Cari Blog Ini

Minggu, 26 April 2020

4 Hal yang Ingin Saya Lakukan Setelah Covid-19 Minggat

Happy Faces | Pixabay


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sobat, apa yang ingin kalian lakukan jika si kopidnentin akhirnya minggat dari hidup kita? Kalau saya, sih, nggak muluk-muluk amat. Setelah  sujud syukur, ada 4 hal lagi yang ingin saya lakukan. Apa saja, sih? Ini dia daftarnya:

1. Membaca sepuasnya tanpa diganggu

Book and beach | Pixabay

Ya, setelah sekian puluh hari semuamua aktivitas dilakukan dari rumah gara-gara pandemi: rutinitas rumah tangga, momong bocah, jadi pengganti guru sekolah, dan sebagainya, wajar dong saya pingin menyepi sendiri.

Saya pingin menikmati kembali buku-buku bacaan yang lama telantar. Saya kangen menyelesaikan satu buku dari awal-akhir tanpa terpotong-potong akibat melerai pertengkaran bocah, misalnya. Atau tanpa dikedipin paksu sebagai kode pengin dipijit. 😝

2. Menikmati minuman favorit sambil nggak ngapa-ngapain

Ice Coffee | Pixabay

Nah, ini ada latar belakangnya. Namanya anak-anak, kalo di rumah lihat emaknya menikmati sesuatu sendiri, pasti, deh, penasaran. Setelah penasaran, lanjut mengusik dengan aneka pertanyaan, terus kudu ikut nyobain, kemudian tahu-tahu minuman kegemaran emaknya tandas oleh mereka, udah gitu bekas mereka minum berceceran di lantai bikin kesantuy-an si emak menguap. Ujung-ujungnya si emak nangis di pojokan. 😒

Makanya, kan... Nggak aneh, kan keinginan saya ini. 😶

3. Cuci mata ke toko-toko aksesoris atau suvenir yang lucu-lucu


Seorang Perempuan di dalam toko | Pixabay

Saya tuh, gemar lihat pernak-pernik unik, lucu, dan menarik. Entah itu berupa gelang, cincin, kalung, cermin hias, hingga tempelan magnet kulkas. Bahkan alasan utama saya join di satu grup jastiper milik mbak Kiky Aurora, ya karena sukak lihat belanjaan suvenir dari LN. Meskipun belum tentu beli.😜

Jadi kalau saya dikasih kesempatan masuk ke toko-toko semacam ini ya jelas mau dan sweneng banget!

4. Mencari dan mengoleksi kerang di pantai


Sea shells at the sea shore | Pixabay

Subhanallah! Takjub nian saya menekuri bentuk dan warna-warni makhluk lautan ini. Tak terbayang berapa lama waktu yang mereka pergunakan membentuk cangkang-cangkang indah tersebut. Belum lagi sensasi sejuk di telapak tangan usai memegang mereka.

Dalam imaji saya, jika cangkang kerang itu saya dekatkan ke telinga, maka terdengarlah debur ombak di kejauhan. Itu sebab saya senang mengumpulkan cangkang-cangkang tersebut. Karena mereka menghubungkan saya dengan aroma laut favorit. 😄

Sekarang, bagaimana dengan kalian sendiri? Apa yang ingin kalian lakukan jika si Covid-19 pergi? Feel free for sharing. ^o^ (*)

Cilacap, 260420

#Day7
#BPNRamadanDay2020

Ketika Memberi Berpasangan dengan Menerima

Memberi dan Menerima| Pixabay

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sobat, pada fitrahnya manusia adalah makhluk yang penuh empati dan simpati. Hati manusia mudah tersentuh jika menyaksikan kenestapaan, ketidakberdayaan, atau  ketidakadilan yang dialami liyan. Secara alami manusia akan bereaksi, minimal dengan perubahan pada air mukanya.

Demikian pula di kondisi sekarang; di mana secara sosial, ekonomi,  kita sama-sama merasakan hajaran pandemi virus. Keprihatinan melihat kehidupan orang-orang yang lebih susah dari dirinya sendiri tetap timbul ke permukaan. Maka bermunculanlah usaha penggalangan bantuan, untuk diberikan pada mereka yang terdampak pageblug; orang-orang yang rentan ekonominya, dan mereka yang memang pantas dibantu supaya tetap berdiri tegak.

Belum terhitung perorangan yang berinisiatif bergerak sendiri, menyumbangkan apa saja yang ia bisa entah suplai nasi bungkus, atau sepaket bahan makanan pokok langsung pada tetangga kanan-kiri, misalkan.

Semua tindakan itu dilakukan atas dasar kemanusiaan.  Nilai utama yang menerabas sekat-sekat suku, agama, ras, dan antar golongan. Sesuatu yang masih menerbitkan rasa hangat dalam hati kita.

Pesan Lewat WhatsApp

Belum lama ini sebuah pesan WhatsApp dari Ibu Gurunya Hanna masuk ke grup kelas. Seperti biasa beliau memberikan rincian tugas dari sekolah untuk dikerjakan di rumah. Namun sekali itu ada tambahan lainnya. Kami selaku wali murid diharapkan ke sekolah pada hari Senin lusa, guna membayar komite bulanan (yang terpaksa tertunggak dua-tiga bulan akibat sekolah diliburkan), LKS tema 8, rapot bayangan, dan barang/uang sebagai sumbangan sukarela.

Poin terakhir itu menarik. Setelah beberapa penjelasan lebih lanjut dari beliau, rupa-rupanya pihak sekolah Hanna berinisiatif melakukan pengumpulan bantuan dari wali murid bagi keluarga yang terdampak perekonomiannya oleh si kopidnentin. Penggalangan bantuan bersifat tidak mengikat, alias sesuai kemampuan wali murid saja. Andaikata tidak ikut menyumbang pun tak mengapa. Para wali murid lainnya menanggapi positif.

Singkat cerita, pada hari yang ditentukan kami pergi ke sekolah. Tentu saja pihak sekolah mematuhi anjuran pemerintah. Wali murid tidak diperkenankan bergerombol, melainkan tertib satu per satu masuk ke ruangan. Tidak ada salaman. Pertemuan pun singkat saja. Dan paling utama, kami semua mengenakan masker.

Saya sempat memindai aneka barang sumbangan dari wali murid. Ada beras, mi instan, minyak, gula, masker. Ada pula yang menyumbang sejumlah uang. Usai keperluan dengan pihak sekolah, saya langsung pulang.

Keesokan harinya sumbangan itu didistribusikan kembali kepada sejumlah wali murid yang dipandang membutuhkannya. Lagi-lagi, gurunya Hanna mengirim pesan WhatsApp, tetapi kali ini langsung kepada penerima bantuan.

Sekali lagi, sejumlah wali murid tertentu, mengenakan masker mereka dan pergi ke sekolahan. (*)

Cilacap, 250420

#Day6
#BPNRamadan2020

Sabtu, 25 April 2020

Kepompong Ramadhan

Kepompong| Pixabay


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Alhamdullilah,  sebagai seorang muslim saya merasa amat bersyukur masih bisa berjumpa dengan Ramadhan tahun ini. Saya yakin rasa yang sama dialami oleh jutaan kaum muslimin di seluruh dunia. Bagaimana tidak? Di tengah himpitan ketidakmenentuan situasi pandemi, Ramadhan bak oase. Ada berlimpah kebaikan, pahala yang dijanjikan Allah SWT, bagi hamba-hamba-Nya yang mau. No matter what.

Iya, sih, memang banyak perbedaan suasana antara Ramadhan tahun sebelumnya dengan tahun ini. Coba yuk, kita list:

- Tidak ada tarawih berjamaah di masjid;
- No tadarusan bareng kayak biasanya;
- Nggak ada kultum-kultum bada isya atau subuh;
- Bukber bersama di luar rumah ditiadakan;
- Ngabuburit sepi;
- Nggak ada petasan banting dinyalakan.
Ada lagi yang kelewat? Sobat tambahin sendiri, yaa. 😄

Gara-gara si kopidnentin, sih! Pasti itu dalih kebanyakan orang. Namun coba kita merenung sebentar, Sobat. Kita lihat masalah ini dari sisi lain, masa nggak ada manfaat yang bisa diambil? Kan, katanya semua hal di dunia punya dua sisi berlawanan. Kalau ada sisi nyebelin, pasti ada sisi nyenengin juga.

Kalau menurut hemat saya, nih, ya, sekarang adalah waktunya kita memperbaiki kualitas diri sebagus mungkin. Loh, kok?

Mari ngaku, selama ini Ramadhan kita berjalan hanya di kulit luar saja bukan? Kita rame-rame ke masjid tarawihan, tadarusan, tiap hari ngabuburit, mengeluarkan lebih banyak duit demi takjilan di rumah, belanja ini-itu untuk persiapan lebaran (padahal puasanya aja baru mulai seperempat jalan). Habis itu tinggal capeknya yang terasa. Kita balik lagi ke habit sehari-hari, seolah Ramadhan nggak kasih pelajaran ruhani apa pun. Bener nggak, Sobat? Eh, maaf, mbak Gita aja kaleee yang kayak gitu. 😜 Hmm....

Maka seperti saya sebut di atas, justru Ramadhan tahun ini adalah kesempatan memperbaiki kualitas diri. Saatnya kita menjadi kepompong. Sebagaimana perjuangan seekor ulat yang ingin bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik, ia kudu rela tapa brata; membungkus dirinya dalam kepompong selama sekian hari, menahan diri dari nafsu. Hingga kelak pada masanya, dengan penuh kebanggaan ia keluar dari kepompong sebagai makhluk yang lebih indah.
Demikian pula harapannya bagi diri kita.

Kita perbagus kualitas ibadah di rumah Eratkan komunikasi dengan anak-anak, pasangan, atau orangtua. Ajak anggota keluarga kita mengisi waktu dengan amalan rumah, misal mengkaji buku-buku, menghapal Al Qur'an, shalat tarawih berjamaah, dll.  Saya teringat seorang teman yang mengunggah status terkait hal ini. Begini bunyinya:


Statusnya inspiratif, apalagi karena dia pun seorang ayah. 😁

Jadi bagaimana, Sobat? Jangan gabut lagi, ya. Menjadi kepompong Ramadhan? Kenapa tidak? (*)

Cilacap, 240420

#Day5
#BPN30DayRamadan2020

Jumat, 24 April 2020

Ini yang Dilakukan Warga Cilacap Jelang Ramadhan Tahun Ini


Sebatang Pohon Johar di Pemakaman Karang Suci. Dokpri.

Assalamu'alaikum Wr Wb.

Sobat, Alhamdulillah kita akan memasuki gerbang bulan Ramadhan. Segala kebaikan nan berlimpah, sebagaimana janji Allah SWT, tentu saja tidak akan berubah meskipun kita tengah berada di masa pandemi. Maka dari itu mari jaga semangat beribadah kita, Sobat! 😊

Btw, di tempat Sobat adakah tradisi yang biasanya dilakukan menjelang Ramadhan? Kalo di tempat saya namanya punggahan. Ini adalah tradisi di akhir bulan Sya'ban, di mana orang-orang pergi berziarah ke makam, guna mendoakan leluhur.

Tradisi yang rutin setiap tahun ini membuat TPU menjadi ramai didatangi peziarah lokal maupun luar kota. Hal ini tentu saja mendatangkan rezeki tiban bagi sebagian kalangan. Mereka yang turut mengais rezeki dari punggahan bakal menjadi pemandangan khas tersendiri. Contohnya di sepanjang jalan menuju pemakaman, berderet sejumlah kaum wanita yang menjajakan kembang sebagai taburan di atas kuburan. Masih ditambah lagi para pedagang makanan, juru parkir dadakan, tukang bersih-bersih kuburan, dan pengemis cilik di dalam TPU Karang Suci yang luas tersebut. Pokoknya rame!

Namun bukankah tahun ini berbeda?  Kita tengah berada di bawah bayang-bayang pandemi virus.  Ada larangan mudik, membentuk kerumunan massa,  serta himbauan untuk tetap di rumah terkecuali memang ada keperluan mendesak. Jangan-jangan tak ada warga yang melakukan punggahan tahun ini, sebagaimana ditiadakannya shalat tarawih berjamaah di masjid. Duh, terbayang di pelupuk saya betapa merananya para penjual kembang itu. 😣

Karena merasa penasaran, maka saya bertekad melihat sendiri suasana di dekat TPU Karang Suci. Kebetulan jaraknya tidak begitu jauh dari rumah saya, ya sekira 300 meter. Saya berjalan santai saja, melintasi gang-gang, lalu ke jalan Brantas, dan berhenti di pinggir lapangan Karang Suci. Apa yang saya lihat benar-benar di luar dugaan!

Di timpa sinar mentari sore, beberapa penjual  bunga di pinggir jalan terlihat semringah. Salah seorang saya kenal, dia tetangga saya. Kami mengobrol singkat dalam bahasa Jawa. Demi kemudahan percakapan tersebut saya terjemahkan.

"Habis kembangnya, Bu?"

"Habis!" Dia menjawab gembira. Kedua tangannya menanting tampah kosong, wajahnya kemerah-merahan terpapar panas matahari. Kemungkinan besar dia berjualan sejak siang terik tadi.

"Gimana, tetap rame nggak, Bu?"

"Tetap rame, koh. Ini kan punggahan, setahun sekali, jadi orang-orang tetap nyekar," urainya bersemangat.
"Kecuali kalo Kamis Wage, yang nyekar sekarang sepi."

Seorang peziarah berhenti sejenak membeli kembang di pinggir jalan Brantas. Dokpri.


Ya, yang diucapkannya memang betul. Kendaraan bermotor yang ditumpangi para peziarah terlihat menyesaki jalan Brantas hingga perempatan jalan Karang Suci. Beberapa mobil pun diparkir di pinggir jalan. Hah! Semangat orang-orang untuk berziarah kubur sebelum Ramadhan tiba nyatanya tak surut dalam situasi pandemi ini.

Beberapa petugas duduk di pos jaga sederhana, mengawasi lalu lalang peziarah. Dokpri.


Bedanya adalah, orang-orang yang datang itu hampir semua memakai masker. Kemudian tepat di mulut jalan Kolam Sari yang menuju pemakaman, ada beberapa petugas bermasker dan bersarung tangan, mengarahkan orang-orang untuk mencuci tangan di situ. Kendaraan bermotor pun tak diperbolehkan masuk ke dalam areal pemakaman, melainkan diparkir di tepi lapangan.


Sebagian kecil kendaraan yang diparkir di pinggir lapangan. Dokpri.

Saya kira inilah bentuk kearifan lokal warga setempat. Di tengah situasi yang kurang bersahabat pun mereka tetap mengingati dan mengirim doa pada para leluhur, atau sanak kadang yang telah meninggal. Demi hal tersebut mereka pun berkompromi untuk menyiasati keadaan. Siapa yang kuasa melarang?

Petang sebentar lagi tiba.  Saya lalu beranjak pulang. Ah, semoga semua segera membaik seperti semula. (*)

Cilacap, 230420

#Day4
#BPNRamadanDay2020

Kamis, 23 April 2020

Sudah Jatuh Masa Harus Ditimpa Tetangga Pula?

'All Against One. Pixabay

Assalamu'alaikum Wr Wb.

Sobat, tulisan saya ini masih melanjutkan topik seputar Covid-19, yaa.

Pernahkah kalian terpikir, ketika seseorang dinyatakan berstatus ODP (Orang Dalam Pengawasan), atau bahkan telah menjadi PDP (Pasien Dalam Pengawasan) akibat (diduga) terpapar Corona, apa yang terjadi terhadap keluarganya di rumah? Jika kalian ingin tahu, Sob, mereka dikucilkan warga sekitar. 😥

Ya, mereka dipandang sebagai pembawa wabah yang wajib dijauhi. Banyak juga yang menggunjing, menyalahkan status mereka, bahkan di tingkat ekstrim mereka menghadapi ancaman pengusiran dari rumah. Coba bayangkan sejenak; semenjak salah seorang anggota keluarga dinyatakan sebagai ODP/PDP, maka anggota keluarga lainnya wajib menjalani rapid test, lalu isolasi mandiri minimal 14 hari, otomatis kegiatan ekonominya terhenti, akibatnya stok pangan mereka pun nyaris nggak ada. Dalam kondisi begitu, mereka jelas butuh dibantu oleh lingkungan sekitar, bukan?

Bukan salah mereka sepenuhnya sehingga ikut terpapar virus. Lagipula belum tentu juga mereka positif terjangkit Corona. Mengapa warga mesti memberi sanksi sosial? Waspada boleh, panik jangan. Justru dukungan moril dan materil yang seharusnya warga sekitar berikan pada orang-orang ini.

Salah satu adik saya pernah mengalami baru-baru ini. Ceritanya, Adik nggak sengaja melakukan kontak fisik dengan orang yang mengalami gejala terkena Corona. Ketika orang yang sakit itu betulan menjadi PDP dan masuk ruang isolasi di Rumkit, Adik kena konsekuensinya. Atas sepengetahuan pihak RT-nya, adik saya menjalani isolasi mandiri di lantai dua rumahnya. Dia dilarang kontak fisik dengan anak-istrinya yang tinggal di lantai satu. Otomatis adik saya berhenti cari nafkah sementara waktu.

Nah, keluarganya memang kemudian mendapat bantuan sembako dari RT. Namun tetangga kanan-kiri menggunjingi, menyalahkan Adik, dan menganggap keluarganya seperti monster yang harus dijauhi. Jadi bukan dukungan moril yang mereka terima, melainkan beban pikiran dan perasaan. Akibatnya Adik dan istrinya malah bertengkar sendiri, lalai untuk saling menguatkan.

Syukurlah keadaan mereka kini berangsur normal kembali, setelah Adik selesai menjalani karantina mandiri, dan hasilnya negatif. Tapi yang pernah mereka alami pasti mengguratkan trauma.

Baca juga: Ini yang Dilakukan Warga Cilacap Jelang Ramadhan Tahun Ini

Pandemi Corona ini janganlah mengikis semangat persaudaraan, rasa peduli pada sesama, dan empati kita. Kepada siapa pun. Sobat setuju?(*)

Cilacap, 220420

#Day3
#BPNRamadanDay2020