Cari Blog Ini

Jumat, 18 Januari 2019

[Review] Buku Cerita Anak Bilingual yang Apik


Oleh: Gita FU

Ada banyak cara mengenalkan buku bacaan pada anak-anak. Misal: belikan buku cerita, ajak ke pameran buku, atau bawa ke perpustakaan setempat.
Saya pribadi melakukan ketiga cara di atas, dan Alhamdulillah hasilnya positif; dua anak saya gemar membaca.
Mereka pun selalu antusias diajak ke perpustakaan daerah. Bahkan baru-baru ini Hanna menuntut dibikinkan kartu anggota Perpusda Cilacap seperti si kakak. Info yang saya terima dari Mbak Sofi--salah satu pustakawati di sana--kini anak usia TK bisa memiliki kartunya sendiri. Pendaftarannya cukup pakai fotokopi KK. Oke, Nak, segera kita bikin, ya!

Minggu lalu saya meminjam beberapa buku cerita untuk Hanna. Dua di antaranya akan saya bahas di kesempatan ini. Kebetulan dua buku ini sama-sama terbitan Erlangga for Kids, lini buku anak dari penerbit Erlangga. Judulnya: Boneka Salju Ajaib dan Aku Tidak Mau Keluar. Saya ulas satu persatu, ya!

1. Boneka Salju Ajaib

Judul asli     : The Magical Snowman
Penulis.        : Catherine Walters
Ilustrasi        : Alison Edgson
Copyright.    : Little Tiger Press, 2009
Penerjemah : Edith Natasha
Terbit            : 2011
Isi                   : iv+27 hlm
ISBN              : 978-979-099-532-1

Buku ini bertema kasih sayang, harapan, keajaiban, dan persahabatan. Kelinci Kecil asyik membuat boneka salju, di suatu hari yang cerah di musim dingin. Ia lalu disuruh ayahnya mencari buah beri hutan, dengan pesan tak boleh berkeliaran terlalu jauh (hal. 6).

Saat asyik mencari buah beri, Kelinci Kecil malah tersesat di hutan. Apalagi kemudian  salju turun, ia semakin kebingungan mencari jalan pulang (hal. 10). Kelinci Kecil menjadi panik.



Tiba-tiba terjadi keajaiban! Boneka Salju yang tadi ia buat, hidup dan datang padanya. Si Boneka Salju lalu menolong Kelinci Kecil keluar dari hutan. Lewat petualangan ajaib mereka menerobos hujan salju (hal. 14-15). Hingga mereka berhasil sampai ke bawah bukit, dekat rumahnya Kelinci Kecil.

Buku ini dihiasi ilustrasi yang indah, bagai lukisan negeri dongeng. Opsi bahasa Inggris  yang menyertai teks bahasa Indonesia diletakkan atas-bawah. Sehingga buku ini sesuai dibaca para orang tua dan anak-anak mereka, demi menciptakan kebersamaan yang berkualitas.


2. Aku Tidak Mau Keluar!

Judul asli     : I'm Not Going Out There!
Penulis.        : Paul Bright & Ben Cort
Copyright.    : Little Tiger Press, 2007
Penerjemah : Hertriani Agustine, S.Si
Terbit            : 2008
Isi                   : v+24 hlm
ISBN              : 978-979-033-329-1

Buku yang ini bertemakan imajinasi, hubungan kakak-adik, dan humor. "Aku sedang bersembunyi di bawah tempat tidur. Walau kepalaku sulit untuk keluar, lututku lemas dan sakit, tetapi aku tidak peduli. Dapatkah kamu tebak, apakah ku tahu, mengapa aku berbisik pelan?" (Hal. 2).

Di luar kamar ada naga sedang menyemburkan napas api. Ia tampak kejam, dan sangat menakutkan. Tetapi bukan ia yang membuatku amat ketakutan.

Ada pula hantu tanpa kepala yang tengah membuat roti isi selai cokelat di dapur. Tapi aku tak terlalu mengkhawatirkannya.

Di kamar mandi tiga orang penyihir jelek sedang mencuci baju. Meskipun mereka bau dan buruk rupa, aku tidak begitu takut menghadapinya.

Di kamar atas beberapa Monster tengah asyik menari balet. Penampilan mereka mengesankan. Tentu saja mereka tidak seberapa menakutkan buatku.

Lalu apa yang lebih menakutkan daripada itu semua? Siapa yang paling menyeramkan hingga naga pun lari terbirit-birit darinya? Temukan jawabannya di halaman akhir.


 Cerita di buku ini sungguh kocak dan menghibur. Saran saya jika Anda ingin membacakan ke Ananda: ubah-ubahlah intonasi suara, pasti Ananda makin gembira. Selain itu ilustrasinya pun menarik hati. Buku ini mengandung pesan moral untuk saling menghargai antar saudara kandung.

Demikian ulasan dari saya. Semoga bermanfaat! (*)

Cilacap, 180119




Selasa, 15 Januari 2019

[Cernak] Belajar dari Keluarga Jemi


Dok. Pribadi


Oleh: Gita FU

Siang hari begini enak dipakai untuk tidur  sejenak. Namun Farhan, anak kelas lima SD Pagi Cilacap, lebih suka bermain mobil di  karpet ruang tengah. Di sebelahnya ada Hana, sang adik yang duduk di TK, bermain pula dengan boneka Barbie. Sekolah masih libur panjang.

"Mas, aku pinjam mobilnya buat Elsa, ya!" pinta Hana. Elsa adalah nama bonekanya.

"Ya, tapi yang warna hijau saja," jawab Farhan.

Tak lama Hana kembali meminta. "Mas, mau pinjam yang pemadam kebakaran itu juga!"

"Eh, jangan! Yang ini sedang kupakai. Mobil polisi ini saja, ya."

Hana menggeleng kuat-kuat, wajahnya merengut. "Nggak mau!"

Farhan mulai gusar, tapi masih berusaha membujuk adiknya. "Mobil polisinya kan bagus, warnanya cocok sama baju Elsa. Mau, ya?"

"Nggak mau!"

Akhirnya  mereka bertengkar. Farhan tetap menolak permintaan Hana. Sedangkan Hana terus memaksa. Bersamaan dengan itu Ibu pulang dari warung. Tangannya menenteng  plastik berisi belanjaan.

"Assalamu'alaikum! Lho, ini kenapa Mas Farhan sama Adek? Sampai tidak menjawab salam," tegur Ibu.

"Waalaikumussalam, Bu," jawab Farhan. "Ini Hana mau merebut mainanku. Padahal sudah kukasih  lainnya."

"Mas Farhan pelit, Bu! Aku kan pingin pinjam mobil yang itu juga, tapi nggak dikasih!" adu Hana.

Ibu berdecak kesal. "Aduh, kalian ini  semangat sekali bertengkar nya. Coba siapa yang mau mengalah?"  Farhan maupun Hana sama-sama buang muka. Mereka menolak tawaran itu. Ibu sampai geleng-geleng kepala dibuatnya.

Tiba-tiba terdengar suara meongan kucing di halaman belakang.  "Wah, itu Jemi pulang. Dia pasti membawa sesuatu. Siapa mau lihat bareng Ibu?"

Ibu beranjak membuka pintu ke halaman belakang diikuti Hana dan Farhan. Benarlah kata Ibu,  Jemi kucing betina kampung  mereka, membawa seekor cecak di moncongnya. Si kucing mengeong-ngeong sambil melihat ke sekeliling halaman. Tak lama kemudian empat ekor anak kucing berlarian menghampiri Jemi. Lalu si induk meletakkan  cecak yang masih hidup itu di tanah. Segera saja cecak itu jadi bahan rebutan  anak-anak kucing.

"Coba lihat," tunjuk Ibu. "Dua anak kucing berbulu kuning itu 'kan, anaknya Jesi. Tapi ternyata mereka bisa  bermain rukun bersama anak-anak Jemi yang berbulu belang tiga itu."

Jesi adalah kucing betina saudaranya Jemi, yang mati akibat makan tikus beracun. Setelah Jesi tiada, anak-anaknya diasuh oleh Jemi. Mereka ikut pula menyusu serta bermain selayaknya saudara kandung dengan anak-anak Si Jemi. Sungguh menyenangkan melihat empat ekor anak kucing yang lucu-lucu itu saat tengah bermain. Sementara Jemi mengawasi dengan tenang.

"Iya, ya. Mereka rukun," celetuk Farhan kagum.

Ibu tersenyum, "Makanya mari belajar dari keluarga Jemi. Mereka bisa tetap rukun meskipun ada perbedaan. Masa anak-anaknya Ibu tidak bisa?"

Farhan dan Hana saling berpandangan, lalu tertawa lebar. Iya juga, ya, apalagi Hana adikku sendiri, kata Farhan dalam hatinya.

"Hana main lagi, yuk. Kamu boleh pinjam mobil yang mana saja," ajak Farhan.

"Beneran, Mas? Asyik!" Hana segera berlari ke dalam dengan riang.

Ibu mengacungkan jempol pada Farhan. Ya, masa Farhan dan Hana mau kalah rukun sama  kucing? Malu, dong! (*)

Cilacap, 030718-150119

(In memoriam Jeni, Jemi, and their children)

Senin, 14 Januari 2019

[Ragam] Ruang Terbuka di Pinggir Lapangan

Lapangan Karangsuci, Donan Cilacap Tengah

Oleh: Gita FU

Saya senang sekali, banyak RTH (Ruang Terbuka Hijau)  bermunculan di Cilacap. Karena itu menandakan kesadaran masyarakat yang meningkat perihal kebutuhan rekreasi sebagai suplemen kesehatan jiwa. Lha, kok bisa? Ya bisa, dong. Karena di RTH masyarakat bisa berekreasi baik sendiri maupun bersama komunitasnya, dengan mudah dan murah; sejenak keluar dari rutinitas harian yang melelahkan. Bukankah itu merupakan salah satu fungsi RTH?

Setelah sebelumnya saya membahas RTH di depan PLUT UMKM/Rumah Kreatif, sekarang giliran RTH di pinggir lapangan Karangsuci, Donan. 
Usianya belum lama, sekira satu-dua bulan berjalan. Lokasinya persis di pinggir lapangan Karangsuci yang terkenal itu; terkenal berkat area pemakaman luas di sisi Utara. Secara administratif masuk wilayah kelurahan Donan kecamatan Cilacap Tengah. Penggagasnya adalah pihak kelurahan Donan bekerja sama dengan elemen warga setempat.



Seperti tampak pada foto, beberapa bangku taman di cat biru dan kuning di sepanjang area paving. Warga biasa memanfaatkannya untuk duduk santai, sambil menonton orang-orang bermain sepak bola di tengah lapangan, atau pertunjukan ebeg.



Di sisi selatan ada area tempat bermain anak, yang diberi pagar besi hitam. Fasilitas yang tersedia baru dua buah, yakni bangku putar, dan kursi ayun. Tiang lampu hias tegak berdiri, mengambil bentuk kembang Wijaya Kusuma. Dimaksudkan sebagai penerang di waktu malam. Tempat sampah tersedia satu buah tepat di balik pagar besi di area bermain tersebut.

Selanjutnya apa lagi, ya? Oh iya, bakul makanan banyak berjualan di pinggir jalan di sekitar RTH ini. Ada bakso, mie ayam, gorengan, macam-macam Snack, dan es. Pas sekali, mengudap sembari duduk santai di sore hari yang cerah.

Sayangnya, dari apa yang saya lihat saat berkunjung beberapa hari lalu, sampah makanan banyak berceceran. Kesadaran warga untuk membuang sampah pada tempatnya masih rendah, menyedihkan. Untunglah beberapa penjual di tempat itu sigap menyapu sampah-sampah itu, sehingga tidak keburu berjejalan. Selain itu meski namanya ruang terbuka hijau, area ini belum benar-benar hijau. Tak ada pohon peneduh. Akibatnya terasa panas saudara-saudara! Ah, mari berharap pohon-pohon yang ditanam itu cepat tumbuh besar. Satu lagi, tak ada toilet umum di sini. Jadi kalau pengunjung merasa ingin memenuhi panggilan alam, lebih baik cepat pulang ke rumah saja.

Demikian liputan sederhana saya kali ini. Semoga di masa yang akan datang bisa lebih baik lagi dalam hal penataan dan penyediaan fasilitas umum di RTH ini. Salam dari Cilacap. (*)

Cilacap, 130119

Senin, 31 Desember 2018

[Ragam] Taman Rumah Kreatif Cilacap, Ruang Rekreasi Terbuka yang Tanggung



Oleh : Gita FU



Satu lagi area terbuka sebagai ruang rekreasi keluarga hadir di kota Cilacap. Berlokasi tak jauh dari IGD RSUD Cilacap, tepatnya di sebelah PLUT UMKM Rumah Kreatif (Jl. Dr. Sutomo). Nama tak resmi ruang terbuka ini adalah Taman Rumah Kreatif. Seperti apa penampakannya? Terus simak artikel ini.



Tampak depan.

Beberapa totem bermotif batik terlihat mencolok mata pengunjung, begitu masuk dari arah depan. Di latar belakang tampak  gedung Rumah Kreatif Cilacap. Lajur jalan setapak cukup lega dan terkesan bersih. Lebarnya memadai untuk tiga orang dewasa berjalan beriringan.




Selayaknya taman, tempat ini ditanami deretan palem hias, rumput dan tanaman bunga lainnya. Memang belum menghijau, karena petak-petak tersebut belum lama ditanami. Selain itu demi kenyamanan pengunjung disediakan  blok bangku di beberapa titik, serta arena bermain anak-anak.




Mengingat kebiasaan berswafoto yang seakan sudah mendarahdaging di masyarakat kita, pengelola taman pun menyediakan pojok khusus yang cantik. Meskipun saat saya berkunjung, terlihat banyak pengunjung lain yang asik berfoto dengan di luar pojok tersebut.




Namun saya mencatat beberapa kekurangan pada taman ini. Yang pertama, tidak tersedia tempat sampah. Ini cukup fatal karena saya melihat sendiri sampah-sampah makanan yang ditinggalkan pengunjung di rerumputan. Bukankah hal ini merusak keindahan?
Yang kedua, belum berfungsinya toilet umum. Entah mungkin karena taman ini masih benar-benar baru dibuka atau ada penyebab lain. Tapi menurut hemat saya, apa salahnya bila pengelola membuka gembok toilet, dan mengalirkan air keran demi kenyamanan pengunjung. Yang ketiga, taman ini masih terasa datar. Mungkin jika ditambah fasilitas olahraga, misal lapangan basket atau voli, akan menambah nilai guna taman. Sebab saya lihat masih tersedia cukup lahan yang belum dimanfaatkan, di dekat areal parkir.

Kesimpulan saya, konsep taman ini masih agak tanggung mengingat kekurangan yang saya sebutkan di atas. Semoga ke depannya ada peningkatan fasilitas agar Taman Rumah Kreatif ini menjadi salah satu tujuan rekreasi keluarga di kota Cilacap. (*)

Cilacap, 311218

Sabtu, 29 Desember 2018

[Memoar] Kuku Simbah



Oleh: Gita FU

Februari 2001

Kabar meninggalnya Mbah Putri disampaikan Papa via telepon. Om Adi dan keluarganya langsung bersiap-siap meluncur ke Purbalingga dengan  sepeda motor. Aku sendiri akan menyusul via bus.

Saat berjalan menuju jalan raya, aku sempat berhenti sejenak di rumah tetangga. Hanya gara-gara menceritakan tujuan kepergianku pada si ibu tetangga, mataku mendadak banjir. Aku terduduk lemas di teras tersebut, tersengguk-sengguk oleh air mata. Si ibu tetangga menatapku prihatin penuh simpati. Setelah  berhasil mengatur napas, tangisku reda, dan kulanjutkan perjalanan.

Di dalam bus kenangan berlesatan muncul. Aku diasuh Mbah saat berusia kurang lebih dua tahun. Kemudian tepat setelah ulang tahun keempat, kedua orang tuaku datang dan membawaku ke Pontianak. Tak banyak kenangan yang berhasil kuingat di rentang waktu itu, hanya berdasarkan cerita Bulik serta beberapa lembar foto kenangan yang menangkap momen-momen tertentu.

Aku kembali tinggal bersama Mbah pada masa kenaikan kelas 6 SD hingga kelas satu SMA. Mbah semakin tua, sedangkan aku beranjak remaja. Itu adalah masa-masa di mana aku merasa sulit. Aku dengan energi yang berlebih, sering bentrok dengan kekolotan Mbah. Aku merasa terkekang, sementara Mbah dibebani tanggung jawab untuk menjagaku. Ah...

Mozaik kenangan makin berjejalan. 

Mbah Putri membekali jiwel, timus, atau mata roda untukku di sekolah. Mbah Kakung yang galak, tapi membukakan jendela kamar di pagi hari agar udara segar masuk, ketika aku terbaring karena tifus. Mbah Putri membuatkan kue lumpur kesukaanku saat aku ulang tahun. Aku dimarahi Mbah gara-gara membeli rok pendek sedikit di atas lutut. Bulikku rela berpanas-panas ke pasar demi membelikan rok panjang semata kaki sebagai gantinya. Aku dan Mbah Kakung terbahak bersama menonton lawak Ngelaba di tivi hitam putih kami. Aku mulai membohongi Mbah demi bisa ikut acara kemah Sabtu-Minggu, hanya karena Mbah mulai merasa aku terlalu banyak ikut kemah....

Mataku panas dan mulai meleleh. Terlalu banyak kenangan. 

Kemudian selepas SMA aku kembali lagi ke rumah Mbah. Dan saat itu pertengkaran mulai sering mewarnai hubunganku dengan beliau berdua. Mendadak aku kesal dengan cara Mbah Putri masak; kuno, tidak higienis. Mendadak aku ingin mengungkit masa lalu orangtuaku lalu menyalahkan Mbah Putri. Mendadak aku merasa lebih superior dari kedua orang sepuh ini. Sedangkan Mbah Putri mulai sakit-sakitan. 

Aku merutuki banyaknya egoisme yang muncul seiring bertambahnya usia seseorang. Dan ternyata itu pun terjadi padaku. Aku kerap menafikan kasih sayang tanpa syarat yang telah diterima semenjak kecil. Setelah dewasa pikiranku hanya tersedot pada  ketidakpuasan; seharusnya dulu jangan begini-begitu. Aku bahkan berani membentak Mbah Putri dalam suatu puncak pertengkaran kami.

Dan sekarang aku sudah sampai. Di depanku ada jenazah Mbah Putri. Dikelilingi para paklik dan Bulik, serta Papa. Mbah Kakung terlihat 'nrimo'. Kutatap wajah sepuh yang telah menutup mata itu. Betapa waktu yang terlewati terasa bagai mimpi. 

Aku ikut memandikan jenazah. Siraman air menyucikan tubuh Mbah untuk terakhir kalinya. Lalu pandanganku tertumbuk pada kuku tangan mbah Putri. Kuku itu panjang-panjang semua. Ya Allah, padahal aku pernah berjanji akan memotong kuku Simbah, saat beliau masih terbaring sakit. Janji yang sudah terlambat ditepati. Dan aku hanya bisa menyesal sedalam-dalamnya.(*)

Cilacap, 281218

(Mengenang alm. Mbah Putri dan Mbah Kakung. Semoga Allah melapangkan kubur mereka berdua).

Sumber gambar : pinterest.id