Cari Blog Ini

Jumat, 28 Desember 2018

[Ragam] Geliat Pegiat Literasi Cilacap


Oleh: Gita FU

Pada hari Kamis, 27 Desember 2018 saya mendapat undangan acara temu pegiat literasi, dari Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Cilacap. Pertemuan berlangsung di ruang audio-visual dan dibuka oleh Kepala Dinas, Bapak Supriyanto.
Tamu undangan yang hadir berasal dari perwakilan beberapa komunitas literasi di lingkar Cilacap, pustakawan dari beberapa sekolah (SDN 01 Sidareja, SMPN 2 Cilacap, SMAN 1 Cilacap, dan SMAN 2 Kroya), perseorangan seperti saya, instansi (Diskominfo, Depdikbud) dan perwakilan media yakni Yes Radio  dan Satelit Post.

Saya pribadi baru tahu keberadaan komunitas-komunitas tersebut. Ya, anggap saja akibat kekuperan saya pribadi. Antara lain Sangkanparan, Bale Sinaoe, Pojok Pustaka, Institut Ibu Profesional, Gembus, DKC, dan Sagu Sabu. Masing-masing komunitas bergerak di lingkaran wilayah masing-masing, semisal Bale Sinaoe di Cilacap wilayah Barat. Kegiatan yang mereka lakukan antara lain: mendirikan taman baca masyarakat, bedah buku, pemutaran film, membuka kelas menulis, dan membuka lapak baca di alun-alun kota.

Saya menarik kesimpulan dari apa yang masing-masing komunitas paparkan di forum, yaitu:
1. Keprihatinan yang sama, mengenai masih rendahnya minat dan budaya baca masyarakat;
2. Perlunya variasi kegiatan yang menumbuhkan minat baca, karena zaman sekarang orang lebih senang bermain gawai;
3. Butuh wadah yang bisa menyatukan semua komunitas literasi, mengingat luasnya wilayah Cilacap.
Menindaklanjuti poin ketiga, pihak Perpustakaan Daerah Cilacap telah menyatakan kesiapannya menjadi jembatan penghubung antar komunitas, sekaligus wadah pemersatu. Sehingga pada akhir acara disepakati bersama terbentuknya Forum Literasi Cilacap.



Saya pribadi mengamini rendahnya minat baca tersebut. Belanja buku bacaan pun belum menjadi kebiasaan yang umum di masyarakat. Saya bisa menulis lalu menerbitkan buku, tapi menjual buku? Itu tidak gampang. Mungkin dengan banyaknya kegiatan dari komunitas literasi semacam ini, bisa menyadarkan masyarakat akan perlunya membaca, kemudian menjadikan belanja buku sebagai investasi ilmu. Itu harapan positif yang harus terus dinyalakan.


Salam literasi! (*)

Cilacap, 281218


Rabu, 26 Desember 2018

[Review] Akibat Perjanjian Sesat


Oleh: Gita FU

Judul.       : Rumah Sakit
Penulis     : Ari Keling
Penerbit.  : Laksana (Diva Press Grup)
Cetakan.  : Pertama, 2018
Tebal.       : 184 hlm
ISBN         : 978-602-407-314-5

"Ketika mereka yang sudah lama mendiami, mulai menunjukkan eksistensi di tempat ini."

Tagline di atas  merupakan premis dari novel horor ini.  Sebuah gedung kuno peninggalan zaman Belanda  sejak dahulu dinamai Rumah Sakit. Meski penampakan luarnya mengesankan keangkeran, hal tersebut tidak menjadi persoalan bagi masyarakat sekitar. Lagipula tak pernah terdengar cerita ganjil  dari orang-orang yang pernah dirawat  di situ.  Hingga pada suatu Senin malam, rangkaian kejadian aneh dan tak masuk nalar terjadi di dalam gedung tersebut.

Reno, seorang pasien rawat inap, diteror oleh suara tanpa wujud sejak di ruangan IGD (hal. 18). Apalagi  hanya dia seorang yang mendengar suara-suara itu. Lalu ketika dia sudah dipindahkan ke kamar perawatan, Reno diusik oleh seorang pasien Kakek tua yang berada di ranjang sebelah. Pasien itu muncul hanya ketika para suster telah meninggalkan ruangan (hal. 46). Anehnya, saat dia melaporkan keberadaan suara-suara dan pasien tua itu pada para suster, keadaan ruangannya kembali normal dan sepi.

Lain lagi dengan kejadian yang menimpa Laras, Monica, dan Rere, tiga orang suster jaga malam. Rere melihat penampakan lelaki berkulit hitam, tinggi besar di sudut depan kamar perawatan pasien. Lelaki itu terus-menerus menatap  Rere. Sementara Laras melihat hantu nenek tua di  dekat IGD.  Kemudian mereka bertiga menyaksikan sebuah kursi roda  yang bergerak sendiri seperti ada yang menumpanginya (hal. 65). Tentu saja ketiga suster itu  ketakutan hebat. 

Hal menyeramkan pun dialami seorang pengunjung bernama Reza. Saat hendak mengambil motornya  di area parkir, dia tak menemukan kendaraan tersebut di tempat semula. Tiga petugas parkir yang membantunya pun tak menemukan motor tersebut di seluruh penjuru area parkir. Namun saat mereka kembali mencari di titik semula, tiba-tiba motor yang dicari telah berada di tempatnya. Tentu saja keheranan melanda mereka semua (hal. 94).

Bahkan sekelompok petugas kebersihan  yang tengah berkumpul di ruangan Office Boy, tak luput dari gangguan. Mereka melihat sosok kuntilanak berbaju merah di ruangan mereka. Makhluk itu tertawa-tawa menyeramkan. "Tiba-tiba lampu menyala kembali. Bersamaan dengan itu mereka semua membelalakkan mata. Sebab, mereka melihat sesosok perempuan yang berdiri di atas meja dengan rambut panjang terurai sampai menyentuh lantai." (Hal. 107).

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak para korban gangguan hantu ini akhirnya memunculkan jawaban tak terduga. Rupanya ada sejarah gelap yang selama ini rapi disembunyikan para petinggi Rumah Sakit. Sebuah perjanjian dengan setan telah diikrarkan sejak lama. Ketika ada yang salah dalam pelaksanaannya, maka setan atau hantu tersebut  berulah lagi dan menebar ketakutan.

Alur kisahnya sederhana. Cara penulis menarasikan keseraman di dalamnya ibarat   adegan film. Semua tokoh mendapat porsi  masing-masing. Sedikit bertele-tele menurut saya. Tapi kembali lagi pada selera pembaca. Pesan moral yang bisa diambil dari kisah horor ini ialah: manusia sebagai makhluk mulia, janganlah sudi diperbudak oleh setan apapun dalihnya. Karena lebih banyak kerugian daripada kebahagiannya.(*)

Cilacap, 251018

Senin, 24 Desember 2018

[Cerita Mini] Remah-remah Keju



Oleh: Gita FU

Hujan  menderas. Belasan kali Gea menyibak korden jendela, memindai kemunculan Ayah di pelataran kompleks rumah kos ini. Sudah  lewat satu jam dari azan ashar. Entah kemana perginya Ayah.

Gadis cilik sebelas tahun itu menekap perutnya, mencoba menghentikan genderang marching band di dalam sana. Makanan terakhir yang masuk  adalah dua potong bakwan, berjam-jam lalu di kantin sekolahnya. Kini Gea bergulingan di kasur. Perih. Lapar.

Nyalang matanya mengukuri empat dinding kamarnya. Gea mengingat-ingat waktu. Rasanya sudah berabad-abad ia dan Ayah meninggali tempat ini. Kalau tak salah hitung, empat bulan ia terpisah dari Ibu dan dua adiknya. Benar, empat bulan.

Ah, kenapa sih, orang-orang dewasa itu begitu rumit? Kenapa mereka yang katanya lebih pintar, tak bisa memecahkan masalah? Gara-gara mereka, ia dan adik-adiknya dipaksa menerima kosakata baru: cerai. Cerai adalah berpisah; Ayah dan Ibu tak satu rumah lagi; ia dibawa pergi Ayah, sedangkan Rea dan Aga tinggal bersama Ibu. Menyebalkan! Gea mengusap matanya yang mendadak banjir.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Gea berderap membuka kuncinya, berharap itu Ayah yang datang.

"Gea, sendirian, ya?" Bukan, bukan Ayah. Itu Pak Isa tetangga sebelah kamar. "Ah, ini ada sedikit roti dan keju buat Gea dan Ayah. Dimakan, ya?"

Gea menerima bungkusan, "Terima kasih, Pak!" Untung Gea belum lupa kesopanan. Pak Isa tersenyum sebelum kembali ke kamarnya.

Duduk menghadap meja satu-satunya di kamar, Gea mengeluarkan isi bungkusan. Dahinya mengernyit, ada empat lembar roti tawar persegi, dan empat lembar ... Keju?

Ia tahu tentang keju dari iklan-iklan di televisi dan majalah. Konon keju dibuat dari susu, bergizi, dan lezat pula. Benarkah? Ia belum pernah melihat  secara langsung. Jadi begini bentuknya? Tipis, persegi empat, berwarna kekuningan. Ia usap permukaan selembar keju. Lalu Gea mengendus-endus, mirip kucing membaui ikan. Seperti apa rasanya?

Gea mencuil salah satu ujungnya, membawanya ke mulut. Oh, asin! Dicuilnya lagi ujung yang lain, dan mengunyahnya. Eh, gurih!
Cuilan demi cuilan berubah menjadi suapan yang lebih besar. Terus kunyah, dan telan. Lidah Gea berdansa. Cacing-cacing di perutnya bersuka ria. Gea lupa menyisihkan bagian untuk Ayah. Yang ada hanya ia dan keju. Terus hingga tandas. Namun Gea masih mencari remahan, barangkali terjatuh  di permukaan meja. Ia masih belum puas. Rasa keju itu membuatnya ketagihan.

Mendadak pintu dibuka seseorang. "Gea, Ayah pulang!" Wajah Ayah terlihat lelah. Rambut dan jaketnya basah. Ia menenteng bungkusan plastik di kedua tangannya.

"Maafkan Ayah yang pulang terlambat, ya, Nak. Tadi Ayah ada urusan penting. Ini Ayah bawa makanan," ucapan Ayah terputus, "kamu sedang apa, Nak?"

Gea mendongak, sesaat berhenti dari kesibukannya menjilati plastik pembungkus keju. "Ngg, Ayah? Ini Gea lagi makan keju. Enak banget! Tapi maaf, ya, bagian Ayah juga Gea makan. Habis Ayah lama, sih. Gea 'kan lapar!" Gadis cilik itu kembali pada kesibukannya.

Ayah termangu, sisa air hujan menetes ke pelipisnya. Dia baru sadar telah menelantarkan putrinya seharian ini. (*)

Cilacap, 241218

Jumat, 21 Desember 2018

[Review] Ove, si Pria Hitam Putih



Oleh: Gita FU

"Ove memahami hal-hal yang bisa dilihat dan disentuhnya. Semen dan beton. Kaca dan baja. Perkakas. Hal-hal yang bisa dicari jawabannya. Dia memahami sudut tegak lurus dan manual instruksi yang jelas. Model dan gambar rakitan. Hal-hal yang bisa digambarkan di kertas. 
Ove adalah lelaki hitam-putih." (Hal. 50)

Secara umum, pria seperti Ove bukanlah jenis orang populer yang ingin kita jadikan teman mengobrol akrab. Dia kaku, pemberang, dan sulit. Dia amat saklek pada aturan. Jika kamu melihat plang dilarang berkendara di atas 40 km/jam, ada kemungkinan kamu akan sedikit melanggarnya. Terutama saat sedang buru-buru. Tapi Ove tidak. Jika dia mempunyai kupon bertuliskan "50 krona 2 tanaman", besar kemungkinan dia siap adu mulut dengan penjaga gerai agar dia hanya membayar 25 krona saja karena hanya butuh satu tanaman. Seperti itu.

Ove sama sekali tidak menaruh simpati pada orang yang tidak bisa membetulkan papan lantainya sendiri, atau kasau rumah yang lepas. Karena dia selalu melakukan semua hal itu dengan amat baik. Ove juga tak bisa mengerti mengapa zaman sekarang orang tergila-gila pada mobil otomatis, berteknologi canggih, yang mengandalkan bantuan radar mundur untuk memundurkan mobil. Menurut Ove orang seperti bitu tak pantas punya SIM. Ove tak menyukai mobil buatan luar. Baginya Saab yang terbaik. Hanya Saab, sebelum diambil alih General Motor.


"Kau merindukan hal-hal teraneh ketika kehilangan seseorang. Hal-hal sepele. Senyuman. Cara perempuan itu berbalik ketika sedang tidur. Kau bahkan rindu mengecat ulang ruangan untuknya." (Hal. 76)

Dan Ove amat merindukan Sonja. Bahkan setelah 6 bulan kepergiannya, Ove masih berkeliling rumah setiap pagi, mengecek apakah Sonja menaikkan suhu radiator diam-diam. Bagi Ove, dia tidak hidup sebelum bertemu dan sesudah ditinggal Sonja. Karena dia memandang semua warna melalui Sonja, istrinya. 

Sungguh novel ini berulang kali berhasil membuat saya tertawa dan menangis bergantian. Cara Fredrik Backman menarasikan kisah sang tokoh utama beserta tokoh-tokoh lainnya, amat membetot hati. Saya bersimpati pada dukacita dan kehilangan yang dirasakan Ove. Saya bisa mengerti kenapa dia ingin menyusul Sonja saja. Karena hidupnya tak sama tanpa wanita itu. Saya tersenyum-senyum bahkan tertawa sendiri ketika perlahan-lahan Ove ditarik keluar dari kesendiriannya oleh kehadiran tokoh lain. Sebut saja: Parvaneh, Patrick, dan dua anak mereka; Anders, Ilalang Pirang dan anjingnya; Jimmy si pemuda obesitas; Adrian si pelayan kafe; Mirsad si gay yang bertengkar dengan ayahnya; Anita dan Rune; Lena si jurnalis; pria berkemeja putih; dan jangan lupakan si kucing setengah botak.

Pada akhirnya Ove yang serba teratur dan taat aturan tak bisa tak peduli pada para tetangga yang melanggar aturan. Dia terlibat begitu saja dengan kehidupan orang lain. Uniknya, semua dia lakukan karena tak mau Sonja marah atau tak ingin ayahnya kecewa; keduanya orang-orang yang amat berpengaruh dalam hidup Ove.

Melalui novel ini saya bukan saja amat sangat terhibur, tetapi juga mendapat banyak perspektif baru tentang kehidupan dan kematian. "Sesuatu dalam diri seseorang akan hancur berkeping-keping jika dia harus menguburkan satu-satunya orang yang selalu memahaminya." (Hal. 426).

Kredit buat mbak Shabrina WS yang telah berbaik hati meminjamkan Ove, hingga saya bisa ikut berkenalan dengannya. Sungguh luar biasa. (*)

Cilacap, 211218

Keterangan foto: 
1. Dok. Pribadi
2. Mobil Saab 9000, sumber Google.



Kamis, 20 Desember 2018

[Ragam] Taman Cantik di DPR



Oleh: Gita FU


DPR yang saya maksud adalah Daerah Pinggir Rel. Daerah ini pada umumnya merupakan area gersang dan kosong yang tidak menarik hati. Warga yang tinggal di dekatnya pun harus berhati-hati tidak boleh lengah karena kereta bisa melintas sewaktu-waktu. Itulah sebabnya daerah pinggir rel biasanya diberi semacam tanggul sebagai pembatas. Namun kesan itu patah saat kita melihat DPR di suatu RT yang masuk  wilayah kelurahan Tegalreja, kecamatan Cilacap Selatan ini. Tepatnya areal pinggir rel di belakang Jalan Perkutut Timur- Jalan Beo Timur.




Sejak kurang lebih setahun yang lalu, warga setempat berswadaya membangun konsep taman, yang mereka namai Taman Kampung KB. Aneka tanaman hias, lengkap dengan beberapa gazebo, bangku, serta ayunan untuk bermain, menjadi kesatuan  yang berpadu indah. Bahkan di beberapa titik terlihat kreasi dari bahan limbah plastik. Unik, dan cantik. Saat malam tiba, taman ini diterangi aneka lampu hias.



Warga setempat bergiliran merawat taman tersebut. Saat saya berkunjung kemarin sore (19/12), beberapa warga terlihat menyirami tanaman dengan selang air, serta memperbarui cat yang memudar pada ornamen bebatuan.

Keindahan taman ini tak pelak menjadi pusat perhatian pelintas maupun warga dari kelurahan tetangga, seperti saya. Cukup berjalan kaki dari rumah sekira 30 menit, saya dan anak-anak sampai di taman. Apalagi kalau sambil bawa bekal makanan, terasa sedang piknik jadinya. Murah, meriah, sehat, dan menyenangkan.



Kekurangannya adalah tidak tersedia tempat parkir. Dikarenakan sempitnya jalan aspal yang melewati area ini. Pinggir jalan langsung berbatasan dengan rumah warga, dan sebagian besar tidak punya pekarangan. Akibatnya  pengunjung taman yang membawa kendaraan roda dua, harus rela parkir cukup jauh, yaitu di ujung jalan masuk ke area DPR ini.

Bagaimana, tertarik berkunjung? (*)

Cilacap, 201218