Cari Blog Ini

Jumat, 01 Februari 2019

[Review] Psikosis Post Partum yang Mengerikan


Oleh: Gita FU

Judul.       :  Mama
Penulis    : Wulan Mulya Pratiwi dan  Erby S.
Penerbit  : Elex Media Komputindo
Terbit.      : 2018
Tebal.       : ix+144 hlm.
ISBN         : 978-602-04-5519-8

Well, tempo hari sebuah paket diantar oleh Mas Kurir JNE. Dengan heran saya menerima dan menandatangani resi digital yang disodorkan. Paket buku dari siapa, ya? Pikir saya.

Pertanyaan saya langsung terjawab begitu membaca nama pengirim. Oalaaah, ini dari Jeng Arwen di Bekasi, sebagai reward kerajinan dari AHAD BLOK-ING. Alhamdulillah, thanks ya, Jeng!

Menilik kaver dan blurb-nya, ini seperti novel horor. Anak saya si Farhan langsung mendelik, meminta saya menyingkirkan buku ini. Hohoho, maklum, dia parno sama cerita horor. Sementara Hanna bertanya penasaran, itu, sih, gambarnya orang lagi ngapain? Bhahahahaha. Hadeeeh!

Sebelum saya ulas isi novel, kalian tahu film Pihu yang sedang booming itu? Kalau belum tahu bacalah ulasan dari teman saya Sabrina di blog-nya. Lha, memang ada hubungannya? Ada dikit. Sama-sama mempunyai benang merah: wanita depresi. Cuman di novel ini disebutkan spesifik namanya, yakni Psikosis Post Partum. Wah, apakah itu?

Jadi Psikosis Post Partum itu adalah bentuk kelainan psikiatri yang terparah dalam tingkatan Post Partum blues. Biasanya terjadi dalam tiga bulan pertama setelah ibu melahirkan. Ibu dengan Psikosis yang parah bahkan bisa melukai diri sendiri, membunuh anak-anaknya, dan mengancam nyawa orang lain (hal. 136). Wew, kok, serem, ya? Memang seram. Dan keseraman itulah yang menimpa Mala.

 Dalam novel ini dikisahkan Mala dan Galih pasutri muda yang tengah bahagia. Galih sukses secara finansial, ditandai berhasil membeli rumah mewah sebagai kado istri. Selanjutnya Mala hamil, menambah kebahagiaan mereka. Saat sedang semangat mempersiapkan kedatangan bayi, ujian mulai menerpa. Rupanya kehamilan Maka bermasalah. Dia menderita tekanan darah tinggi yang beresiko terjadinya eklampsia. Disusul kehadiran ibunya Galih, alias ibu mertua Mala. Bu Retno ini wanita berpikiran sempit. Selalu menekan Mala untuk berperilaku sesuai standar dirinya. Setiap ada kesempatan dia menjelek-jelekkan Mala. Celakanya Galih tak bisa menengahi konflik. Akibatnya Mala jadi korban perasaan. Sampai di sini terasa mirip sinetron, ya? *Putar bola mata*.

Kemudian Mala melahirkan lewat operasi Caesar. Ya ampun, itu ibu mertua bukannya mendoakan malah menyalahkan Mala yang dianggapnya manja. *Pengen ngemilin*. Setelah pulang ke rumah bersama bayi mereka, tentu saja Mala butuh dukungan fisik dan psikis. Apalagi namanya pasca operasi itu pasti sakit dan harus jaga kondisi badan. Eh, tapi si Galih malah langsung tancap gas kerja lagi. Dia meninggalkan istrinya hanya bersama ibunya. Dikiranya sang ibu pasti bisa merawat Mala karena sudah berpengalaman. Mana dia tahu bahwa ternyata istrinya langsung disuruh kerjain urusan rumah dan urus bayi. Sama sekali nggak peduli sama kondisi pasca Caesar. *Menghela napas panjang*.

Suatu hari bayinya sakit demam. Mala yang sudah kelelahan ya fisik dan psikis, tak bisa berpikir jernih lagi. Mana ibu mertuanya cuma menyalahkan saja kerjanya. Terjadilah tragedi itu. Tanpa Mala sadari, dalam upaya menenangkan bayi yang rewel, dia menutup jalan napas putri kecilnya sendiri. Akibatnya bayi mungil itu pun meninggal dunia.

Seakan baru permulaan mimpi buruk, dalam kondisi down Mala masih saja menanggung tuduhan ibu mertua. Ke mana Galih? Dia sedih luar biasa tapi memilih melarikan diri ke pekerjaan, dan meninggalkan Mala sendirian. Nah, mulailah depresi Mala berlanjut menjadi delusi serta halusinasi. Akhirnya dia melakukan serangkaian kegiatan kriminal mengerikan, tanpa menyadari akibatnya kelak.

Penulis novel ini memang ingin menunjukkan pada kita, betapa kondisi pasca melahirkan itu berat untuk ditanggung sendiri oleh si ibu. Diperlukan adanya dukungan moril dari keluarga terdekat, utamanya kasih sayang suami. Tujuannya tentu saja agar kondisi mental si ibu kembali pulih. Hormon yang sempat labil kembali stabil. Bayi pun sehat, dan gembira.

Mengingat latar pendidikan Wulan Mulya Pratiwi berasal dari kebidanan, tak heran ada artikel tambahan di bagian penutup. Kita jadi tahu apa saja masalah mental yang kerap dialami ibu pasca melahirkan. Apa saja tanda-tandanya, bagaimana menanganinya, disertai sumber rujukan.

Tapiii tetap saja ada kekurangannya, ya. Karena tak ada kesempurnaan di dunia fana ini, bukan? Nah, apalagi kekurangan ini cukup menyolok. Apakah itu? Yaitu:
1. Kalimat-kalimatnya cenderung terlalu berbunga-bunga; tidak tedas dan tegas ke inti masalah.
2. Novel ini maaf saja, seperti tidak melalui korektor naskah. Seolah-olah langsung terbit saja. Karena saya menjumpai banyaknya kesalahan EYD, huruf kapital, tanda baca. Ya ampun, my eyes!

Jadi secara keseluruhan saya beri skor 2/5. Sisanya kembali ke selera pembaca. Demikian review saya kali ini. Semoga bermanfaat. Salam bahagia. (*)

Cilacap, 010219

Kamis, 31 Januari 2019

Jangan Menyimpan Dendam


Oleh: Gita FU

Saya ini aslinya mudah baper, alias terbawa perasaan. Melihat anak kucing mengeong mencari induknya yang telah mati, saya ikut mewek. Menonton berita bencana alam, saya ikut menitikkan air mata. Mendengarkan seseorang curhat drama kehidupannya, saya bisa ikut geregetan. Ya, meskipun   saya berusaha menyembunyikannya dari mata orang lain, sih.

Dan sekarang saya sedang baper gara-gara JasmineElektrik, grup band indie yang belum lama ini merilis single terbaru berjudul 'Ibu'. Ya Allah, ini topik   sensitif. Karena saya jadi terkenang ibu  sendiri yang jauh di mata! Oh, ibu, maafkan anakmu ini yang sering mengucapkan selamat hari Ibu, tapi tetap belum bisa berbakti  penuh kepadamu.

Baiklah, saya ingin berbagi cerita mengenai sosok ibu dalam hidup saya. Selain ibu yang melahirkan saya ke dunia, ada seorang wanita lain yang saya hormati  peranannya. Beliau adalah Bu Suparmiyati, Mbah mertua saya. 

Begini cerita singkatnya. Semasa bayi karena satu dan lain hal, suami saya dibawa untuk dibesarkan oleh Mbah putrinya. Ibu kandungnya sendiri masih ada, namun sedang menghadapi kondisi yang sulit saat itu. Karena dirawat sejak berumur tiga bulan   maka suami saya kadung menyebut 'Ibu' dan 'Bapak' kepada Mbah Putri dan  Mbah kakung. Sedangkan kepada ibu kandungnya sendiri ia memanggil 'Mamak'. Otomatis setelah kami menikah, saya pun terbawa menyebut 'Ibu' kepada Mbah mertua putri.

Jika saya ingat kembali, betapa selepas menikah (th. 2006) saya telah mendesak suami untuk langsung misah dari ibu-bapaknya. Sebab saya  tidak ingin  masalah rumah tangga kami dicampuri orang tua maupun mertua. Namun suami menolak tegas. Alasan utama karena  merasa kasihan meninggalkan kedua orang sepuh itu begitu saja. Alasan lainnya adalah agar saya belajar dulu cara menata rumah tangga pada mereka.  Mau tak mau saya menurut, walaupun dalam hati merasa sebal.

Dalam perjalanan rumah tangga kami, alasan kedua yang pernah diajukan suami menjadi kenyataan. Saya benar-benar belajar dari Ibu; mulai urusan memasak, berbenah, hingga cara meladeni suami. Termasuk  soal bagaimana membuat segelas kopi yang enak.

Saya hamil anak pertama tak lama berselang.  Mual dan muntah saya alami hingga trimester kedua. Ibu merawat saya, menyediakan ember untuk tempat muntah  di kamar; sesekali beliau membersihkan ember itu jika dilihatnya saya tengah kepayahan. Ibu   sering membuatkan segelas teh manis hangat, atau air gula asam yang segar untuk meredakan mual saya. Beliau pun tak pernah membebani saya dengan pekerjaan rumah tangga, meskipun sekadar menyapu. Pendek kata, perlakuan dan perhatian  beliau ke saya benar-benar selayaknya seorang ibu kepada anak kandungnya.

Tekad Untuk Memutus Keburukan

Ibu pernah menceritakan masa lalunya. Beliau tak ingat  rupa orang tua kandungnya, karena diadopsi semenjak bayi. Ayah dan ibu angkatnya berbeda karakter dalam membesarkannya; ayah penuh dengan kasih dan kelembutan, sedangkan ibunya keras dan mengekang. 

Lalu setelah menikah dan tinggal serumah dengan orang tua suaminya, ia dapati ibu mertuanya galak bukan kepalang. Ibu kerap diperlakukan seperti pembantu. Dan ironisnya hal tersebut berlangsung di bawah hidung suami serta ayah mertuanya. Saya sering merasa gemas kala mendengar kisah ibu.

Karena sering menerima perlakuan keras itulah ibu berjanji pada dirinya, besok kalau punya menantu perempuan bakal disayangi seperti anak sendiri. Ya Allah, saya terpana. Rupanya itu sebabnya beliau menyayangi saya bagai anak kandung. Di luar fakta bahwa sebenarnya saya ini cucu menantu beliau, ya. Betapa beruntungnya saya.

Ibu bertutur lagi, tak baik berlarut-larut menyimpan dendam. Peristiwa buruk yang sudah lewat ya biarkan saja. Yang penting jangan diulangi supaya anak cucu kita tidak kena getahnya. Saya langsung beristighfar dalam hati. Nasihat ini begitu dalam, sesuai dengan yang saya alami. Telah lama saya menyimpan kekecewaan besar pada orang tua sendiri. Ada banyak hal yang tak bisa saya sebutkan di sini, yang jelas dampaknya merenggangkan ikatan saya dengan mereka. 

Boleh jadi ibu mengucapkan nasihat tersebut dilambari doa nan tulus, sehingga merasuk ke kalbu  saya. Perlahan-lahan saya mengurai simpul amarah dan kecewa saya. Kini di usia pernikahan yang memasuki tahun ke-13, hubungan saya dengan orang tua telah membaik. 



Kasih Sayang Ibu Tak Terbantahkan Waktu

Si sulung Farhan lahir prematur lewat persalinan Caesar di tahun 2007. Sepulang dari rumah sakit saya menjadi pasien di rumah. Ibulah yang merawat saya dengan tak kenal lelah. Jika perempuan lain memanggil dukun pijat untuk bayi mereka hingga 40 hari, saya tidak. Ada ibu yang merawat bayi Farhan setiap hari.

Saat kelahiran anak kedua tahun 2012, kami sudah misah rumah dengan bapak-ibu mertua. Namun ibu sama sekali tak keberatan datang, saat kami mintai tolong merawat bayi Hanna. Meskipun tidak nyaris 24 jam seperti si sulung, perhatian dan rasa sayang ibu tak berkurang untuk Hanna.

Bulan Agustus tahun 2017 adalah momen duka cita untuk ibu.  Ibu kehilangan pasangan hidup yang telah menemaninya puluhan tahun. Tak tega melihat ibu tinggal seorang diri di Sokaraja (Banyumas), kami mengajak beliau ikut tinggal bersama di Cilacap. 

Bulan September tahun 2018 anak ketiga kami lahir. Segala puji bagi Allah, ibu masih berkesempatan melihat dan momong si bayi. Walaupun kekuatan fisiknya telah mundur, ibu tetap gembira meladeni ocehan si kecil. Bahkan ibu masih kuat menggendong buyutnya ini, di usia 77 tahun!

Sungguh, Ibu telah menjelma sosok penting dalam hidup saya. Darinya saya belajar ketulusan, kasih sayang, dan semangat hidup. Semuanya menjadi bahan bakar yang kembali memantik gairah hidup saya, di hari-hari paling gelap sekalipun. Terima kasih ibu, tulisan ini saya dedikasikan untukmu. (*)

Cilacap, 310119

#JasmineElektrikCeritaIbu




Jumat, 25 Januari 2019

[Review] Menyelami Mimpi Sang Pelaut Tua


Oleh: Gita FU

Judul Buku     : Kapal Selam Mimpi dan 16 Kisah Aneh Lainnya
Penulis.           : Fazamatahari
Penerbit.         : Gramedia
Cetakan.          : Pertama, November 2015
Tebal.               : ix+139 hlm
ISBN                 : 978-602-03-1898-1


Setelah pensiun sebagai teknisi mesin di kapal asing yang berlayar keliling dunia, Pak Pelaut Tua menghabiskan hari-harinya dalam kedamaian bersama keluarga putranya di sebuah pulau kecil.

"Selepas subuh, ia akan berjalan menyusuri pantai sambil melihat matahari merayap naik. Ia lalu pulang dan menyaksikan kesibukan cucunya berangkat sekolah. Ia akan mandi dan sarapan, lalu duduk diam atau menonton televisi. Semakin hari, rasanya waktu tidur siangnya semakin panjang. Sore hari ia akan membersihkan halaman rumah dan menyirami tanah yang kering. Lalu malam akan datang dan begitulah hari itu berakhir." (Hal. 4).

Hingga di suatu pagi, Pak Pelaut Tua menemukannya: sebuah kapal selam tua terdampar di balik tanjung karang. Mula-mula ia menyembunyikan keberadaan benda itu dari masyarakat. Kemudian ia memasuki bagian dalamnya, mencari tahu benda apa yang masih tersimpan di sana. Tak dinyana, Pak Pelaut Tua menemukan pintu lain ke dunia paralel! Di dunia satunya, ia disambut aneka keajaiban luar biasa. Gairah hidupnya pun kembali. Sejak itu rutinitasnya berubah; dari pagi hingga matahari terbenam ia berkelana di dunia paralel.

Lewat cerpen "Kapal Selam Mimpi" ini penulis mengajak kita mengikuti mimpi-mimpi terpendam Pak Pelaut Tua. Ya, rupanya dunia paralel tersebut adalah  mimpi si pelaut tersebut untuk kembali bertualang ke tempat-tempat baru; menemukan keajaiban yang menggairahkan laksana semangat masa muda (hal. 12).

Ilustrasi Pak Pelaut Tua dan dunia paralelnya.


Cerpen ini menyelipkan pesan moral, bahwasannya manusia itu tak pernah puas, selalu saja ingin menuntaskan hasrat selama masih memiliki hayat. Terkadang mimpi-mimpi diperlukan untuk menjaga semangat hidup. Namun kita pun tetap harus tahu batas untuk berhenti.

Masih membahas tentang impian, cerpen "Professional Daydreamer" di halaman 59 mengisahkan Cynthia seorang ilustrator lepas. Semenjak kecil ia sudah suka menggambar. Saat kuliah ia magang dan bekerja lepas di beberapa biro ilustrasi sehingga ia sekarang memiliki beberapa klien tetap.

Cynthia menamakan pekerjaannya sebagai professional daydreamer. Karena hampir seluruh proses menggambarnya dilakukan sambil melamun, dan ia dibayar untuk itu. Ini benar-benar pekerjaan impian Cynthia yang menjadi kenyataan. Namun kini ia malah memutuskan berhenti menjadi ilustrator lepas, dan mencari pekerjaan kantoran penuh waktu.

Hal. 61

Di atas bus yang akan membawanya ke Jakarta untuk bereuni dengan teman-teman masa kuliahnya, Cynthia berkontemplasi. Sudah saatnya ia memberi kesempatan bagi dirinya pindah ke dunia yang lebih realistis. Karena ia butuh mempelajari hal-hal baru, dan bertemu orang yang berbeda setiap hari (hal. 62).

Di luar dua judul di atas, masih ada 15 judul lain, yang pendek maupun panjang, dan semua menarik. Sebut saja "Buku-buku yang Tidak Dapat Dibaca", "Pemilihan Umum", "Mimpi Hutan Pinus", "Meja Batu Milikku, di Tengah Dunia Milikku", "Seluas Apakah Pelangi", "Sebuah Rumah yang  Terletak di Tengah Kebohongan","Kutukan Persia", "Rusa Pohon Niwa", "Pewaris Naga Laut", "Dongeng Si Anak Sirkus", "Rusa dan Beruang", "Nenek Sihir dan Ilmuwan Kimia", "Di Negeri Permen dan Cokelat", "Mimpi Bawah Laut Sang Wanita Karier", dan "Bear Dream in Windowpane".

Beberapa di antaranya dilengkapi ilustrasi buatan sang penulis sendiri. Ia meramu cerita-cerita dengan kesegaran yang tak biasa. Ada citarasa dongeng pada tulisannya. Saya pribadi tidak bosan membacanya sampai akhir.
Dan selalu ada makna yang saya temukan di balik kumpulan imajinasi tersebut. (*)

Cilacap, 250119







Selasa, 22 Januari 2019

Melawan Keterbatasan

Dibuat dengan aplikasi Canva.

Oleh: Gita FU

Awal mula saya mengenal blog adalah sekira tahun 2007. Saat itu dengan perut membesar karena sedang hamil anak pertama, saya masih cukup rajin datang ke kampus; saya sedang di masa akhir perkuliahan demi gelar ahli madya jurusan teknik informatika. Teman saya Agus menunjukkan caranya mengedit kode-kode di platform blog. Saya pun tertarik membuat blog pribadi. Tujuan saya sederhana: hanya ingin membuat semacam diary digital.

Tak lama kemudian saya bersalin. Mau tak mau saya cuti kuliah. Sekira tiga bulan berikutnya saya mulai kuliah kembali, serta meneruskan kerja paro waktu. Selama saya pergi, bayi saya diasuh oleh mertua, sehingga saya bisa tenang. Urusan nge-blog pun berlanjut dengan satu atau dua unggahan baru. Maklum, saya tak punya PC di rumah. Hanya di kampuslah saya bisa berselancar di internet secara gratis. 

Sayangnya itu semua terputus di tahun 2008. Fisik saya drop, tak kuat menjalani aktivitas kuliah, kerja, dan mengurus bayi. Dengan berat hati saya memutuskan mundur dari perkuliahan, tak menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat meraih gelar ahli madya, serta keluar dari tempat kerja. Otomatis kegiatan blogging pun terhenti.

Waktu berlalu amat cepat. 

Tahun 2015 merupakan momen 'eureka!' buat saya. Kenapa? Karena saya akhirnya menyadari apa yang membuat saya bergairah dalam hidup; saya menemukan passion sejati yaitu menulis. Kali ini saya punya alatnya; bukan laptop melainkan sebuah HP berjenama Nokia (ups! Tidak bermaksud ngiklan!). Dengan HP ini saya bisa berselancar di internet, aktif di laman Facebook, mengunggah aneka status. Pokoknya bersenang-senang.

Lewat Facebook pula saya mengenal, lalu bergabung dengan sejumlah komunitas kepenulisan. Tujuan saya jelas: menimba ilmu tentang dasar-dasar menulis yang baik dan benar. Di sela-sela mengasuh seorang balita (anak kedua lahir di tahun 2012), saya rajin mengetik cerita mini, maupun puisi. Di akhir tahun ini pula keluarga kami hijrah ke Cilacap. Meninggalkan Purwokerto yang lama menjadi habitat akrab.

Siapa nyana kepindahan ke Cilacap makin memacu saya menyeriusi dunia menulis. Bahkan di tahun 2016 senjata menulis saya berganti jenama; saya dihibahi sebuah HP android Smartfren oleh adik saya. Lho, kok, bukan laptop? Ya, maklum, belum ada anggarannya.




Saya menggunakan aplikasi Kingsoft Office, yang merupakan aplikasi bawaan dari HP. Menurut informasi yang saya peroleh, aplikasi tersebut adalah aplikasi WPS versi lawas. Sebenarnya saya sempat galau, apakah mungkin hasil ketikan di aplikasi ini dapat terbaca komputer lain, jika saya kirimkan via pos-el? Sebab di pertengahan tahun 2016 itu saya memiliki impian untuk menembus media massa. Jika saya harus mengirim tulisan lewat warnet, kendala saya tentu saja anak. Tak mungkin saya berlama-lama di warnet, yang lokasinya cukup jauh dari rumah. Minta tolong pada suami untuk menjaga anak kedua juga tak mungkin; dia berangkat jualan pagi hingga sore. Akhirnya saya nekat saja.

Ternyata usaha saya berbuah manis. Sebuah media daring menerima cerpen saya, dua kali pula! Wow, kepercayaan diri saya jadi meningkat. Saya makin rajin mengirim ke alamat pos-el media cetak. Dan kembali cerita anak saya berhasil menembus rubrik cerita anak di koran SoloPos. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam!

Tahun 2017 saya makin giat menulis lalu mengirimkannya ke media. Ponsel saya pun berganti tipe meski  masih sama-sama berjenama Smartfren Andromax. Sehingga secara rutin minimal sebulan sekali ada tulisan saya yang berhasil tayang di media. Di tengah rasa syukur yang membuncah, seorang teman menghubungi via kotak pesan di Facebook. Dia menyarankan sungguh-sungguh agar saya membuat blog untuk mendokumentasikan jejak karya. Apa? Saya pikir bagaimana bisa saya membuat blog hanya bermodal HP? Lama saya renungkan saran tersebut. Saya merasakan kebenarannya. Dulu saya pernah membuat blog, masa sekarang tidak bisa? Jika menulis cerpen menggunakan aplikasi WPS saja bisa, seharusnya blogging juga sama bisanya, 'kan? Saya, toh, punya Android di tangan.

Begitulah awal mulanya. Saya memilih platform Blogspot untuk blog saya. Alasannya blogspot mudah diatur, apalagi saya pemula. Maka bulan Oktober 2017 saya mengunggah tulisan pertama saya. Kemudian berturut-turut sebagian besar tulisan yang telah tembus media cetak. Ada rasa bangga menyeruak. Saya berhasil melawan keterbatasan. Tidak punya laptop atau PC bukan halangan berkarya.


Menjadi Blogger? Siapa Takut!

Tahun 2018 adalah tahun di mana saya mengalami masa fluktuasi dalam menulis. Hal ini disebabkan kehamilan anak ketiga yang diluar dugaan. Kondisi tubuh yang sering tidak fit plus perubahan hormon membuat produktivitas turun. Akibatnya tak banyak karya saya yang berhasil tembus media massa. Walaupun begitu saya tetap bersyukur, dalam kondisi serba tidak nyaman saya dimampukan-Nya menggapai impian: menerbitkan buku solo.

Korelasi dari sedikitnya karya yang nampang di media ialah terabaikannya blog saya. Aduh, bagaimana ini? 
Blog menjadi berdebu, di beberapa sudutnya mulai terlihat sarang laba-laba. Mengenaskan. 

Dalam kondisi demikian, dua teman FB yaitu Aci dan Arwen menarik saya ke jalan yang tak terpikir sebelumnya.

Berawal dari seringnya melihat Aci membagi pranala tulisannya di sebuah blog kecantikan dan blog pribadi, membuat saya tergerak meng-klik tautan tersebut, lalu membacanya. Wah, betapa rajinnya dia menulis artikel! Padahal ide-idenya sederhana, ada di kehidupan sehari-hari. Dan Aci terlihat bersungguh-sungguh akan usahanya. Terbersit keinginan mengikuti jejak Aci. Daripada ngotot menunggu ada karya yang tembus media baru mengisi blog sendiri. Aci pun terus menyemangati saya. Walaupun demikian saya masih bimbang.

Beberapa waktu kemudian, Arwen menawari saya bergabung di grup WA bentukannya. Grup itu bukanlah grup belajar, melainkan tempat berbagi pranala blog pribadi. Nantinya para anggota akan saling mengunjungi blog (blog walking). Tujuannya saling memotivasi untuk tetap menulis apapun temanya, dan meningkatkan traffic blog. Setelah menimbang sejenak, saya sambut ajakan Arwen. Pikir saya, ini adalah langkah awal menjadi blogger, saya tak boleh menyia-nyiakan kesempatan.

Saya pun sempat mengikuti kelas privat belajar nge-blog bagi pemula, bersama Toni Al Munawar. Saya belajar ilmu dasar, SEO, cara meningkatkan trafik, dan bagaimana cara meningkatkan nilai tambah pada blog saya.




Jadi begitulah konklusinya. Passion saya adalah menulis; meninggalkan jejak keberadaan saya di dunia. Saya sudah berhasil mengatasi keterbatasan fasilitas, bisa mengambil jeda di sela-sela kesibukan mengasuh anak, maka saya tak boleh berhenti begitu saja. Kini era digital, saya ingin menyumbangkan kontribusi positif melalui tulisan. Lewat blog siapapun bisa mengaksesnya, dan mudah-mudahan mengambil manfaat darinya.

Tentunya saya punya resolusi pribadi terkait aktivitas nge-blog ini. Saya berharap bisa naik tingkat menjadi blogger yang profesional. Untuk itu saya tak segan menimba ilmu dari para blogger professional, misalnya Bang Nodi Harahap. Saya juga bermimpi punya laptop suatu saat nanti, agar lebih leluasa menulis. Semoga tercapai resolusi sederhana saya di tahun ini. Bagaimanapun, saya bangga menjadi narablog di era digital. (*)

Cilacap, 220119

#KompetisiBlogNodi #NarablogEraDigital


Jumat, 18 Januari 2019

[Review] Buku Cerita Anak Bilingual yang Apik


Oleh: Gita FU

Ada banyak cara mengenalkan buku bacaan pada anak-anak. Misal: belikan buku cerita, ajak ke pameran buku, atau bawa ke perpustakaan setempat.
Saya pribadi melakukan ketiga cara di atas, dan Alhamdulillah hasilnya positif; dua anak saya gemar membaca.
Mereka pun selalu antusias diajak ke perpustakaan daerah. Bahkan baru-baru ini Hanna menuntut dibikinkan kartu anggota Perpusda Cilacap seperti si kakak. Info yang saya terima dari Mbak Sofi--salah satu pustakawati di sana--kini anak usia TK bisa memiliki kartunya sendiri. Pendaftarannya cukup pakai fotokopi KK. Oke, Nak, segera kita bikin, ya!

Minggu lalu saya meminjam beberapa buku cerita untuk Hanna. Dua di antaranya akan saya bahas di kesempatan ini. Kebetulan dua buku ini sama-sama terbitan Erlangga for Kids, lini buku anak dari penerbit Erlangga. Judulnya: Boneka Salju Ajaib dan Aku Tidak Mau Keluar. Saya ulas satu persatu, ya!

1. Boneka Salju Ajaib

Judul asli     : The Magical Snowman
Penulis.        : Catherine Walters
Ilustrasi        : Alison Edgson
Copyright.    : Little Tiger Press, 2009
Penerjemah : Edith Natasha
Terbit            : 2011
Isi                   : iv+27 hlm
ISBN              : 978-979-099-532-1

Buku ini bertema kasih sayang, harapan, keajaiban, dan persahabatan. Kelinci Kecil asyik membuat boneka salju, di suatu hari yang cerah di musim dingin. Ia lalu disuruh ayahnya mencari buah beri hutan, dengan pesan tak boleh berkeliaran terlalu jauh (hal. 6).

Saat asyik mencari buah beri, Kelinci Kecil malah tersesat di hutan. Apalagi kemudian  salju turun, ia semakin kebingungan mencari jalan pulang (hal. 10). Kelinci Kecil menjadi panik.



Tiba-tiba terjadi keajaiban! Boneka Salju yang tadi ia buat, hidup dan datang padanya. Si Boneka Salju lalu menolong Kelinci Kecil keluar dari hutan. Lewat petualangan ajaib mereka menerobos hujan salju (hal. 14-15). Hingga mereka berhasil sampai ke bawah bukit, dekat rumahnya Kelinci Kecil.

Buku ini dihiasi ilustrasi yang indah, bagai lukisan negeri dongeng. Opsi bahasa Inggris  yang menyertai teks bahasa Indonesia diletakkan atas-bawah. Sehingga buku ini sesuai dibaca para orang tua dan anak-anak mereka, demi menciptakan kebersamaan yang berkualitas.


2. Aku Tidak Mau Keluar!

Judul asli     : I'm Not Going Out There!
Penulis.        : Paul Bright & Ben Cort
Copyright.    : Little Tiger Press, 2007
Penerjemah : Hertriani Agustine, S.Si
Terbit            : 2008
Isi                   : v+24 hlm
ISBN              : 978-979-033-329-1

Buku yang ini bertemakan imajinasi, hubungan kakak-adik, dan humor. "Aku sedang bersembunyi di bawah tempat tidur. Walau kepalaku sulit untuk keluar, lututku lemas dan sakit, tetapi aku tidak peduli. Dapatkah kamu tebak, apakah ku tahu, mengapa aku berbisik pelan?" (Hal. 2).

Di luar kamar ada naga sedang menyemburkan napas api. Ia tampak kejam, dan sangat menakutkan. Tetapi bukan ia yang membuatku amat ketakutan.

Ada pula hantu tanpa kepala yang tengah membuat roti isi selai cokelat di dapur. Tapi aku tak terlalu mengkhawatirkannya.

Di kamar mandi tiga orang penyihir jelek sedang mencuci baju. Meskipun mereka bau dan buruk rupa, aku tidak begitu takut menghadapinya.

Di kamar atas beberapa Monster tengah asyik menari balet. Penampilan mereka mengesankan. Tentu saja mereka tidak seberapa menakutkan buatku.

Lalu apa yang lebih menakutkan daripada itu semua? Siapa yang paling menyeramkan hingga naga pun lari terbirit-birit darinya? Temukan jawabannya di halaman akhir.


 Cerita di buku ini sungguh kocak dan menghibur. Saran saya jika Anda ingin membacakan ke Ananda: ubah-ubahlah intonasi suara, pasti Ananda makin gembira. Selain itu ilustrasinya pun menarik hati. Buku ini mengandung pesan moral untuk saling menghargai antar saudara kandung.

Demikian ulasan dari saya. Semoga bermanfaat! (*)

Cilacap, 180119