Cari Blog Ini

Senin, 01 Juli 2019

Gramedia Cilacap yang Dirindukan

Logo Toko
Logo Toko Gramedia Cilacap. Foto: Lina Sophy

Pada hari Sabtu, 29 Juni 2019, saya dan teman-teman perwakilan Blogger Cilacap--mbak Lina Sophy, mbak Sukarni, mbak Betty, Mas Victor, dan Kak Ojo--diundang dalam acara pembukaan resmi toko Gramedia Cilacap. Saya pribadi merasa antusias. Maklumlah, sebelum ini kami warga Cilacap harus pergi ke kota tetangga jika ingin menyambangi toko ini. Dan itu lumayan jauh, Markonah! Makanya tak berlebihan rasanya kalau saya bilang toko Gramedia sudah lama dirindukan kehadirannya.

Nah, gerai di Cilacap ini merupakan gerai ke-118 dari seluruh cabang Gramedia yang berpusat di Jakarta ini. Kota Cilacap dipandang memiliki banyak potensi dari sisi ekonomi, pariwisata, dan pendidikan. Sehingga membuat pihak Gramedia tak ragu membuka tokonya di sini. Lokasi yang dipilih adalah ruko 2 lantai jalan Gatot Subroto no 49 C-D, diapit BTPN dan Aromania cafe and resto.

Selain itu pembukaan gerai juga sejalan dengan misi Gramedia; yaitu berperan dalam usaha mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa melalui penyebaran informasi dan pengetahuan. Atau lebih ringkasnya: memajukan literasi di Cilacap. 

Sebagai sebuah toko, Gramedia kini tak hanya menyediakan buku-buku baik fiksi dan non fiksi. Mereka juga menambah lini penjualan: alat-alat tulis, barang-barang TI, hingga tas dengan label privat. Kesemuanya merupakan barang berkualitas baik. 
"Kami menjual palu gada, 'apa lu mau gua ada'", ucap Bapak Guntoro selaku General Manager area Jateng dan DIY, dalam kata sambutannya.

Jajaran direksi PT Gramedia Asri Media dan tamu undangan. Foto: Victor


Bapak Supriyanto, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Cilacap. Foto: dokpri.



Bapak Supriyanto, kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Cilacap, dalam sambutannya menitipkan harapan semoga kehadiran Gramedia dapat menjadi daya ungkit bagi gerakan literasi di masyarakat saat ini.  Karena dari hasil survei minat baca masyarakat Infonesia masih diangka 0,05. Dan informasi literasi sebagian besar diakses dari berita elektronik yang tingkat kevalidan masih dipertanyakan. Kita tidak bisa menutup mata dari banyaknya berita hoaks dan karena itulah butuh media fisik seperti buku untuk dijadikan sumber informasi.

Sementara itu  puluhan bahkan ratusan orang datang berkerumun di lokasi. Pihak Gramedia sendiri rupanya menyiapkan kejutan; sebanyak 150 lembar voucher senilai Rp 100.000 dan Rp 50.000 dibagikan saat acara opening toko. Ditambah ratusan kupon Flash sale untuk empat item khusus, makin menambah kemeriahan suasana.

Antusiasme warga. Foto: dokpri.

Selain itu, untuk menyemarakkan acara, Gramedia Cilacap berkolaborasi dengan pelajar dan komunitas lokal. Yaitu: pawai kendaraan hias dari alun-alun Cilacap ke halaman toko, penampilan suara merdu oleh dua penyanyi belia dari Harmoni Musik, serta musikalisasi puisi oleh Nevvin dari Mengkaji Pustaka. Tak lupa pula penyerahan bantuan buku bacaan kepada Forum Literasi Cilacap, yang diterima oleh Bapak Supriyanto secara simbolis.








Dan akhirnya toko pun resmi dibuka. Jajaran rak-rak rapi serta karyawan toko yang ramah menyambut kedatangan pengunjung. Ada 2.204 koleksi buku baik fiksi maupun non fiksi, serta 2.164 item aneka stationaries dan barang-barang IT. Banyak, kan?

 Satu lagi yang sayang dilewatkan: aneka promo yang berlaku tanggal 29 Juni- 7 Juli 2019. Seperti hadiah voucher Rp 100.000 untuk 100 orang yang beruntung, hadiah langsung bagi yang berbelanja minimal Rp 250.000, diskon 30% bagi member My Value (aplikasi bisa diunduh di Google Play), dan diskon 10% bagi pengunjung yang membawa brosur opening Gramedia Cilacap.

Voucher saat opening.


Pojok kasir.


Rak-rak di lantai 1.

Antrian pembeli.

Rak-rak di lantai 2.


So, tunggu apalagi wahai warga Cilacap? Ayo, buruan ke Gramedia! Salam literasi dan salam inspirasi! (*)

Ki-ka: Kak Ojo, mbak Sukarni, mbak Betty, saya, mbak Lina, Mas Victor.


#GramediaBooks
#GramediaCilacap
#LiterasiCilacap

Senin, 22 April 2019

[Cermin] Kampanye




Oleh: Gita FU

"Besok ada kampanye di mana, No?" Tukijo menepuk bahu Pono yang bersandar terkantuk-kantuk. Dua lelaki ini adalah pedagang makanan keliling, yang tengah berteduh di gardu ronda.

Pono tak langsung menjawab, berusaha mengingat-ingat potongan informasi.
"Kalau tak salah si Diwan bilang di lapangan Semen, Jo. Ada pertunjukan dangdutnya juga."
Tukijo girang. "Wah, aku pasti kesana besok. Dari pagi, 'kan? Pasti ramai!"

"Ramai ya sudah pasti, Jo. Penontonnya 'kan, datang dari mana-mana," dengus Pono, "tapi apakah mereka bakal bikin dagangan  laris atau tidak, itu yang kita 'ndak tahu!"

"Jadi orang harus yakin, No! Cuma itu sumber kekuatan orang kecil macam kita ini!" sembur Tukijo.

"Ah, terserah kamu kalau mau sok-sokan yakin. Aku, sih, besok mending jualan keliling seperti biasa. Kapok aku jualan di tempat caleg kampanye!"

Pono teringat dua pengalamannya. Pertama ia berjualan di sebuah posko seorang caleg yang tengah menggelar pengajian; dagangan ciloknya laku tipis. Kedua di lapangan desa saat seorang caleg menggelar pasar murah; lagi-lagi dagangannya tak begitu laku.

"Ya, aku ikut prihatin dengan nasibmu saat itu, No. Tapi mana tahu besok
sebaliknya, kan?" hibur Tukijo.

"Aku tak mau untung-untungan lagi, Jo. Kamu tahu apa pendapatku tentang para caleg  itu? Seharusnya mereka  memperhatikan nasib pedagang kecil. Misalnya, memborong dagangan kita selama kampanye. Pasti kupilih yang begitu!" Pono terbahak sendiri. Tukijo hanya cengengesan.

**

"Pokoke joget! Pokoke joget! Pokoke joget! Serrr!"

Musik  membahana dari atas panggung. Penonton menyemut, berjoget dan bernyanyi. Sesekali yel-yel partai diserukan. Setelah penampilan si biduan seksi,  seorang pria  maju berorasi.  Pria itu sibuk meyakinkan orang-orang akan deretan  program kerjanya. Suaranya penuh tekad dan keyakinan.

Di bagian pinggir lapangan, Tukijo pun tak kalah sibuk. Laki-laki bertubuh tipis  ini sibuk melayani pengunjung, yang nyaris tak putus membeli es kelapa darinya. Mungkin mereka kecapaian terus bernyanyi dan berteriak dari tadi, pikir Tukijo. Ia teringat Pono, apa yang bakal dikatakan bakul cilok itu jika melihat dirinya  diserbu pembeli?

"Jangan lupa besok coblos nomor dan nama saya, bapak-ibu sekalian!"

Sang caleg  masih berorasi. Sedangkan Tukijo mulai berkemas. Dagangannya habis, ia mau pulang. Semoga besok rejekinya selancar sekarang, walau musim kampanye berlalu. (*)

Cilacap, 040419

Minggu, 07 April 2019

[Resensi] Anak Meniru Perilaku Buruk Orang Tua

Psycho-thriller Humaira Aziza
Kaver depan 

(Terbit di Harian Kabar Madura edisi Kamis, 4 April 2019)

Halaman Opini Harian Kabar Madura

Oleh: Gita FU

Judul Buku.     : Empty Faces Against the Wall
Penulis.            : Humaira Aziza
Penerbit.          : Hazerain Publisher
Cetakan.          : Pertama, 2018
Tebal                : 285 halaman
ISBN.                : 978-602-5684-96-8

Orang tua adalah guru pertama bagi anak, pelukis bagi jiwa yang masih polos tersebut. Sebab anak-anak belajar dengan cara meniru; baik sikap, cara bicara, emosi, hingga tingkah laku orang tua. Jika orang tua ingin anak-anaknya tumbuh baik dan sehat, berikan teladan yang bagus. Pesan itulah yang menurut saya, coba disampaikan oleh penulis novel remaja bergenre psikologi-thriller ini.

Novel yang mengambil lokasi di Amerika ini, tepatnya kota New York, memusatkan kisah pada 5 tokoh utama: Brianna Carpenter, Maura Velcones, Benjamin Saunders, Shelby dan Caleb Hutchinson. Bermula dari kecemburuan yang melanda Brianna, menyaksikan bagaimana pemuda yang ia cintai yaitu Benjamin, ternyata lebih memilih jadi kekasih Shelby. Pasangan Benjamin  dan Shelby adalah pasangan populer di Reagen's Highschool; Benjamin pemain futbol, Shelby gadis pemandu sorak. Sedangkan Brianna sendiri adalah gadis kutu buku cerdas, juara olimpiade sains.

Rasa cinta Brianna beralih rupa menjadi obsesi. Hal ini diketahui oleh Maura si pembawa masalah. Maura membujuk Brianna untuk menguntit Shelby. Dari situlah Brianna tahu tentang saudara kembar Shelby bernama Caleb, yang cacat kakinya dan selalu berkursi roda (hal. 23). Maura sendiri rupanya punya agenda tersembunyi. Ia ingin menghancurkan Shelby, yang dahulu pernah menyebabkan abangnya patah hati lalu bunuh diri.

Berkat rencana Maura, akhirnya Brianna punya kesempatan mendekati Benjamin. Sayang, perasaannya tidak berbalas. Karena Benjamin hanya menganggap Brianna sebagai gadis satu malam seperti gadis-gadis sebelumnya. Agar lepas dari Brianna, Benjamin membuat laporan palsu kepada polisi tentang Maura yang hendak mencelakai Brianna. Padahal itu hanyalah rencana pura-pura antara Maura dan Brianna. Maura pun ditahan karena Brianna memilih bungkam. Di luar dugaan, ayah Shelby dan Caleb menjadi penjamin hingga Maura bisa keluar dari tahanan. Rupanya bibi Maura adalah pembantu rumah tangga keluarga Hutchinson. Namun ayah Shelby mengajukan syarat: Maura harus bisa mendekatkan Brianna ke putranya, Caleb (hal. 65).

Masalah lain menimpa Brianna: ia hamil akibat hubungan intimnya dengan Benjamin. Didorong amarah dan kecewa mengetahui hal itu, Travis kakaknya menuntut tanggung jawab Benjamin. Kejadian itu berujung pada kecelakaan tragis yang merenggut nyawa pemuda itu. Ibu mereka begitu terpukul atas kematian putra sulungnya sehingga menyalahkan Brianna. Di sinilah kepribadian  gelap Brianna makin tersingkap,  karena ia tega mencelakakan ibunya di kamar mandi hingga tewas (hal. 89).

Satu persatu mozaik mengenai latar belakang keluarga para tokoh dimunculkan oleh penulis. Seperti si kembar Shelby dan Caleb Hutchinson, yang memiliki ayah seorang diktator, dan mendiang ibu yang bermasalah kejiwaannya. Benjamin Saunders, berasal dari keluarga broken home meskipun kaya raya. Maura Velcones, ternyata anak seorang psikopat sadis; ayahnya menculik, lalu membunuh dan memutilasi para korban di hadapan Maura dan saudara-saudaranya. Brianna sendiri  bukanlah anak kandung keluarga Carpenter. Sewaktu berumur 5 tahun, ibu kandungnya menyerahkan Brianna yang bernama lahir Jocelyne, pada keluarga Carpenter demi menyelamatkan jiwanya. Karena ayah biologisnya adalah psikopat sadis; ternyata Brianna adalah adik kandung Maura Velcones.

Memiliki orang tua yang bermasalah tentu saja mempengaruhi psikis para remaja itu. Mereka memiliki sifat masa bodoh, anti sosial, manipulatif, hingga tega mencelakai orang lain demi kepentingan diri sendiri. Bahkan secara genetik pun orang tua  yang sakit jiwa bisa menitiskan gangguan mental. Dalam hal ini Brianna contohnya, yang telah didiagnosa sejak kecil mengidap skizoaffectif.  Yaitu gangguan mental berupa delusi, halusinasi, dan perubahan suasana hati yang tiba-tiba (hal. 187).

Kelebihan penulis ialah pada kepiawaiannya menarasikan  emosi para tokoh utama. Saat Brianna mengalami delusi, pembaca seolah-olah menyaksikan sebuah adegan film. Penulis juga cukup cakap menggambarkan budaya  di Amerika.

Sayangnya di beberapa bagian cerita terdapat lubang logika. Ditambah terlalu banyak tokoh pendukung yang muncul di sepanjang cerita. Endingnya pun menurut saya terasa terburu-buru. Andaikata tebal novel ini lebih dari 300 halaman, mungkin porsi antara konflik utama dan pendamping akan seimbang.

Walaupun demikian pesan tentang pentingnya keharmonisan keluarga tetap tersampaikan. Sejumlah kasus kenakalan remaja yang digambarkan penulis pun  mampu menjadi bahan renungan usai membaca buku ini. Sebuah novel yang layak dibaca khalayak umum. (*)

Cilacap, 080319

Gita FU, pembaca buku kelahiran Pontianak 3 Desember 1981. Karya solonya adalah buku  kumpulan cerita anak 'Pekerjaan Rahasia' (JWriting Soul Publishing, Agustus 2018).