya Saab, sebelum diambil alih General Motor.
"Kau merindukan hal-hal teraneh ketika kehilangan seseorang. Hal-hal sepele. Senyuman. Cara perempuan itu berbalik ketika sedang tidur. Kau bahkan rindu mengecat ulang ruangan untuknya." (Hal. 76)
Dan Ove amat merindukan Sonja. Bahkan setelah 6 bulan kepergiannya, Ove masih berkeliling rumah setiap pagi, mengecek apakah Sonja menaikkan suhu radiator diam-diam. Bagi Ove, dia tidak hidup sebelum bertemu dan sesudah ditinggal Sonja. Karena dia memandang semua warna melalui Sonja, istrinya.
Sungguh novel ini berulang kali berhasil membuat saya tertawa dan menangis bergantian. Cara Fredrik Backman menarasikan kisah sang tokoh utama beserta tokoh-tokoh lainnya, amat membetot hati. Saya bersimpati pada dukacita dan kehilangan yang dirasakan Ove. Saya bisa mengerti kenapa dia ingin menyusul Sonja saja. Karena hidupnya tak sama tanpa wanita itu. Saya tersenyum-senyum bahkan tertawa sendiri ketika perlahan-lahan Ove ditarik keluar dari kesendiriannya oleh kehadiran tokoh lain. Sebut saja: Parvaneh, Patrick, dan dua anak mereka; Anders, Ilalang Pirang dan anjingnya; Jimmy si pemuda obesitas; Adrian si pelayan kafe; Mirsad si gay yang bertengkar dengan ayahnya; Anita dan Rune; Lena si jurnalis; pria berkemeja putih; dan jangan lupakan si kucing setengah botak.
Pada akhirnya Ove yang serba teratur dan taat aturan tak bisa tak peduli pada para tetangga yang melanggar aturan. Dia terlibat begitu saja dengan kehidupan orang lain. Uniknya, semua dia lakukan karena tak mau Sonja marah atau tak ingin ayahnya kecewa; keduanya orang-orang yang amat berpengaruh dalam hidup Ove.
Melalui novel ini saya bukan saja amat sangat terhibur, tetapi juga mendapat banyak perspektif baru tentang kehidupan dan kematian. "Sesuatu dalam diri seseorang akan hancur berkeping-keping jika dia harus menguburkan satu-satunya orang yang selalu memahaminya." (Hal. 426).
Kredit buat mbak Shabrina WS yang telah berbaik hati meminjamkan Ove, hingga saya bisa ikut berkenalan dengannya. Sungguh luar biasa. (*)
Cilacap, 211218
Keterangan foto:
1. Dok. Pribadi
2. Mobil Saab 9000, sumber Google.
Labels:
Review

Langganan:
Postingan (Atom)