Cari Blog Ini

Selasa, 18 Desember 2018

(Memoar) Cinta Bersemi di Mading


Oleh: Gita FU


Purbalingga, tahun 1994

"Asyik!" Saking senangnya aku berjingkrak-jingkrak tanpa sadar.

"Apa, sih, Git? Heboh amat?" Vita menegur. Ikut penasaran, mata bulatnya menekuri isi mading.

"Hah? Klub drama?"

"Iya! Asyik, kan? Aku mau ikut!"

Tatapan 'ih-masa-nggak-banget-deh' ala Vita langsung menyorot. Aku terbahak, memaklumi ketidaksukaannya pada pelajaran bahasa dan sastra. 

"Sudah, yuk! Kita pulang sekarang. Si Fitri nungguin di gerbang, tuh!" Vita menarik lenganku.

"Eh, tunggu sebentar! Aku hapalin dulu jadwal klub!"

Selanjutnya setiap hari Rabu usai sekolah, aku ikut berkumpul di perpustakaan. Tak banyak yang mendaftar, hanya enam siswa;  dua anak kelas satu, dua anak kelas dua--termasuk aku, dan dua kakak kelas tiga. Namun Pak Rahman tak  berkecil hati. Beliau tetap bersemangat tinggi hingga kami tertular antusiasmenya. Kualitas itulah yang kusukai dari guru bahasa Indonesia kami ini. Selain berwawasan luas, beliau juga penuh dedikasi, serta mengemong pada kami. Minatku pada bahasa dan sastra tumbuh berkat beliau.

Suatu saat beliau meminta kami berakting berdasarkan secuplik naskah sederhana. Suasana yang digambarkan oleh naskah itu adalah obrolan  santai sore hari antara dua teman.

"Gita, postur tubuhmu masih terlalu kaku. Anis, cara berdialogmu terlalu lurus kurang intonasi. Coba sekarang giliran Septi dan Sugi." Pak Rahman menunjukkan kekurangan kami. Dua kakak kelas yang ditunjuk segera berakting.

"Nah, mari kita bandingkan," ucap Pak Rahman mengevaluasi. "Septi dan Sugi membawakan  adegan mengobrol dengan lebih rileks. Memang seperti itulah seharusnya. Beraktinglah  sewajar mungkin, bayangkan jika kamu sedang bercakap-cakap dengan temanmu. Mengerti, ya?" Kami mengangguk paham.

Kegiatan ekskul di klub drama   menjadi candu bagiku. Pak Rahman tak hanya mengajarkan seni peran, tapi juga pengayaan pelajaran bahasa Indonesia. Bergantian dengan Bu Makarti, guru bahasa Indonesia kelas tiga, kami diajarkan pula menulis cerita dan puisi. Hal-hal yang menjadi minatku sejak SD.

Selain itu aku pun jadi tahu bagaimana proses pemuatan karya di mading--majalah dinding. Siswa yang ingin mengirim karya--entah  puisi, artikel pengetahuan umum, maupun gambar--bisa memasukkan hasil karya itu ke kotak khusus. Kotak tersebut berupa kotak kayu dengan lubang seukuran amplop di atasnya. Isi kotak akan disortir setiap Sabtu siang, oleh pustakawan, dan dipantau guru bahasa serta guru kesenian. Karya yang terpilih ditayangkan tiap hari Senin hingga Sabtu. Karya yang dianggap tak layak adalah yang tidak rapi, atau bahasanya tidak sopan.

Animo para siswa cukup besar terhadap isi mading. Dan tentu saja, jika ada karya yang mengundang kehebohan hampir bisa dipastikan adalah puisi cinta. Seakan sudah jadi kesepakatan, puisi cinta adalah alat untuk menyatakan perasaan antar siswa secara terselubung. Ditandai adanya catatan kecil di bagian bawah: dari 'a' kepada 'b'.

"Vit, ini gambarmu, kan?" Fitri menjawil pipi Vita. Terlihat gambar seorang gadis berambut ikal yang ekspresif di lembar kertas HVS. Khas coretan tangannya yang berbakat, terlihat komikal, dengan bubuhan warna cat minyak yang semarak.

Wajah Vita berseri-seri. "Ahay! Gambarku wagu, ya?" Serentak kami menggeleng. Wagu--jelek atau janggal--jelas bukan kata yang tepat untuk hasil gambar yang terlihat hidup seperti itu. Tapi begitulah cara Vita merendah.

"Eh, Git. Ini bukannya puisi si Rudi?" Gantian Vita mencolek lenganku. Seketika sebutir tomat matang di pipiku.

"Eciee, ini kenapa bagian akhirnya ada tulisan 'buat G di 2B'?" Fitri tambah membuat dadaku berdebar tak karuan. Dua sahabatku ini meledek habis-habisan. Mereka tahu aku sedang jatuh hati pada cowok kelas 3 itu. Menurutku, gayanya cool  dan wajahnya menarik. Nilai plus lain, cowok itu suka menulis puisi. Jadi aku coba-coba mengiriminya puisi terlebih dahulu lewat mading. Tak kusangka dia mau membalasnya.

"Ih, sudah, dong! Coba baca puisinya. Isinya, kan, biasa saja. Nggak ada bilang suka-sukaan." Aku berusaha mengalihkan perhatian Fitri dan Vita. Untunglah bel tanda istirahat berakhir segera berdering, memutus pembahasan tentang Rudi dan puisi.

Sejak Rudi membalas puisiku, kami jadi sering bertukar sapa tiap bertemu. Ternyata dia  ramah, tak seperti persangkaanku semula. Hingga beberapa kali edisi mading kami masih saling berbalas puisi. Sungguh menyenangkan rasanya. Tapi aku harus puas sampai di situ saja.

"Gimana, sih? Kok, nggak berlanjut?" protes Vita dan Fitri berbarengan.

Aku nyaris tersedak es kelapa yang tengah kuminum. "Ya, nggak apa-apa, tho?"

Dua gadis itu bersungut-sungut. Mereka bilang aku aneh. Punya rasa suka tapi tak mau berlanjut, jadi pacar misalnya. Padahal kesempatan sudah terbuka. Lama-lama keki juga aku dipojokkan begitu oleh sahabat sendiri.

"Sudah, pokoknya aku nggak mau berlanjut. Enakan jadi teman aja. Titik! Awas kalo masih ngeledek aja, aku pergi, nih!" pungkasku. Vita dan Fitri saling bertukar pandangan, lalu tergelak.

"Woo, jengkel, nih!" sorak Fitri

"Ya udah, sama si Supri aja, Git!" Vita dengan seenaknya menyebut nama seorang adik kelas.

"Enak aja!"

Ah, andaikan dua sahabatku tahu. Sebetulnya ada alasan lain mengapa hubunganku dan Rudi tak beranjak dari sekadar teman. Suatu hari sepulang sekolah, aku melihat cowok itu berjalan bersama cewek dari SMP lain. Mereka  sangat akrab. Selain itu, ternyata Rudi seorang perokok. Aku pernah memergokinya di gerbang belakang sekolah saat hendak mengeluarkan sepeda. Jadi, dua fakta tersebut membuatku pilih mundur teratur. (*)

Cilacap, 250317-181218


(Ilustrasi: pinterest)

Senin, 17 Desember 2018

[Review] Keluhuran Budi Seorang Anak Yatim


Oleh : Gita FU

Judul Buku            : Mukena untuk Ibu
Penulis.                  : Prajawan, S.Pd
Penerbit                 : JWriting Soul Publishing
Cetakan.                 : Pertama, Agustus 2018
Halaman                : 95 hlm, 14x20 cm
ISBN.                       : 978-602-5918-60-5


Mengajarkan anak-anak untuk berempati pada sesama antara lain bisa dilakukan melalui cerita. Ya, cerita anak yang sarat nilai edukasi, tapi dengan bahasa ringan supaya mudah dicerna. Buku ini salah satunya, novel anak yang ditulis seorang guru di sela-sela kesibukan mengajarnya.

Dikisahkan seorang anak yatim kelas 6 SD bernama Bayu, hidup dalam kondisi serba kekurangan bersama ibunya. Ibu Bayu bekerja keras sebagai buruh cuci piring di sebuah rumah makan yang cukup terkenal. Bayu sendiri bekerja paruh waktu selepas pulang sekolah, sebagai pencetak batu bata di ladang tetangga. Sungguh pun demikian, kemiskinan tidak mengurangi nilai positif dalam diri Bayu. Dia dikenal sebagai juara kelas, bersifat santun, dan baik hatinya (hal.3).

Namun malang tak dapat ditolak. Akibat terlalu memaksakan diri, ibu Bayu jatuh sakit. Sakit keras yang dialaminya  membuat roda perekonomian makin tersendat, karena ibu Bayu mesti absen bekerja. Tentu saja hal ini mengusik Bayu.  Sebagai anak yang bertanggung jawab, Bayu tergerak menggantikan pekerjaan ibunya di rumah makan itu. Bagaimana reaksi ibu Bayu? Tentu saja beliau berkeberatan. Namun Bayu gigih meyakinkan ibunya, sehingga wanita tersebut mau juga mengijinkan. Setelah itu Bayu menghubungi sang pemilik rumah makan. Awalnya dia ditolak dengan alasan belum cukup umur. Syukurlah berkat rekomendasi salah satu pegawai, sang pemilik akhirnya menerima Bayu bekerja paruh waktu (hal. 29).

Pada dasarnya Bayu mudah menyesuaikan diri. Dia rajin dan ramah. Hal ini menjadikan Bayu disukai majikannya. Sayangnya, putri sang majikan yang bernama Devi justru memusuhi Bayu. Rupanya mereka sekelas. Di sekolah Bayu adalah juara kelas, sehingga Devi menyimpan dendam dan iri hati pada prestasinya.
Berbagai hal Devi lakukan untuk menyakiti Bayu di rumah makan ayahnya tersebut. Namun Bayu bertahan dan menahan diri.

"Bayu teringat pesan Ibu untuk selalu bersabar dalam menghadapi segala cobaan. Ia juga sudah mengira Devi akan berbuat semena-mena terhadapnya. Di sekolah Devi juga menggunakan segala cara untuk menjatuhkan prestasi Bayu." (Hal. 32).

Puncak balas dendamnya, Devi melakukan fitnah keji pada Bayu. Akibatnya Bayu diusir dari rumah makan. Akankah kali ini Bayu berhasil keluar dari kematangannya?

Alur cerita dalam novel ini lurus dan sedikit mirip sinetron  di layar televisi. Terutama di bagian konflik yang dialami Bayu. Mungkin hal ini disebabkan sasaran utama pembaca adalah anak-anak.  Pesan yang ingin disampaikan penulis antara lain kejujuran dan sikap pantang menyerah. Dengan bersikap jujur niscaya mendatangkan kemujuran, dan meskipun dalam kondisi kekurangan hendaklah kita tetap berjuang meraih prestasi. Di luar kekurangannya buku ini  layak dibaca,  khususnya bagi anak-anak sekolah dasar. (*)

Cilacap, 171218

Selasa, 11 Desember 2018

[Cernak] Kemenangan Palsu



Oleh: Gita FU

Sore ini Dida yang baru pulang dari rumah sakit, dikunjungi Doni teman sekelasnya. Sambil berbaring Dida mendengarkan cerita temannya itu.

"Wah, jadi sekarang sekolah kita sedang ramai ya, Don?"

"Tentu. Parade lomba-lomba saja berjalan seminggu penuh. Ada lomba  cerdas cermat antar kelas, cipta puisi dan cerita pendek, serta pidato. Belum lagi  lomba-lomba yang mirip acara tujuh belasan," celoteh Doni berapi-api. Lalu tangan kanannya mencomot biskuit cokelat dari stoples.

Dida termenung. Betapa inginnya dia segera masuk sekolah. Tanpa sadar tangan kirinya meraba perban di puncak kepala.

"Berapa lama lagi baru kamu bisa masuk, Da?" prihatin Doni.

"Hmm, kata ibuku paling cepat minggu depan. Aku masih harus periksa jahitan lagi," sahut Dida pelan. Kepalanya  belum lama ini dioperasi akibat kecelakaan tiga minggu lalu. Saat itu dia bersepeda sepulang sekolah, lalu ditabrak pengendara motor dari belakang.

Doni menepuk-nepuk bahu temannya. "Sabar, ya. Pasti kamu cepat pulih, kok."

Doni melihat ke jam dinding, sudah pukul lima. "Aku mau pamit dulu, Da," ucapnya. "Oh iya, bolehkah aku meminjam beberapa majalah anak-anak ini? Aku ingin mencari inspirasi untuk ikut lomba cipta puisi."

Dida menoleh pada rak berisi koleksi majalah miliknya. "Boleh saja. Asal ingat, jaga baik-baik majalahku, ya!"

"Siap!" Tak lama Doni pun berpamitan pada Dida dan ibunya. Tinggallah Dida seorang diri di kamarnya.  Dida tak sabar ingin masuk sekolah kembali.

***

Seminggu kemudian, Dida kembali ke sekolah. Bu Erna dan teman-temannya menyambut meriah. Dida merasa terharu sekaligus gembira atas perhatian mereka.

Saat jam istirahat tiba, Dida bertanya pada kawan-kawannya. "Hei, bagaimana perlombaan minggu lalu? Apa sudah ada pengumuman pemenang?"

"Tentu saja sudah! Kelas kita juara pertama lomba cerdas cermat, mengalahkan kelas 5A dan 5C! Dan Doni jadi juara satu cipta puisi, lho!" seru Tatang, dan Wawan.

"Syukurlah! Mana Doni? Aku ingin kasih selamat," tanya Dida.

"Paling ke kantin," jawab Dina.
"Omong-omong hasil karya juara cipta puisi dan cerita pendek, dipajang di Mading, Da."

"Wah,  aku mau lihat, ah!"

"Yuk, kuantar," sambut Dina.
Dida merasa ada yang aneh, usai membaca puisi berjudul 'Istana Paling Indah'. "I-ini puisinya Doni?" tanyanya pada Dina.

"Iya. Bagus, kan?"

Dida menggeleng bingung. "Entahlah, tapi rasanya..."

Tiba-tiba dari belakang Doni mengagetkan mereka. "Hai! Sedang membaca karyaku?"
Dida tersentak. Dia ingat sesuatu. "Eh, Doni. Emm, selamat, ya. Oh iya, bisakah kamu kembalikan majalah-majalahku sore ini?"

Mendadak  Doni  gugup. "Oh, majalahmu? Ngg, ya-ya. Nanti kalau sempat, ya. Sudah dulu, ya. Aku mau ke kelas!"

Dina heran, "Kenapa dia?"

Dida menarik Dina menepi ke dekat perpustakaan. "Aku mencurigai sesuatu, Din. Begini, puisi yang jadi juara itu aku yakin dijiplak dari salah satu majalah anak-anak!" Lalu Dida menceritakan soal beberapa majalah miliknya yang telah dipinjam Doni. Karena Dida gemar membaca, tentu saja dia masih hafal isi dari majalah-majalah kesukaannya itu.

Dina terbelalak kaget. "Begini saja,  nanti sepulang sekolah kamu menghadap Bu Erna saja, Da. Ceritakan semuanya. Selanjutnya biar Bu Erna yang memutuskan.  Bagaimana?"

Dida mengangguk setuju.  Tak lama terdengar bel masuk berbunyi.

***

Berkat laporan Dida, Bu Erna dan guru lainnya segera menyelidiki puisi milik Doni.  Doni  pun tak bisa mengelak lagi saat disodori barang bukti. Yaitu  puisi versi aslinya, di majalah anak-anak milik Dida. Pengumuman dari pihak sekolah menyusul dua hari kemudian, berupa pembatalan kemenangan Doni.

Bu Erna bicara di depan kelas 5B mengenai peristiwa tersebut. "Tahukah kalian, anak-anak? Menjiplak suatu karya cipta, sama dengan perbuatan mencuri. Dan mencuri adalah tindakan tercela yang dibenci Allah. Jujurlah kalian dalam berkarya. Tidak ada gunanya kemenangan yang palsu. Doni kemarilah. Mintalah maaf pada teman-teman sekelas yang telah kamu kecewakan."

Dida menatap Doni yang berdiri di samping Bu Erna. Sebenarnya dia kasihan pada temannya itu. Namun perbuatan salah tak boleh ditutupi atau dibela. Itulah pesan ibu dan ayah padanya. (*)

Cilacap, 280318

(Pernah dimuat di Harian Fajar Makassar)

Senin, 10 Desember 2018

[Review] Mengapresiasi Parodi dalam Puisi


Oleh: Gita FU

Judul        : Tuhan Tidak Tidur Atas Doa Hamba-Nya yang Begadang
Penulis.    : Maulidan Rahman Siregar
Cetakan.   : Pertama, 2018
Hlm           : x + 90
ISBN.         : 978-602-6506-85-6

"Aku mencintaimu, dan berpikir keras
bagaimana puisi menyelesaikan ini." (Hal. 3).

Seringkali saya mengerutkan dahi ketika membaca kebanyakan puisi. Mencoba memaknai apa yang dimaui sang penyair. Hal itu diakibatkan metafora alias bahasa kiasan tingkat tinggi yang kerap bertebaran di tubuh puisi. Dan katanya itu lumrah. Sebab puisi tak sama dengan cerita pendek. Puisi harus puitis, diksinya pilihan, ada kaidah yang (wajib) diikuti.
Setidaknya itu pelajaran yang saya dapat semasa sekolah. 

Kembali pada persoalan memahami bahasa puisi, dalam buku kumpulan puisi ini saya temukan perbedaan. Alih-alih berdiksi rumit, Maulidan malah menuliskan apa adanya, tanpa kehilangan watak puisi. Meskipun di beberapa tempat cenderung banal. Tema yang diambilnya pun cukup beragam. Mulai dari persoalan cinta, hingga aneka persoalan sosial.

Selain terkesan apa adanya dalam memilih kata, Maulidan pun kerap menggunakan peristiwa Kekinian sebagai pembanding. Sehingga pembaca dapat ikut memaknai pesannya. Misalnya  puisi berjudul 'Rindu Melulu' (hal. 38) ini:

Mencintaimu, kekasih,
lebih pedih dari cerpen
yang tokoh utamanya,
bunuh diri karena tak mampu beli rokok.

Mencintaimu, kekasih,
Lebih baik puisi, dari sajak segala pilu
Lebih sendiri dari malam pekat
Seringkali tak mampu tertulis
Keluar-berlari dari sajak-sajak ini.

 Mencintaimu bahkan
lebih ngilu dari goyangan biduan dangdut semok 
tak ada pilihan bagiku 
selain mabuk dan pulang. 

Hal menarik lainnya adalah unsur parodi pada sebagian besar puisi Maulidan. Dengan teknik interteks penulis menyandingkan puisinya dengan puisi Sapardi Djoko Damono. Misal puisi 'Maaf Sapardi' (hal. 14), di mana dia menukil bait terkenal dari puisi 'Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana', menjadi puisi cinta yang sama sekali berbeda.

Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan cerita yang tak sempat dikisahkan air kepada toilet yang menjadikannya mencret.
Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan mata pencopet yang tak sempat diceritakan Bayu kepada Slamet yang menjadikannya kepepet.

Mencintaimu bukan soal bagaimana cara bertahan,
Mencintaimu adalah seberapa kuat merawat kehilangan.

Tentunya masih banyak judul lain dalam kumpulan puisi ini yang layak diapresiasi. Maulidan sebagai penyair muda asal Padang telah ikut memberi warna dalam ranah sastra kita.(*)

Cilacap, 101218








Jumat, 07 Desember 2018

[Review] Kisah yang Membuatmu Makin Percaya Tuhan

Oleh: Gita FU

Saya yakin sudah banyak ulasan mengenai novel fenomenal ini di internet. Karena itu saya tidak akan mengulas plot, kelebihan atau kekurangan cerita seperti biasanya.
Lalu apa yang mau saya angkat dari novel ini? Jawabannya: ide tentang kesadaran adanya kuasa Tuhan dalam medium apapun.

Begini, dalam hidup kita pasti ada yang namanya titik rendah. Yaitu semua sikap negatif saat menghadapi problematika kehidupan. Bahkan mungkin yang paling buruk ialah mempertanyakan di mana Tuhan saat saya butuh? Begitu, bukan? Nah, bagian terpanjang dari kisah Pi Patel ini ada pada bagian itu. Titik terendah hadir dalam bentuk dia kehilangan seluruh anggota keluarga, tercabut dari rumah, lalu terombang-ambing di tengah samudera Pasifik berminggu-minggu, ditemani seekor harimau Bengal--dan ajaibnya tidak memakan Pi. Siapa yang bisa dia andalkan? Tak ada. Hanya kewarasan dirinya sendirilah yang bisa menolong. Dan untuk tetap waras dia butuh keyakinan kuat pada Tuhan.

Pi merangkai seluruh kejadian yang menimpanya sebagai takdir Tuhan. Termasuk keberadaan Richard Parker sang harimau pun sudah diatur Tuhan. Segala keajaiban hidup di tengah laut beserta makhluk-makhluk yang muncul di hadapannya, dia maknai sebagai pertolongan Tuhan. Setiap dia merasa frustasi dengan nasibnya hingga terpikir mengakhiri hidup, kembali dia ingat Tuhan.

Karena imannya yang kuat pada konsep Tuhan sebagai Mahasegala, Pi menganut nyaris semua agama. Dia menjalankan ibadah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Sikh. Karena bagi Pi semua cuma soal tata cara. Intinya adalah penghambaan pada Tuhan. Begitulah cara Pi bertahan hidup.

Sungguh buku ini membawa saya pada petualangan yang seru, menghibur, dan kontemplatif. Layak dibaca. (*)

Cilacap, 071218